Di tengah jebloknya kinerja pertanian dan ketahanan pangan nasional, yang tercermin dari besarnya impor sejumlah komoditas pangan, Indonesia harus siap menghadapi datangnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015. Kementerian Pertanian pun mulai ketar-ketir. Selain beras dan gula, produk peternakan unggas pun mendadak ingin dimasukkan dalam sensitive list untuk menangkal serbuan impor dari sesama anggota ASEAN.
Pasar bebas ASEAN, yang tak hanya menyangkut barang tapi juga sektor jasa, segera meluncur. Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara ternyata tidak sepenuhnya siap. Setelah beras dan gula yang masih dimasukkan dalam higly sensitive list, yakni barang yang masih bisa dikenakan bea masuk impor, mendadak Kementerian Pertanian akan mengusulkan produk peternakan unggas sebagai dalam daftar sensitif.
Keinginan itu dikemukakan Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Rusman Heriawan. “Kita ingin beras, gula dan unggas tetap diproteksi,” ujarnya. Alasannya sederhana, ketiganya adalah komoditas strategis yang butuh perlakuan khusus, seperti pengenaan bea masuk hingga pengaturan kuota dan importasi.
Sepintas, alasan Wamentan masuk akal. Namun, di mata Kementerian Perdagangan, usulan tidak segampang itu, kalau bukan mustahil. Hal itu ditegaskan Dirjen Kerja Sama Perdagangan Internasional, Kemendag, Iman Pambagyo. Bahkan, dia mengatakan tidak ada lagi negosiasi di ASEAN soal penetapan tarif terhadap komoditas atau pos tarif. “Semua sudah selesai. Setelah 1 Januari 2010, ASEAN 6 sudah menolkan semua produk yang termasuk dalam inclusion list,” ujarnya, akhir pekan lalu.
Ini yang dinilai pengamat ekonomi pertanian Kaman Nainggolan sebagai ketidakseriusan pemerintah menghadapi MEA. Apalagi, MEA tak hanya menyangkut barang, tapi juga jasa. “Kita kurang serius mempersiapkan diri. Padahal, yang bersaing bukan hanya produk, tapi juga birokrat harus bersaing menciptakan kebijakan yang kondusif. Sayangnya, sangat sedikit yang memahami pentingnya persiapan memasuki MEA tahun depan,” ujarnya.
Menurut Kaman, yang harus diproteksi tak hanya beras dan gula, tapi juga kedele dan jagung sesuai dengan konteks WTO. Keempat komoditas itu perlu masuk dalam special product atas pertimbangan luas areal, tenaga kerja yang diserap, produksi, dan konsumsi.
Ini memang persoalan serius. Pasalnya, dari sisi Indeks Ketahanan Pangan Global 2013, Indonesia ada di posisi ke-66 dari 107 negara. Di kalangan ASEAN posisi ini malah di bawah Filipina di posisi 64. Apakah harus menunggu rezim baru untuk bergerak? AI