Ketimbang Mangkrak Lebih Baik ‘Menyerah’

Pergantian kepemimpinan negeri kepada Joko Widodo coba direspon cepat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Guna mewujudkan Nawacita yang dicanangkan Jokowi, demikian panggilan akrab Joko Widodo, Kementerian LHK bakal mengoptimalkan pengelolaan kawasan hutan.

Salah satu terobosan yang cukup nyeleneh adalah tawaran ‘lempar handuk’ alias “menyerah” kepada para pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK). Bermodal eksistensi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), Kementerian LHK cukup percaya diri untuk bisa mengelola secara langsung hutan eks IUPHHK.

Tawaran itu juga tidak ujug-ujug. Banyaknya IUPHHK yang mati suri cukup membuat Kementerian LHK geregetan. Lewat KPH, konsesi yang mangkrak itu diharapkan bisa lebih maksimal untuk menghasilkan berbagai komoditas hasil hutan, sekaligus menyejahterakan masyarakat di dalam dan sekitarnya.

Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian LHK Bambang Hendroyono menyatakan, pemerintah menginginkan agar pengelolaan hutan bisa optimal. Langkah itu bukan saja memastikan investasi yang ditanamkan tetap bisa berkelanjutan dan tetap memperhatikan aspek sosial kelestarian lingkungan.

Untuk itu, para pemegang IUPHHK harus mengoperasionalkan konsesinya. Bambang menantang para pengusaha untuk mengembalikan izin kepada pemerintah jika memang tak sanggup mengelola konsesinya. “Pemerintah mampu mengelola sendiri melalui KPH,” cetusnya di Jakarta, Jumat (19/12/2014).

Pernyataan tersebut menegaskan apa yang disampaikannya saat bertemu para pemegang IUPHHK hutan tanaman industri (HTI) pada rapat pembahasan pengelolaan, percepatan tanam, dan pencegahan kebakaran HTI di Kantor Kementerian LHK di Jakarta, Kamis (20/11/2014). Saat itu, Bambang meminta para pemegang izin untuk memetakan potensi masalah yang mengakibatkan konsesinya mangkrak dan mencari solusinya, termasuk soal konflik lahan. “Siapkan solusinya, pemerintah siap membantu,” katanya.

Sebagai gambaran, untuk izin HTI saja, mengacu data Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), ada 235 izin dengan luas wilayah pengelolaan sekitar 10,5 juta hektare (ha). Adapun izin HTI yang aktif tercatat hanya 45% atau 106 unit.

Bambang mengungkapkan, pihaknya selama dua tahun terakhir melakukan bedah kinerja kepada seluruh pemegang izin HTI. Hasilnya? Hanya ada 51 unit izin HTI yang layak dilanjutkan. Sisanya berstatus ‘layak dilanjutkan dengan catatan’ dan ‘layak dilanjutkan dengan pengawasan’. Bahkan, ada 37 unit HTI yang layak dievaluasi izinnya.

Dia menekankan, langkah untuk mengoptimalkan kawasan hutan merupakan implementasi kebijakan Jokowi-JK. Sesuai dengan Nawacita yang dicanangkan sejak awal, pemerintah menginginkan adanya pembangunan dari desa untuk kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor strategis domestik serta meningkatkan produktivitas rakyat. Di sisi lain, Jokowi-JK juga menginginkan kehadiran negara untuk seluruh komponen bangsa dan selalu hadir mendukung tata kelola pemerintahan yang bersih. “Untuk pengelolaan hutan itu bisa diwujudkan melalui KPH,” kata Bambang.

Bambang cukup optimis KPH bisa mengelola kawasan hutan yang selama ini diamanatkan kepada pemegang izin. Berada di tingkat tapak, KPH tahu persis bagaimana situasi dan kondisi hutan yang dikelola. Mulai digenjot sejak lima tahun lalu, hingga kini pemerintah telah menetapkan 600 wilayah KPH dengan 120 unit ditunjuk menjadi KPH model. “Tahun depan peran KPH bakal makin vital,” katanya.

Menurut dia, sedikitnya dana Rp2 triliun bakal digelontorkan untuk mendukung operasionalisasi KPH. Dana tersebut berasal dari anggaran di Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan dan Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial. Dana operasionalisasi KPH bisa lebih besar lagi. Sebab, sesuai dengan kebijakan “No KPH No Budget” yang dicanangkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), maka dana pembangunan kehutanan harus ditempatkan di KPH.

Bukan sengaja

Tawaran menohok dari Kementerian LHK coba ditanggapi positif pelaku pengusahaan hutan. Direktur Eksekutif APHI Purwadi Soeprihanto menilai apa yang dinyatakan Kementerian LHK untuk memotivasi pemegang IUPHHK agar bekerja lebih baik lagi. Namun, dia juga mengingatkan bahwa tidak aktifnya pemegang IUPHHK bukan karena kesengajaan. Namun, karena ada faktor-faktor eksternal yang butuh dukungan pemerintah untuk diselesaikan.

“Insentif yang dibutuhkan di antaranya soal kepastian lahan, harga kayu bulat yang menarik, dan regulasi yang mendukung. Tanpa insentif itu, warning pemerintah percuma,” katanya.

Purwadi menuturkan, insentif yang dibutuhkan tersebut sudah disampaikan langsung kepada Menteri LHK Siti Nurbaya. Dia berharap, pemerintah bisa membuat semacam crash programme untuk menyediakan insentif tersebut. “Pemerintah bisa membuat sebuah paket kebijakan terkait insentif tersebut. Jika pemegang izin masih belum juga bekerja, maka ada konsekuensinya,” ujarnya.

Kalangan pelaku usaha sendiri sebenarnya sangat menunggu KPH benar-benar beroperasi di lapangan. Sebagai sebuah unit di lapangan yang memiliki kewenangan untuk pengelolaan hutan, KPH diharapkan bisa memperpendek rantai birokrasi dan memangkas biaya perizinan. Sugiharto

Bisa Dilakukan Jika KPH Beroperasi Penuh

Pakar kehutanan IPB, Dodik R Nurochmat mengakui, KPH sejatinya layak untuk mengelola kawasan hutan jika pemerintah memutuskan untuk menarik izin IUPHHK yang mangkrak. Hanya saja, hal itu bisa terjadi jika KPH telah beroperasi secara sempurna. “Permasalahannya KPH yang telah benar-benar beroperasi belum ada,” kata dia.

Dodik menuturkan, untuk bisa dinyatakan beroperasi, sebuah KPH harus terpenuhi faktor personel, program, dan pembiayaan. Saat ini, belum ada KPH yang telah memenuhi faktor-faktor tersebut. Untuk faktor personil misalnya. Jika mengacu pada apa yang diterapkan di Jawa, dimana setiap personel bertanggung jawab untuk luas areal 10 hektare, maka pada sebuah KPH yang memiliki luas wilayah 100.000 hektare, butuh personel hingga 10.000 orang. Padahal, saat ini jumlah personel di KPH rata-rata kurang dari 30 orang.

Bercermin pada situasi saat ini, Dodik menyebut KPH yang seharusnya menjadi unit pengelola di tingkat tapak, masih berada ‘di langit’. Meski demikian, dia menegaskan peran KPH mesti terus dipoles untuk bisa beroperasi secara ideal. Menurut Dodik, dengan anggaran yang terbatas, pemerintah sebaiknya fokus untuk mengembangkan sebagian KPH yang benar-benar bisa menjadi model ketimbang menyebar anggaran ke seluruh KPH.

“Mengacu theory survival, jika ada 20 korban pesawat jatuh di gunung dengan ketersediaan makanan yang hanya cukup bagi lima orang, maka sebaiknya dipilih lima orang terkuat yang bisa memberi harapan untuk menginformasikan kejadian tersebut kepada pihak berwenang. Jadi, korban yang lain pun tetap ada harapan,” katanya.

Dodik juga mengingatkan agar Kementerian LHK untuk tidak main betot IUPHHK meski tidak aktif. Sebab, seburuk-buruknya IUPHHK yang tidak aktif, maka kawasan tersebut masih memiliki tutupan hutan. Sebaliknya, begitu IUPHHK dicabut dan dibiarkan tanpa pengelola, maka kawasan itu akan open access yang justru bisa berakibat hilangnya hutan. “Kalau satu IUPHHK mau dicabut, harus segera ditetapkan pengelola yang baru. Kalau tidak, dalam waktu empat tahun, hutan yang ada pasti habis,” katanya. Sugiharto