Relakan Kewenangan Pengelolaan Hutan ke KPH

Eksistensi KPH memang memunculkan harapan pengelolaan hutan yang lebih baik. Untuk itu, diperlukan komitmen yang lebih kuat dari semua pemangku kepentingan agar KPH benar-benar beroperasi di lapangan.

Dirjen Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Soepijanto menuturkan, salah satu kunci KPH beroperasi adalah memberikan kewenangan untuk mengelola hutan. “Pemerintah di pusat dan daerah harus benar-benar rela untuk melepas kewenangan pengelolaan hutan ke KPH,” katanya.

Bambang mengingatkan, peran pemerintah dalam pengelolaan hutan adalah sebagai regulator dan KPH yang akan menjadi operatornya. Jadi, tugas utama pemerintah adalah menyiapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria.

Kementerian LHK sudah membagi habis seluruh wilayah hutan produksi dan hutan lindung Indonesia ke dalam 600 KPH. Mengacu kepada Rencana Strategis tahun 2009-2014, Kemenhut menargetkan 120 wilayah di antaranya beroperasi sebagai unit KPH. 120 KPH yang beroperasi tersebut diharapkan bisa menjadi model pengungkit untuk KPH lainnya di seluruh Indonesia.

Namun, rupanya masih ada tantangan besar. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan terhadap 120 KPH model, hanya ada 26 unit KPH yang beroperasi dengan sangat baik. Sementara sisanya, 39 unit masuk kategori baik, 23 unit masuk kategori cukup baik, dan 32 lainnya berkategori kurang baik (lihat tabel).

Bambang menyatakan, dengan komitmen yang kuat dari semua pihak, termasuk pemerintah daerah, maka KPH yang beroperasi secara mandiri pasti akan terlaksana. “KPH itu harus self propelled development. KPH pada akhirnya harus bisa membiayai dirinya sendiri untuk beroperasi,” katanya.

Komitmen pemerintah daerah memang cukup penting. Sebab, sejatinya KPH adalah bagian dari pemerintah daerah. Bambang pun berharap ada perubahan politik penganggaran di pemerintah daerah untuk lebih cair dalam mengucurkan dana awal KPH. “Kalau KPH beroperasi dengan baik, yang untung pemerintah daerah. Pendapatan yang dihasilkan pun masuk kantong pemerintah daerah,” katanya.

Sementara untuk pengelola KPH, Bambang menantang mereka untuk berfikir out of box guna memanfaatkan peluang yang ada untuk operasional KPH. Dia menyarankan agar pengelola KPH mengoptimalkan potensi yang ada, meski sederhana. “Yang paling penting, rencana yang dibuat bisa dieksekusi, sehingga KPH bisa mendapat pendanaan mandiri dan melakukan pengelolaan hutan secara independen,” katanya. Sugiharto

Ketika Yogyakarta Jadi Rujukan

Kesatuan Pengelolaan Hutan yang sudah beroperasi saat ini memang belum ada yang ideal. Meski demikian, bukan berarti tak ada yang bisa diandalkan. KPH Yogyakarta adalah satu contoh yang bisa jadi rujukan.

Sebuah KPH yang ideal memang bukan sekadar punya kantor dan mobil operasional. Tetapi, harus mampu beroperasi secara mandiri untuk mengelola sumber daya hutan secara mandiri. Kemandirian juga dituntut soal pengelolaan keuangan. Kemandirian tersebut memastikan unit pengelola hutan di tingkat tapak tersebut bisa mengidentifikasi berbagai persoalan dan menyediakan solusinya secara tepat dan cepat.

Jadi, banyak hal yang dibutuhkan KPH, selain soal sarana dan prasarana. KPH juga butuh rencana pengelolaan hutan dan ketersediaan SDM yang profesional. Soal pengelolaan anggaran, KPH bisa bergerak lincah jika telah menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan  Badan Layanan Umum Daerah (BLU).

Sampai saat ini, KPH yang pembangunannya mulai digenjot sejak lima tahun lalu, memang belum ada yang bisa beroperasi secara ideal. Namun, di antara yang sudah beroperasi, ada beberapa yang cukup kinclong. Salah satu yang paling menonjol adalah KPH Produksi Yogyakarta.

“Dengan segala keterbatasannya, KPH Yogyakarta berhasil mengelola wilayah hutannya dengan baik,” kata Direktur Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan Kementerian LHK, Is Mugiono.

KPH Yogyakarta bukan saja berhasil mengelola potensi hutannya secara berkelanjutan, namun juga berhasil mendukung pemberdayaan masyarakat dengan baik. KPH Yogyakarta juga mampu berkontribusi terhadap penerimaan asli daerah (PAD) — suatu mimpi yang kerap membayang di depan pemerintah daerah ketika bicara soal organisasi kerja baru.

Menurut Is Mugiono, KPH Yogyakarta bisa menjadi contoh bagi semua pihak, baik di pusat maupun di daerah, bagaimana hutan yang dikelola oleh KPH bisa bermanfaat dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan secara harmonis. “Jadi, upaya kita harus lebih kuat untuk mengoperasionalisasi KPH di seluruh Indonesia,” katanya.

Padahal, jika dibandingkan dengan KPH lainnya, cukup banyak kekurangan yang dimiliki KPH Yogyakarta. Jangankan soal bentuk kelembagaan yang belum menerapkan PPK BLUD, KPH Yogyakarta bahkan belum memiliki Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP) seperti diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan (permenhut) No.46 tahun 2013 tentang Tata Cara Pengesahan RPHJP KPH Lindung dan KPH Produksi.

Meski demikian, KPH Yogyakarta selangkah di depan. Hal itu boleh jadi karena KPH Yogyakarta memiliki pengalaman telah beroperasi lebih dulu sebelum pemerintah menggenjot pembangunan KPH.

Secara resmi, organisasi KPH Yogyakarta dibentuk tahun 2008 lewat Peraturan Gubernur No.40 tahun 2008 dan diperkuat  Peraturan Daerah No. 36 Tahun 2008 tentang Tentang Organisasi Dan Tata Kerja UPTD Dan UPT Lembaga Teknis Daerah Provinsi DIY. Mengelola wilayah hutan produksi seluas 15.724,50 hektare (ha), saat ini kelembagaan KPH Yogyakarta adalah unit pelaksana teknis daerah (UPTD) dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Yogyakarta.

Dari sisi kelembagaan itu saja, kekurangan KPH Yogyakarta sudah terlihat. Mengacu kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri No.61 tahun 2010, sebuah KPH seharusnya langsung bertanggung jawab kepala daerah.

Kepala KPH Yogyakarta Aji Sukmono menjelaskan dukungan dari pemerintah Yogyakarta dan stakeholder terkait, bisa menutup kekurangan yang dimiliki KPH Yogyakarta. “Dukungan yang diberikan menjadikan kami bisa beroperasi secara mandiri dan gegas dalam menghadapi permasalahan pengelolaan hutan,” katanya.

Menariknya, kemandirian KPH Yogyakarta terutama ditopang oleh satu komoditas hasil hutan saja, yaitu minyak kayu putih. Pemda Yogyakarta pun tak segan menguyur investasi untuk mengoptimalkan pendapatan daerah dari minyak kayu putih, termasuk membangun industri penyulingan.

Terdapat sekitar 4.000 hektare areal pohon kayu putih yang dikelola KPH Yogyakarta. Tahun ini Pemda Yogyakarta menyediakan anggaran sebesar Rp8 miliar untuk program kegiatan KPH Yogyakarta. Di sisi lainnya, KPH Yogyakarta bisa menargetkan penerimaan sebesar Rp10,8 miliar. Sampai November penerimaan yang berhasil direalisasikan sebesar Rp9,3 miliar.

Idealnya, untuk bisa menarik penerimaan dari hasil hutan, sebuah KPH menerapkan PPK BLUD. Namun, KPH Yogyakarta tetap bisa melakukannya karena adanya dukungan peraturan daerah yang mengacu kepada UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi.

Menurut Aji, untuk pengelolaan tanaman kayu putih, pihaknya menjalin kemitraan dengan masyarakat.  Warga juga dilibatkan untuk memanfaatkan lahan di sela pohon kayu putih dengan cara tumpangsari. “Setidaknya ada 9.000 orang terlibat dalam pengelolaan kayu putih,” katanya.

Kontribusi KPH terhadap masyarakat yang mengelola kayu putih pun sangat besar. Selain penyaluran upah untuk pemetikan daun kayu putih, masyarakat juga mendapat hasil panen tumpangsari sepenuhnya. Nilainya, bisa mencapai Rp40 miliar per tahun. Sugiharto