Kementerian Kehutanan berkeras segera menerapkan PP No.12 Tahun 2014. Apalagi, pelaku pengusahaan hutan dinilai sudah cukup lama menikmati keringanan tarif DR dan PSDH.
PP No.12 Tahun 2014 bakal berlaku secara efektif per 14 Maret 2014. Itu berarti hanya sebulan setelah diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meski minim waktu sosialisasi, PP No.12 Tahun 2014 akan diterapkan sesuai dengan ketentuan.
Sekjen Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto menyatakan, sudah sepantasnya ada penyesuaian tarif DR dan PSDH. Apalagi, tarif DR dan PSDH yang lama yang mengacu kepada PP No.59 Tahun 1998 yang terakhir diubah lewat PP No.92 Tahun 1999, sudah tidak lagi sesuai dengan kondisi saat ini. “Tarif yang lama sudah berlaku 15 tahun lebih. Pantas jika disesuaikan,” kata Hadi di Jakarta, Kamis (13/3/2014).
Meski ada kenaikan dan perluasan jenis PNBP yang ditarik, Hadi yakin hal itu tidak akan membunuh pengusaha. Dia mencontohkan kenaikan pada kayu bulat hutan alam berdiameter di atas 49 cm yang hanya 0,5 dolar AS.
Apalagi, tarif DR dan PSDH yang ditetapkan sudah mengakomodir usulan pengusaha. Sebut saja soal klasifikasi kayu bulat sedang (KBS), yang dalam ketentuan lama tidak diatur. Hadi menyatakan, salah satu alasan pembaruan tarif DR dan PSDH memakan waktu lama adalah pertimbangan kondisi bisnis pengusahaan hutan.
Hadi juga menyatakan akan menerapkan ketentuan tersebut secara konsisten, termasuk soal penggantian nilai tegakan. Dia menjelaskan, ketentuan soal PNT untuk mencegah moral hazard alias aji mumpung untuk pemanfaatan kayu hasil penyiapan lahan pada areal HTI dan perkebunan.
Menurut Hadi, di masa lalu banyak praktik tak beretika, di mana pemilik izin kebun atau HTI. Modusnya adalah dengan mengajukan izin HTI atau pelepasan hutan untuk kebun, namun tak pernah benar-benar merealisasikan izin yang sudah diberikan pemerintah. Sebab, tujuan utamanya adalah memperoleh kayu ‘gratis’ pada proses land clearing bermodal izin pemanfaatan kayu (IPK).
Tak berlebihan juga menyebut kayu IPK sebagai kayu ‘gratis’. Pasalnya, di masa lalu, kayu tersebut bisa dimanfaatkan hanya dengan mengeluarkan sepeser Dana Reboisasi. Padahal, sudah jadi rahasia umum kalau kayu hasil land clearing dan pembukaan perkebunan masih punya nilai Rupiah yang menggiurkan.
“Timbulnya moral hazzard seperti itulah yang dicegah dengan ketentuan penggantian nilai tegakan,” kata Hadi.
Pungutan berganda
Namun, langkah pemerintah yang menerapkan jenis-jenis pungutan pada komoditas kayu seperti diatur PP No.12 Tahun 2014 menuai kritik keras. Sebab, hal itu berarti pemerintah menerapkan pungutan berganda pada satu obyek yang sama.
“Sejak awal, pungutan yang diterapkan pemerintah melanggar prinsip,” kata pengamat kehutanan IPB, Bintang Simangunsong.
Dia menjelaskan, pengenaan DR, PSDH, yang kemudian ditambah dengan PNT, menjadikan log dikenai tiga pungutan sekaligus. Hal itu tidak tepat jika mengacu kepada prinsip ekonomi kehutanan. Bintang menyatakan, pungutan yang dikenakan seharusnya hanya satu, yaitu stumpage value, yang diterjemahkan lewat PNT.
“Jika nilai stumpage value yang diterapkan terlalu rendah, ya dihitung ulang. Bukan dipungut berkali-kali dengan jenis pungutan yang berbeda,” ujarnya.
Bintang juga mengingatkan, pungutan DR adalah sebuah kesalahan sejarah. Pungutan tersebut berawal dari maksud pemerintah yang ingin memastikan pemegang konsesi kehutanan mengelola hutannya dengan baik. Pungutan yang awalnya punya nama Dana Jaminan Reboisasi (DJR) itu bisa direstitusi oleh pemegang konsesi kehutanan yang melakukan reboisasi pada konsesinya. “Tapi belakangan DR malah menjadi salah satu sumber penerimaan negara. Ini tidak tepat,” kata dia.
Bintang menegaskan, jika pemerintah terus menjalani kebijakan keliru dalam menarik pungutan kehutanan dengan tarif yang terus meningkat, dipastikan akan semakin menekan bisnis pengusahaan hutan. “Cost usaha kehutanan tentu akan naik. Sementara iklim usaha belum membaik. Kalau begini terus, omong kosong revitalisasi industri kehutanan,” kata dia. Sugiharto
Mengejar Target Rp5,1 Triliun
Naiknya tarif DR dan PSDH diharapkan bisa mendongkrak Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor kehutanan. Oleh DPR, Kemenhut ditarget untuk menarik PNBP sebesar Rp5,1 triliun pada tahun ini.
Sekjen Kemenhut Hadi Daryanto menjelaskan, ada perluasan jenis PNBP seperti diatur dalam PP No.12 tahun 2014. Sebelumnya, jenis PNBP yang terkait dengan pengusahaan hasil hutan kayu hanya ada lima. “Sekarang ada 15 jenis,” ujar Hadi.
Jenis tersebut termasuk di antaranya iuran untuk izin usaha Restorasi Ekosistem, pemanfaatan jasa lingkungan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, ganti rugi tegakan, penggantian nilai tegakan, transaksi penyerapan dan penyimpanan karbon, hasil sistem silvopastural, dan hasil sistem silvofishery.
“Dengan kenaikan tarif DR dan PSDH tersebut, harapannya PNBP kehutanan bisa meningkat,” kata Hadi.
Tahun 2013 PNBP kehutanan mencapai Rp3,33 triliun. Sebanyak Rp2,56 triliun berasal dari setoran yang terkait pengusahaan kayu, seperti DR-PSDH dan iuran usaha pemanafaatan hutan. Realisasi tersebut hanya 75,79% dari target yang ditetapkan oleh DPR yang sebesar Rp4,39 triliun.
Untuk tahun 2014, DPR menargetkan PNBP kehutanan sebanyak Rp5,1 triliun dengan Rp4,3 triliun di antaranya berasal dari jenis yang terkait pengusahaan hutan kayu.
Meski ditarget tinggi, Hadi menyatakan Kemenhut tak terlalu optimis bakal tercapai. Salah satu persoalannya, kata dia mengakui, industri kehutanan saat ini belum terlalu bergairah.
Hadi menegaskan, agar industri kehutanan tak terpukul dengan kenaikan tarif DR-PSDH, Kemenhut siap untuk terus melakukan reformasi birokrasi dan percepatan pelayanan. Dia menyatakan aturan-aturan yang dinilai menghambat bisnis kehutanan akan perbaiki bahkan bila perlu dihilangkan. “Relaksasi peraturan kehutanan, membangun kepastian usaha kehutanan dan diiringi perbaikan layanan perizinan akan terus kami lakukan agar bisnis kehutanan bisa terus bergerak,” katanya.
Hadi secara khusus juga meminta seluruh koleganya di Kemenhut untuk bekerja lebih keras menggairahkan usaha kehutanan. “Jangan malah sibuk nonton lomba baris-berbaris atau lomba menyanyi,” kata dia merujuk keasyikan beberapa pejabat Kemenhut yang justru intensif mengikuti lomba-lomba pada peringatan Hari Bhakti Rimbawan, pekan lalu.
“Selesaikan dulu revisi ketentuan kehutanan yang dinilai menghambat dan berpotensi korupsi menurut kajian KPK. Ikut lomba boleh saja, tapi ingat tugasnya untuk melayani publik. Bukan mengejar juara umum lomba,” cetus Hadi. Sugiharto