Kelambanan Berbuah Gugatan

Satu per satu ketentuan yang mengatur tentang penunjukan kawasan hutan rontok. Hal itu tidak lepas dari lambannya Kementerian Kehutanan menegaskan legitimasi kawasan hutan di lapangan.

Surat Keputusan (SK) menteri kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan di Kepulauan Riau dan Sumatera Utara dibatalkan oleh lembaga peradilan dalam waktu hampir berdekatan. Sebelumnya, ketentuan yang lebih tinggi yang mengatur soal status kawasan hutan, yaitu Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan juga terpukul Putusan MK No.45/PUU-IX/2011 yang membatalkan frasa “ditunjuk dan atau ditetapkan”.

Situasi tersebut pun menimbulkan ketidaknyamanan bagi pelaku usaha kehutanan. Dibidiknya ketentuan hukum yang mengatur status kawasan hutan membuktikan masih belum adanya kepastian kawasan hutan di Indonesia.

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Irsyal Yasman berharap pemerintah cq. Kementerian Kehutanan bisa merespon fenomena yang terjadi dengan tepat. “Harapan kami, tentu saja Kemenhut bisa meningkatkan kepastian kawasan hutan sehingga untuk menjamin kepastian berusaha,” kata Irsyal yang dihubungi Jumat (6/6/2014).

Dia menjelaskan, putusan yang membatalkan keputusan tentang status kawasan hutan menimbulkan kekhawatiran pelaku kehutanan. Pasalnya, pembatalan tersebut mengancam investasi yang sudah dibenamkan. “Bagaimana kepastian usaha jika investasi sudah ditanam, tapi kemudian diputuskan kalau di sana bukan kawasan hutan?” kata Irsyal bertanya.

Dia juga khawatir jika apa yang terjadi Sumatera Utara dan Kepulauan Riau, bakal diikuti dengan tuntutan serupa di Kabupaten lain. Tanda-tanda tersebut sudah muncul saat pembahasan peninjauan RTRW terkait subtansi kehutanan. “Tapi mudah-mudahan tidak,” kata Irsyal.

Sayangkan pemda

Irsyal juga menyayangkan karena ternyata gugatan status hutan Sumatera Utara datang dari pemerintah daerah. Argumen yang diajukan pun menyudutkan peran hutan. Kawasan hutan dinilai menghambat pembangunan. “Sangat disayangkan jika ada pemerintah daerah yang melihat keberadan kawasan hutan justru menjadi penghambat,” kata Irsyal.

Dia mengingatkan, hutan memiliki peran penting dalam pembangunan. Hasil hutan kayu dan non kayu punya nilai ekonomi tinggi yang tidak saja bisa menghasilkan devisa, tapi juga mendukung kesejahteraan masyarakat. Irsyal menekankan di kawasan hutan juga ada investasi yang sudah ditanamkan lebih awal ketimbang investasi lain yang baru akan digelontorkan.

“Saat ini banyak pihak yang melihat komoditas perkebunan dan pertambangan lebih menarik. Tapi mereka harus memahami juga kalau ada investasi kehutanan yang lebih dulu berjalan dan telah berkontribusi bagi PAD-nya,” kata Irsyal.

Lamban

Belum kuatnya kepastian kawasan hutan berdampak langsung kepada kinerja perusahaan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK). Ketidakpastian kawasan hutan mempengaruhi munculnya konflik lahan, baik dengan masyarakat maupun dengan pemegang izin lainnya.

Irsyal memberi contoh apa yang terjadi pada IUPHHK Hutan Tanaman Industri (HTI). Di tahun 1990-an, Indonesia mengawali pengembangan HTI dengan luas areal terbangun sekitar 3 juta hektare (ha) — luas yang sama dengan areal HTI yang terbangun di Vietnam. Namun, saat ini luas areal HTI di Indonesia cenderung stagnan. Sementara di Vietnam sudah mencapai 6,5 juta ha.

“Lambannya perkembangan HTI di Indonesia saat ini harus diakui salah satunya karena faktor konflik lahan akibat belum kuatnya kepastian kawasan hutan,” katanya.

Secara khusus, terkait putusan Mahkamah Agung untuk putusan perkara uji materiil No.47 P/HUM/2011, Irsyal menyarankan agar Kemenhut mempelajari secara mendalam putusan tersebut. Dia juga menyarankan agar Kemenhut melakukan komunikasi intensif agar respon Kemenhut tepat.

Komunikasi intensif tersebut juga diperlukan karena Kemenhut mengklaim tidak dimintai keterangan proses persidangan perkara uji materiil No.47 P/HUM/2011. “Jika memang Kemenhut sama sekali tidak dimintai informasi, tentu ada proses yang tidak tepat. Harus dipertanyakan,” kata Irsyal.

Perlu pengukuhan

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Hariadi Kartodihardjo mengatakan apa yang terjadi di Sumatera Utara adalah cermin ketiadaan legitimasi kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh Kemenhut. Untuk memperkuat legitimasi, yang perlu dilakukan adalah pengukuhan secara faktual di lapangan.

Hariadi mengapresiasi upaya Kemenhut yang rencananya bakal menggeber penetapan kawasan hutan. Informasi yang diterimanya, sekitar 60% kawasan hutan bakal sudah selesai proses pengukuhannya dan segera ditetapkan. “Penunjukan, pengukuhan dan penetapan secara administrasi boleh saja dilakukan, tapi jangan lupa di lapangannya,” katanya.

Hariadi melanjutkan, agar pengukuhan secara administrasi bisa mendapat legitimasi di lapangan, maka yang harus diperkuat adalah panitia tata batasnya. Panitia tata batas harus benar-benar bekerja untuk memastikan pengukuhan kawasan hutan tidak mencaplok hak-hak masyarakat yang telah lebih dulu ada dan menyelesaikan klaim-klaim yang diajukan. Sugiharto

Uji Materiil karena Mengatur

Ada yang menarik soal putusan pembatalan status kawasan hutan merujuk pada kasus di Kepulauan Riau dan Sumatera Utara. Untuk penunjukan kawasan hutan Kepulauan Riau, pembatalan yang dituntut oleh Kadin Batam dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Sementara untuk penunjukan kawasan hutan di Sumatera Utara, pembatalan penunjukan kawasan hutan yang dituntut oleh dua Bupati dan satu orang pimpinan LSM dilakukan lewat jalur Mahkamah Agung (MA).

Menurut pengamat dan praktisi hukum kehutanan Dr Sadino, hal itu dikarenakan sifat hukum yang terkandung dalam ketentuan soal status kawasan hutan yang dilansir oleh Kemenhut. Menurutnya, meski judulnya surat keputusan, ternyata SK Menhut No.44 tidak dapat dikategorikan sebagai beschiking. Kategori tersebut adalah untuk perbuatan hukum publik yang dilakukan badan atau pejabat tata usaha negara yang sifatnya konkret, individual, dan final.

“SK Menhut No.44 tahun 2005 justru mengandung sifat mengatur yang dikategorikan regeling. Itu sebabnya bisa diuji materiil di Mahkamah Agung,” kata Sadino.

Dia memaparkan, contoh sifat mengatur yang ada pada SK No.44 tahun 2005 adalah adanya amanat untuk proses pengukuhan. Padahal, kalau beschiking seharusnya tidak ada lagi  aturan lanjutan.

Sadino menyatakan, putusan MA untuk perkara uji materiil No.47 P/HUM/2011 menegaskan kembali bahwa banyak ketentuan Kemenhut yang sudah tidak tepat untuk dijadikan pedoman soal status kawasan hutan. Dia menyarankan agar Kemenhut segera menuntaskan pengukuhan kawasan hutan untuk memperkuat legitimasi status kawasan hutan.

“Hal itu juga sudah menjadi amanat dari putusan Mahkamah Konsititusi No.45/PUU-IX/2011 yang membatalkan frasa “ditunjuk dan atau ditetapkan” pada UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan,” katanya.

Sadino juga mengingatkan, putusan MA sangat mungkin direspon oleh pihak-pihak lain untuk mengajukan gugatan serupa soal status kawasan hutan. “Putusan MA untuk gugatan di Sumatera Utara bisa menjadi yurispudensi,” katanya. Sugiharto