Kisruh Akibat Kemitraan Liberal

Pemerintah akan mematok harga anak ayam umur sehari (Day Old Chick/DOC) sebesar Rp3.200/ekor. Harga DOC belakangan ini sering tidak stabil, karena produksinya hanya dikuasai perusahaan besar yang terintergrasi. Masalah kartel di perunggasan ini sebenarnya sudah lama terjadi. Namun, ditutupi dengan pola kemitraan antara industri unggas dengan peternak rakyat.

Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Syukur Iwantoro mengatakan, saat ini kemitraan antara peternak dengan industri unggas sangat liberal. “Liberalisasi kemitraan ini terlihat dari  ketidakjelasan jumlah mitra dan produksi DOC yang dihasilkan,” katanya.

Akibat ketidakjelasan tersebut, lanjut Syukur, sering menimbulkan kekisruhan di kalangan pengusaha unggas dalam negeri. ”Kemitraan yang dibangun para industri besar hanya dipakai untuk memenuhi kebutuhan perusahaan sendiri dan kolega di sekitarnya,” tegas Syukur kepada Agro Indonesia.

Itu sebabnya, Kementerian Pertanian (Kementan) menyambut baik rencana Kementerian Perdagangan untuk mematok harga DOC, karena kebijakan itu dimaksudkan untuk melindungi kepentingan peternak rakyat serta untuk memberikan jaminan kelangsungan usaha peternakan rakyat.

“Kami satu perahu dengan Kemendag. Asalkan kebijakannya untuk kesejahteraan peternak dan kelangsungan usaha peternakan, tentu kami dukung,” jelasnya.

Syukur mengatakan, dengan adanya harga patokan DOC, diharapkan produsen tidak seenaknya saja menaikkan harga jual. Dengan demikian, peternak rakyat mendapat jaminan  DOC dengan harga yang terjangkau. ”Kita harapkan juga dengan adanya jaminan DOC ini peternak kecil atau peternak menengah dapat berkembang menjadi peternak besar,” tegasnya.

Menurut Syukur, saat ini pemerintah sedang menyiapkan jenis kemitraan yang paling ideal untuk semua pihak. Sistem kemitraan yang sedang dipersiapkan itu antara lain harus diketahui dinas peternak setempat. Dengan demikian, ada pihak yang berwewenang untuk mengawasi kemitraan tersebut.

“Istilahnya, ada juri atau wasit lah. Sekarang ini kan sangat liberal. Kemitraan hanya untuk kepentingan perusahaan inti dan kolega-kolega mereka saja,” tegasnya.

Ditanya berapa banyak industri perunggasan yang melakukan kemitraan, Syukur mengatakan jumlah pastinya masih terus diperbarui (up-date), karena datanya terus berkembang.

Syukur mengatakan, pola kemitraan yang ada sekarang ini lebih banyak menguntungkan pihak inti. “Berdasarkan pengamatan kami, kemitraan sekarang risikonya lebih banyak dibebankan kepada plasma,” katanya.

Namun, dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pemberdayaan Peternak, aturannya lebih tegas karena salah satu pasalnya mengatur tentang ketentuan kemitraan. Selain itu juga, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan sedang merumuskan draft Permentan tentang kemitraan yang intinya menekankan pada profit sharing serta memasukan unsur berbagi beban risiko kerugian.

“Dalam Permentan itu kami juga memasukkan keterlibatan Dinas Peternakan dan Kesehatan Provinsi, Kabupaten/kota dalam aspek pembinaan. Selama ini, keterlibatan dinas dalam pengawasan kemitraan belum optimal karena memang belum ada dasar hukumnya,” katanya.

Dia mengatakan, kebijakan yang dibuat pemerintah adalah melindungi peternak agar tidak dirugikan. Di samping itu, usaha peternakan, khususnya ternak rakyat, harus tetap tumbuh, sejalan dengan industri perunggasan sehingga antara ternak rakyat dan industri berjalan berdampingan.

Ekspor

Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam jangka pendek akan fokus pada upaya menerobos ekspor daging ayam olahan ke Jepang. Saat ini, para pelaku usaha perunggasan masih terpaku pada pasar dalam negeri. Padahal, akar permasalahan industri perunggasan adalah tataniaga dan biaya operasional yang sangat inggi. “Banyak tengkulak dan broker, sehingga membuat rantai niaganya terlalu panjang. Jadi, inti masalah inilah yang kita benahi,” katanya.

Sementara itu Wakil Menteri Pertanian, Rusman Heriawan mengatakan, untuk meminimalisir gesekan antar pelaku usaha perunggasan, pemerintah meminta industri unggas terintegrasi untuk  melakukan ekspansi usaha ke luar negeri.

“Kami  mendorong industri besar perunggasan memasuki pasar ekspor. Hal ini sebagai salah satu cara menghindari gesekan antar-pelaku usaha perunggasan di dalam negeri,” katanya.

Dia menyebutkan, pemerintah mengarahkan industri besar perunggasan agar tidak hanya mengembangkan pasar domestik, tetapi mulai menjajaki potensi pasar di luar negeri, karena cepat atau lambat tentu pasar domestik semakin jenuh.

Pemerintah, lanjutnya, telah membawa tiga pelaku industri besar perunggasan ke Jepang, yaitu PT Charoen Pokphand Indonesia, Sierad Produce dan Japfa Comfeed Indonesia untuk memasarkan produk ayam olahannya.

Rusman mengatakan, Jepang menjadi pasar yang penting karena memiliki potensi yang bagus dan daya beli masyarakat yang sangat tinggi. Selain itu, Jepang bisa menjadi jalan pembuka bagi Indonesia untuk mengekspor unggas, khususnya ayam ke negara-negara lainnya.

Sebagaimana diketahui, Jepang memiliki standar mutu yang sangat tinggi, sehingga jika Jepang sudah mau menerima ayam olahan Indonesia maka negara tujuan ekspor lainnya akan lebih mudah menerima.

Rencananya, selain Jepang Indonesia juga akan memasuki pasar Timur Tengah. Hal ini disebabkan secara geopolitis Indonesia diuntungkan karena berdagang dengan sesama negara mayoritas muslim dengan kepemilikan standar halal yang telah diakui.

Keseimbangan baru

Terkait dengan Surat Edaran Mendag tentang harga eceran tertinggi bibit anak ayam (DOC), Rusman mengatakan Kementan mendukung karena hal itu membentuk keseimbangan baru. Diharapkan, dengan keseimbangan tersebut bisa menghindarkan peternak kecil pada ketergantungan terhadap perusahaan besar, sehingga rentan menjadi korban dalam permainan harga.

“Aturan tataniaga pasar perunggasan penting dilakukan agar ada keadilan bagi masyarakat. Jadi, sistemnya sedang kita perbaiki, kalau nanti ada kecenderungan dugaan kartel ini yang harus diperbaiki,” kata Rusman.

Data Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas Indonesia (GPPU) menunjukkan, impor grand parent stock (GPS) tahun ini meningkat. Tahun lalu, impor GPS sebesar 571.000 ekor. Tahun ini diperkirakan impor GPS bisa mencapai 650.000 ekor. Periode Januari hingga November, realisasi impor bibit indukan ayam potong sudah mencapai 574.932 ekor.

Sementara itu, produksi DOC juga terus meningkat. Mengutip data Kementan, tahun lalu produksi DOC sekitar 1,8 miliar ekor ayam. Sedangkan di tahun 2014 ini, produksi DOC meningkat menjadi 2,2 miliar ekor ayam. Diperkirakan, tahun depan produksi DOC akan kembali naik, yakni mencapai sekitar 2,5 miliar ekor. E.Y. Wijianti

Kapitalis Kendalikan Jutaan Peternak Rakyat

Ketua Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN), Sigit Prabowo mengatakan harga DOC yang ditetapkan pemerintah Rp3.200/ekor untuk sementara cukup efektif membantu peternak rakyat. Dengan surat edaran itu, harga DOC bisa ditekan agar tidak melambung tinggi.

“Sebelum kebijakan itu diterapkan harga di DOC pernah mencapai Rp7.000/ekor. Kalau harga DOC tinggi, harga jual ayam broiler rendah, maka peternak yang rugi. Kebijakan harga DOC ini untuk sementara efektif,” kata Sigit.

Dia mengatakan, dengan harga patokan DOC Rp3.200/ekor, produsen DOC yang terintegrasi mengalami kerugian karena HPP DOC di industri unggas mencapai Rp4.250/ekor. “Untuk usaha pembibitan, mereka (perusahaan) memang rugi, tapi mereka bisa mengambil untung di usaha yang lain seperti pakan, atau bisnis olahan dari daging ayam. Namanya juga perusahaan terintegrasi, mereka menguasai dari hulu sampai hilir,” katanya.

Sigit mengatakan, DOC dikuasai industri kapitalis, sehingga peternak rakyat sangat sulit untuk bisa bersaing. Sekarang ini peternak unggas rakyat hanya sekitar 7 juta orang dengan usaha ternaknya berkisar antara 3.000-5.000 ekor.

Menurut dia, jika peternak rakyat tidak diperhatikan, maka akan habis dan usaha peternakan dikuasai industri terintegrasi. Industri ini dengan seenaknya menaikan harga DOC atau harga pakan. “Produksi DOC sekarang ini mencapai 44 juta/minggu. Jumlah yang besar ini semuanya dikuasai industri perunggasan,” katanya.

Ditanya soal kemitraan antara peternak rakyat dengan industri, Sigit menyebutkan peternak rakyat menjadi kuli di kandang sendiri. “Sering kali terjadi, harga pakan dan DOC sudah dinaikkan terlebih dahulu. Akibatnya, peternak hanya mendapat upah pembesaran saja,” tegasnya. E.Y. Wijianti