Krisis Pupuk Ancam Petani

Krisis pupuk mengancam petani Indonesia. Pasalnya, dari jumlah kebutuhan pupuk subsidi sebanyak 9,5 juta ton, pemerintah hanya menyetujui 7,7 juta ton. Dari jumlah ini, diperkirakan bulan Oktober atau November 2014 pupuk subsidi sudah kosong.

Kementerian Pertanian (Kementan) berusaha mencukupi kebutuhan pupuk ini dengan mengajukan anggaran tambahan melalui  dewan. Namun, pihak DPR melalui Komisi IV dalam Rapat Kerja dengan Menteri Pertanian Suswono pada 27 Januari 2014, minta Kementan (pemerintah) melakukan realokasi anggaran pupuk organik ke anorganik.

Selain itu, dewan minta agar Kementan mendorong dan mengoptimalkan pupuk organik yang diproduksi para petani. Memang, sebagian petani sejak 2009 mendapat bantuan alat Unit Pengolah Pupuk Organik (UPPO). Dengan alat ini diharapkan kebutuhan pupuk organik kelompok dapat dipenuhi.

Hal yang lain dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi kekurangan pupuk anorganik ini adalah menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) atau menaikan Harga Eceran Tertinggi (HET).

“Kemungkinan-kemungkinan untuk mengatasi masalah kekurangan pupuk ini bisa saja kita lakukan,” kata Menteri Pertanian Suswono kepada Agro Indonesia, usai sholat Jumat, pekan lalu.

Dia mengatakan, Komisi IV DPR menyarakan agar pemerintah merealokasi anggaran subsidi pupuk organik. Namun, kata Suswono, kemungkinan realokasi itu sangat sulit dilakukan setelah pihaknya melakukan kajian mendalam. Menurut Suswono, ada bebarapa alasan kenapa realokasi anggaran organik sulit dilakukan, antara lain jika laksanakan akan terjadi perubahan kuantum pupuk sebagaimana volume penyediaan per jenis pupuk yang telah di tetapkan dalam Permentan No.122/11/2013.

“Selain itu, perubahan kuantum pupuk bersubsidi memerlukan revisi Permentan, dan Perbub maupun Perbup/wali. Semua revisi ini memerlukan waktu dan tentu berdampak pada penyediaan pupuk pada tahun ini,” tegas Suswono.

Alasan lain? Dihapuskannya subsidi pupuk organik akan berdampak terhadap upaya pemupukan berimbang, serta tidak sejalan dengan upaya pemerintah mendorong penggunaan pupuk manjemuk  dan organik. “Anggota dewan nampaknya menerima alasan kami dan meminta pemerintah tetap mengalokasikan anggaran subsidi pupuk organik,” tegasnya.

Menurun

Kekurangan pupuk subsidi sebenarnya sudah terlihat di awal tahun 2014, di mana beberapa daerah mengeluh kesulitan memperoleh pupuk subsidi karena tidak tersedia di kios pengecer (lini IV). Langkanya pupuk saat itu disebabkan peraturan gubernur atau bupati/wali kota terlambat terbit.

Namun, di akhir tahun 2013 lalu setidaknya ada 13 provinsi sentra produksi gabah yang mengajukan tambahan alokasi pupuk. Hal ini berarti pupuk subsidi yang dialokasikan memang kurang jumlahnya.

Tahun 2014, kondisinya kira-kira sama dengan tahun sebelumnya. Kementan mengajukan alokasi pupuk subsidi — urea, SP-36, ZA, NPK dan organik sebanyak 9,5 juta ton. Namun, karena anggaran terbatas, pemerintah hanya mengalokasikan anggaran sebesar Rp21 triliun.

Dari jumlah anggaran tersebut, Rp3 triliun untuk membayar kekurangan bayar kepada industri pupuk. Sisanya sekitar Rp18 triliun adalah alokasi dana subsidi pupuk tahun 2014. Setelah dihitung dengan harga pembelian pemerintah, maka dana itu hanya cukup untuk bayar 7,7 juta ton.

Jumlah pupuk subsidi tahun ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan volume pupuk subsidi tahun 2013 yang mencapai sebesar 8,6 juta ton. Dengan berkurangnya volume pupuk subsidi tahun ini, maka dapat dipastikan di akhir tahun 2014 akan terjadi lagi gejolak kelangkaan pupuk.

Namun, hal tersebut dapat dihindari jika pemerintah menambah alokasi anggaran pupuk subsidi  sebanyak 1,8 juta ton dengan nilai sekitar Rp9 triliun. Anggaran ini dapat berkurang jika HET pupuk dinaikkan.

Kalkulasi Kementan, jika harga HET dan HPP tidak naik, maka dibutuhkan tambahan dana sekitar Rp9,06 triliun. Namun, untuk menghemat anggaran, POKJA pupuk merekomendasikan kenaikan HET pupuk subsidi. Masalahnya, anggota dewan tidak setuju dengan opsi ini.

Untuk mengatasi kekurangan volume pupuk tahun ini, Kementan hanya berharap ada alokasi tambahan. “DPR sudah setuju alokasi tambahan subsidi pupuk,” kata Suswono.

Menggantung masalah

Benarkah? Anggota tim teknis POKJA pupuk yang tak mau disebut namanya mengatakan, untuk menambah alokasi anggaran subsidi, anggota dewan sepertinya tidak punya sikap tegas. “Dewan terhormat terkesan menggantung masalah usulan alokasi tambahan anggaran subsidi pupuk. Hal ini dapat kita maklumi karena masa kerja dewan yang sekarang masih beberapa hari lagi,” katanya.

Sementara itu, Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementan, Gatot Irianto mengatakan, dewan menjamin akan mencukupi kebutuhan dipenuhi. “Mereka menjamin kebutuhan pupuk subsidi tahun ini akan dipenuhi,” katanya.

Namun, ketika ditanya bagaimana cara mencukupi kebutuhan tersebut, Gatot mengatakan pakai yang ada dulu. Kekurangannya akan ditambah setelah estimasi 1 tahun diketahui. “Maaf ini penjelasan saya yang terakhir karena sudah jelas,” katanya.

Ketua Asosiasi Produsen Pupuk Organik dan Hayati Indonesia (APPOHI) Wahyu  mengatakan, untuk mengatasi kekurangan pupuk subsidi, hanya ada dua jalan yang bisa dilakukan: menaikan harga pokok penjualan (HPP) atau menaikan HET. “Saya kira dalam jangka pendek yang dapat dilakukan yang menaikkan HET atau HPP,” katanya.

Namun, lanjut Wahyu, jangka panjang pemerintah perlu mengkaji ulang subsidi pupuk yang diberikan selama ini apa memang sudah tepat. Dia menganjurkan subsidi pupuk organik dihapuskan karena sampai sejauh ini Appohi menilai banyak pupuk organik yang tidak digunakan petani.

“Hanya menghabiskan uang negara saja, karena pupuk organik banyak yang tidak dimanfaatkan petani,” kata Wahyu.

Selain itu, katanya, komposisi pupuk NPK (15,15,15) menjadi pertanyaan. Apa benar semua lahan sawah membutuhkan komposisi NPK seperti itu. “Mestinya Litbang Pertanian melakukan penelitian. Kami tidak yakin semua lahan sawah petani membutuhan komposisi NPK seperti itu,” tegasnya.

Begitu juga mengenai HPP jenis urea, apakah harga yang selama ini adalah harga riil? APPOHI menilai, HPP urea bukan harga riil, sehingga terjadi inefisien anggaran. “Jika hal ini dilakukan, maka pemerintah dapat menghemat anggaran,” tegasnya. Jamalzen

APPOHI: Pupuk Anorganik Harusnya Dikurangi

Ketua Asosiasi Produsen Pupuk Organik dan Hayati Indonesia (APPOHI) Wahyu  meminta pemerintah untuk mengkaji pupuk bersubsidi yang diberikan tiap tahun. Menurutnya, jumlah pupuk subsidi harusnya tiap tahun dikurangi, sehingga petani tidak tergantung dengan pupuk subsidi. Sejalan dengan ini, maka tataniaga pertanian harus dibenahi. “Jika tataniaganya baik dan benar, tentu petani akan lebih diuntungkan lagi,’ ucapnya.

Seperti diketahui distribusi pupuk subsidi selama ini tidak berjalan dengan baik. Selain di lini IV pupuk tidak tersedia tepat waktu, pupuk subsidi banyak yang bocor ke sektor perkebunan. Artinya, pupuk subdisi juga tidak dinikmati 100% oleh petani. Untuk menekan kebocoran ini, mestinya pengawasan pupuk subsidi super ketat.

Wahyu juga menyebutkan, seringkali pupuk subsidi menjadi komoditi politik. Dengan demikian, persoalan yang muncul sulit diselesaikan karena masing-masing pihak punya kepentingan buat kelompoknya.

APPOHI juga setuju dengan usulan dewan untuk merealokasi anggaran organik ke non-organik, karena dengan cara ini berarti subsidi organik tidak ada. Namun, sayangnya, Kementan mengajukan alasan teknis untuk menolak penghapusan subsidi organik. “Subsidi pupuk organik tidak dinikmati produsen pupuk organik skala kecil, karena subsidi itu hanya diberikan kepada industri,” katanya.

Menurut dia, memang sebaiknya subsidi pupuk organik dihapuskan karena ada ketidakadilan dalam pemberian itu. Subsidi yang diberikan melalui Pusri Holding dihapuskan karena mematikan industri pupuk organik skala rumah tangga.

“Ada industri pupuk yang membangun pabrik organik. Dampaknya, produsen pupuk organik rakyat, yang jumlahnya tidak sedikit, akan gulung tikar,” tegasnya.

Tidak hanya itu. Harga pupuk organik subsidi yang ditetapkan pemerintah sekitar Rp500/kg, sangat tidak rasional karena biaya produksi lebih tinggi dari harga subsidi. “Harga yang ditetapkan pemerintah itu di bawah biaya produk. Harga organik yang wajar itu sekitar Rp1.500/kg,” katanya.

Sekarang ini, lanjut Wahyu, industri pupuk organik skala rumah tangga makin tidak bisa bersaing karena PT Pusri bersama mitra-mitranya membangun industri organik. “Dengan demikian, pemerintah membiarkan industri kecil mati,” tegasnya. Jamalzen