Kementan Usulkan Komoditas Baru

Menghadapi penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015, Indonesia mengusulkan  tiga komoditas pertanian dikecualikan dalam klausul perdagangan bebas. Ketiga komoditas itu adalah beras, gula dan produk peternakan unggas.

Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Rusman Heriawan mengatakan, ketiga komoditas pangan strategis akan memperoleh perlakukan khusus, seperti pengenaan bea masuk (BM) hingga penggaturan kuota dan importasi. “Kita menginginkan beras, gula dan unggas tetap diproteksi,” ujarnya. Pada saat bersamaan, lanjut Rusman Kementan tetap berkomitmen melakukan pengawalan, melalui pemberian subsidi input sarana dan output pertanian.

Menurut Rusman, pengenaan instrumen kepada tiga komoditas itu diyakini mampu menangkal serbuan produk pertanian impor seiring penerapan pasar bebas Asean.

Dia menyebutkan, alasan menempatkan sebagai komoditas pangan yang wajib diproteksi karena lebih dari 90% penduduk Indonesia mengkonsumsi beras hingga jadi makanan pokok. Selain itu, proses produksi beras melibatkan 21 juta rumah tangga petani atau lebih 80 juta jiwa yang tersebar merata di seluruh wilayah. “Beras juga merupakan komoditas penentu dalam perhitungan inflasi,” tegasnya.

Rusman mengatakan, Thailand menjadi negara paling serius bagi Indonesia untuk memasarkan produk hortikulturanya. Selama ini, neraca perdagangan produk pertanian dengan Thailand, Indonesia mengalami defisit.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 mencatat, akibat gempuran produk impor buah-buahan Thailand, neraca perdaganan Indonesia mengalami defisit lebih dari 5 miliar dolar AS.

Potensi defisit perdagangan, khususnya produk pertanian, akan makin besar seiring pemberlakuan MEA 2015. Namun, Indonesia tidak dapat menghindari diri dari pemberlakuan pasar bebas ASEAN itu.

Selain ketiga komoditas pertanian tersebut, Wamentan menegaskan, Indonesia tidak akan mengajukan usulan proteksi. Upaya peningkatan mutu kualitas dan kuantitas produksi melalui menjadi pekerjaan rumah bersama seluruh pemangku kepentingan. “Kita terus mendorong kepada budidaya petani horti sesuai prinsip Good Agriculture Practise (GAP). Posisi kita memberikan bimbingan terus dilakukan,” tegasnya.

Tantangan

Sementara itu Menteri Pertanian Suswono mengatakan, menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) 2015, sektor pertanian didorong untuk memperkuat perdagangan intra dan ekstra ASEAN dan daya saing produk. “AEC merupakan tantangan sekaligus peluang” ujarnya.

Menurut Suswono, untuk meningkatkan daya saing  komoditas pertanian tidak saja ditentukan oleh mutu produk yang baik, tetapi juga dituntut harga produk yang kompetitif serta ramah lingkungan dalam proses produksinya. “Untuk itu, penggunaan sumber daya yang efisien, teknologi yang tepat guna serta komitmen yang tinggi dari seluruh pemangku kepentingan sangat diperlukan” katanya.

Saat ini, pengembangan agribisnis yang didukung agroindustri pedesaan berbasis sumber daya lokal, dengan konsep tanpa limbah (zero waste) terus dilakukan. Hal tersebut merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing, yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani.

Staf Ahli Bidang Kerjasama Internasional, Kementan Tahlim Sudaryanto menyebutkan, pelaksanaan MEA sebetulnya mengalami proses yang sangat panjang. Inisiatif umum dimulai jauh hari, tapi karena sesuatu hal yang menyangkut struktur sistem pertanian Indonesia, membuat posisi pertanian Indonesia saat ini lebih rendah dibandingkan dengan Thailand dan Vietnam, disusul Myanmar dan Kamboja. “Kita hanya bisa bersaing dengan Filipina,” katanya kepada Agro Indonesia.

Menurut dia, di level produk, yang sudah kuat adalah kelapa sawit. Sementara produk hortikultura, sayuran, pangan pokok masih impor. Beras saja Indonesia masih impor dari Vietnam dan Thailand.

Soal tiga produk yang diusulkan, Tahlim menyebutkan hal ini bukan pada aspek Indonesia siap atau tidak, tetapi lebih pada nilai strategis, termasuk sensitifitas secara politik. “Beras dan gula ini sangat sensitif. Kalau terlalu loss terhadap perdagangan internasional dampaknya akan besar. Sedangkan unggas, kalau dari sisi daya saing, sebenarnya sudah kuat. Tapi Thailand lebih expand lagi, karena itu belum kita bebaskan sepenuhnya,” katanya.

Dia juga mengatakan, produk hortikultura Indonesia belum siap. Tetapi nilai strategisnya berbeda antara impor horti dan beras. “Kita berharap, tahap awal ini produk pertanian belum dibuka cukup banyak,” tegasnya.

Peta perdagangan  ASEAN menggambarkan, banyak negara memproduksi produk pertanian yang sama, misalnya beras diproduksi oleh Indonesia dan Thailand. Jangka panjangnya Indonesia membangun kerjasama di luar ASEAN.

Namun, untuk produk unggulan hortikultura, Indonesia  memiliki mangga, manggis, dan salak yang sudah diekspor ke Australia dan Selandia Baru. Sedangkan sektor perkebunan Indonesia punya kelapa sawit dan kopi.

Tahlim mengatakan, masalah struktural tidak bisa dibangun satu-dua tahun. Thailand yang paling leading di bidang pertanian, prosesnya panjang dan butuh kebijakan komprehensif bagaimana mengatur investasi yang kondusif, infrastruktur dan sebagainya.

Secara umum, posisi petani saat ini masih sangat rentan. Jangankan untuk bersaing  melakukan ekspansi ke pasar dunia, untuk menahan produk dari luar saja sudah sulit. “Sebenarnya bidang pertanian tidak bisa hanya mengandalkan produksi saja, tetapi kualitas dan inovasi teknologi,” katanya.

Dia menambahkan, biaya transportasi dan distribusi yang sangat mahal berpengaruh pada ongkos produksi dan kesiapan produk petani menghadapi persaingan dunia.

Dengan kondisi tersebut, kata Tahlim, MEA jelas ancaman sekaligus peluang. “Kalau daya saing kita sudah oke, maka kita punya kesempatan mengisi pasar. Ini tentu dapat menjadi pemicu kita bekerja lebih keras lagi merespon tantangan yang ada.

Upaya yang telah dilakukan Kementan dalam menghadapi MEA antara lain menyepakati harmonissai standar sertifikasi proses dan produk pertanian. Jadi, semua produk yang diperdagangkan harus siap. Di lingkup Kementan, telah siapkan sosialisasi dan pendampingan pada para petani. EY Wijianti/Jamalzen    

Pemerintah tak Serius Hadapi MEA

Pemerintah dinilai kurang serius mempersiapkan diri untuk menghadapi pasar global  Masyarakat Ekonomi ASIAN (MEA) yang akan diberlakukan tahun 2015 mendatang. Bahkan menurut  pengamat pertanian Kaman Ninggolan,  pemerintah pusat belum mensosialisasi hal-hal strategis yang harus disiapkan menghadapi MEA 2015. Padahal, persaingan tak hanya menyangkut produk, tapi juga jasa. “Bahkan para birokrat kita dengan birokrat negara pesaing harus bersaing dalam artian menciptakan kebijakan yang kondusif seperti infrastruktur pertanian dan pedesaan, teknologi, SDM dan sebagainya,” kata Kaman.

Selain itu, kalangan pengusaha agribisnis juga harus memahami perdagangan regional serta para petani yang banyak bersentuhan dengan sub-sistem budidaya. Namun, dia menyayangkan dengan tahun politik 2014 dan 2015, fokus dan perhatian pun lebih ke pemilu legislatif maupun presiden.

“Para birokrat di daerah juga sangat sedikit yang memahami pentingnya persiapan dalam memasuki MEA tahun depan. Padahal perlu diciptakan forum-forum yang secara intensif membahas soal ini. Kata kunci adalah peningkatan daya saing pertanian kita dalam MEA,” tegas mantan Kepala Badan Ketahanan Pangan, Kementan ini.

Menyinggung komoditas apa yang perlu dilindungi, Kaman malah menyebut dalam konteks WTO harus memasukkan beras, jagung, kedele, dan gula sebagai special products (SP) karena Indonesia termasuk negara berkembang yang berhak memperoleh perlindungan dalam ketahanan pangan, pembangunan pedesaan dan pengentasan kemiskinan .

“Sesuai dengan komitmen dalam putaran Doha (Doha Round), di mana saya dan Mr. Serrano dari Filippina memperjuangkan hal ini tahun 2003-an di Geneva sehingga tercipta SP/SSM atau Special Products/Special Safeguard Mechanism,” katanya.

Dia mengatakan, yang perlu dilakukan pemerintah adalah keterbukaan perdagangan dengan membangun daya saing yang terintegrasi dari hulu sampai ke hilir, antara lain Pemberdayaan masyarakat miskin pedesaan dan penguatan organisasiya. Membangun kapasitas, baik individu maupun kolektif sangat penting untuk memperoleh akses terhadap peluang-peluang ekonomi, pelayanan sosial, dan infrastruktur.

“Tanpa dukungan yang kuat sangat sulit bagi orang miskin memanfaatkan peluang-peluang yang ada di lingkungannya, serta membangun kerjasama dengan mitranya,” ucapnya.

Ditanya dampak positifnya, Kaman menyebut keterbukaan pasar yang semakin luas, dan kecilnya hambatan-hambatan perdagangan dan investasi antaranggota dalam MEA. Tetapi dengan catatan masing-masing anggota selain bersaing sehat, juga harus saling membantu sesama anggota, seperti yang dilakukan Uni Eropa yang sekarang beranggotakan 27 negara.

“Indonesia harus memanfaatkan kerjasama MEA ini untuk memperluas pasar bagi komoditas perkebunan seperti minyak sawit, dan kakao yang banyak mendapat tentangan di pasar Eropa. Beberapa komoditas hortikultura juga akan lebih terbuka pasarnya, demikian pula dengan unggas,” katanya.

Sedangan dampak negatifnya bagi Indonesia, keterbukaan bisa menyebabkan serbuan impor terutama pangan dalam arti luas semakin membesar. Inilah yang harus diperhatikan pemerintah agar produk-produk pertanian tidak tergilas oleh produk impor.

“Untuk produk pangan strategis seperti beras, jagung, kedelai dan gula, kita harus all out meningkatkan produktivitas untuk meningkatkan produksi. Selain itu, diupayakan memanfaatkan lahan tidur yang  diiringi pembangunan infrastruktur pertanian besar-besaran,” tegasnya. Jamalzen