Kelangkaan pupuk bersubsidi di sejumlah daerah membuat petani resah. Sebab, berkurangnya pupuk bersubsidi di tingkat petani akan berdampak terhadap produksi padi yang dihasilkan.
Guna mengatasi kelangkaan pupuk bersubsidi, Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA), dalam rembug utama, mengusulkan agar harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi dinaikkan Rp300-Rp500/kg.
“Petani tak keberatan kalau HET-nya dinaikkan, asalkan kuota pupuk bersubsidi jangan dikurangi,” ujar Ketua Umum KTNA Winarno Tohir dalam sebuah webinar di Jakarta, Selasa (9/6/2020).
Menurut Winarno, apabila kebutuhan pupuk tak terpenuhi, petani akan kesulitan untuk meningkatkan produksi padi. ” Jadi, jangan sampai impor beras karena kekurangan pupuk di tingkat petani. Jadi, harus ada solusinya,” katanya.
Winarno juga berharap, solusi yang ditawarkan KTNA untuk menaikkan HET bisa menjadi pertimbangan pemerintah dalam menyediakan pupuk bersubsidi sampai Desember 2020. “Bisa saja HET untuk urea bersubsidi dinaikkan menjadi Rp2.500/kg, NPK Rp3.500/kg dan Phonska Rp4.000/kg,” ujarnya.
Menurut Winarno, selain menaikkan HET pupuk bersubsidi, diharapkan ada opsi lain dari pemerintah untuk menyediakan alokasi pupuk bersubsidi sebanyak 9,5 juta ton. “Kami juga berharap alokasi pupuk bersubsidi untuk tahun depan tak berkurang,” ujarnya.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Bidang Perekonomian, Musdalifah Machmud mengatakan, terjadinya kelangkaan pupuk bersubsidi di sejumlah daerah harus dicarikan solusi dan dikomunikasikan. “Karena itu, terkait dengan HET pupuk bersubsidi, bisa diformulasikan lagi,” ujar Musdalifah.
Menurut Musdalifah, usulan KTNA untuk menaikkan HET Rp300-Rp500/kg, sehingga alokasi pupuk bersubsidi bisa ditambah harus dikomunikasikan lagi dengan pihak terkait.
Di antaranya dengan Kementerian ESDM dan Kementerian lain, terkait penetapan harga gas dan komponen pupuk lainnya. “Untuk mendorong kenaikan HET pupuk bersubsidi, perlu didiskusikan dengan sejumlah kementerian,” ujarnya.
Musdalifah mengaku, apabila meminta tambahan anggaran untuk alokasi pupuk bersubsidi ke Kementerian Keuangan memang sudah tak ada anggaran. Karena anggarannya sudah dialokasikan untuk penanganan COVID-19.
“Selain memformulasikan HET, HPP pupuk bersubsidi pun perlu ditinjau ulang. Karena sejak 2012, HPP pupuk bersubsidi tak mengalami perubahan,” papar Musdalifah.
Dia mengatakan, HET pupuk bersubsidi bisa diformulasikan naik Rp300-Rp5.00/kg. Sedangkan HPP-nya bisa saja diturunkan sebesar 5%.
Anggota Komisi IV DPR, Endang S. Thohari mengatakan, karena banyak permasalahan yang dihadapi industri pupuk di dalam negeri, Indonesia hingga kini masih harus bergantung pada kebutuhan pupuk impor. Padahal, dari dalam negeri ada perusahaan BUMN yang bisa memproduksi, yaitu holding PT Pupuk Indonesia.
“Tapi BUMN ini harus menghadapi kerasnya persaingan di industri pupuk dalam negeri,” ujar Endang dalam sebuah webinar di Jakarta, Rabu (10/6/2020).
Menurut Endang, terbatasnya pasokan gas sebagai bahan bagi industri pupuk, dan ketidakseimbangan antara kebutuhan riil pupuk yang semakin meningkat, sementara produksi pupuk terbatas, akhirnya membuat serbuan pupuk impor semakin menekan industri dalam negeri.
Data BPS menunjukkan, volume impor urea melonjak sebesar 555,85% dari 95,43 juta kg pada tahun 2015, menjadi 625,90 juta kg pada 2016. “Perbedaan biaya produksi membuat pupuk produksi dalam negeri kesulitan bersaing di pasar urea nonsubsidi,” ujarnya.
Dia mengatakan, tingginya harga gas sebagai salah satu komponen proses produksi pupuk juga berdampak terhadap harga jual pupuk menjadi tak kompetitif. Kemudian, panjangnya rantai distribusi, pupuk subsidi dinikmati petani kaya berlahan 0,75-2 ha, sementara sasaran utama adalah petani miskin, akhirnya berdampak terjadinya kelangkaan pupuk bersubsidi di sejumlah daerah.
Menurut Endang, terjadinya dualisme harga pupuk (subsidi dan non subsidi), pengoplosan pupuk subsidi dan nonsubsidi, terjadinya pemalsuan pupuk bersubsidi, lemahnya pengawasan, pemalsuan kuota pupuk, kerap kali masih menjadi kendala dalam industri pupuk nasional. Kendala juga terjadi pada penyaluran pupuk bersubsidi yang menggunakan kartu tani di sejumlah daerah.
“Kesimpangsiuran antara BPS, Kementan, BPN dalam penetapan data luas lahan dan pemakain pupuk normal setiap hektare, serta terdistorsinya sistem distribusi pupuk kerap kali menjadi penyebab kelangkaan pupuk di pasaran,” paparnya.
Endang mengatakan, banyaknya kendala dalam industri pupuk dan tingginya ketergantungan terhadap impor pupuk harus ada solusinya. Salah satunya adalah harus ada penambahan kapasitas produksi. Pabrik yang sudah tua harus direvitalisasi dengan cara membangun pabrik baru, khususnya untuk produksi pupuk majemuk (NPK) guna mendukun program pemupukan berimbang yang lebih efisien dan dapat mengoptimalkan produksi pangan. “Agar tak bergantung pupuk impor, maka BUMN pupuk harus ditata ulang. Ini PR bagi kita,” ujarnya.
POC Sebagai Pupuk Bersubsidi
Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan, Sarwo Edhy mengatakan, pihaknya sudah melakukan percepatan dan solusi terhadap berkurangnya pupuk bersubsidi di tingkat petani. Salah satunya dengan mengusulkan agar Pupuk Organik Cair (POC) masuk dalam kategori pupuk bersubsidi.
Sarwo Edhy mengaku sudah mengirim surat ke Kemenkeu pada 18 Maret 2020 untuk minta tambahan anggaran pupuk bersubsidi. Namun, Kemenkeu tak ada dana untuk menambah anggaran pupuk bersubsidi.
“Untuk itu, kami juga punya wacana menaikkan HET pupuk bersubsidi Rp300-Rp5.00/kg. Kenaikan HET ini harus dibahas dengan instansi terkait,” ujar Sarwo.
Sarwo juga mengatakan, usulan kenaikan HET dari KTNA sudah disiapkan. Bahkan, sesuai kajian Ditjen PSP Kementan, kenaikan HET tinggal menyepakati besarannya. “Kami akan undang lagi instansi terkait untuk merumuskannya, sehingga alokasi pupuk bersubsidi kembali 9,2 juta ton,” katanya.
Menurut Sarwo, selain menaikkan HET, pihaknya juga meninjau ulang HPP (Harga Pembelian Pemerintah) pupuk subsidi agar diturunkan sebesar 5%. Penurunan HPP tersebut dimaksudkan supaya tak memberatkan harga pupuk di tingkat petani. Unsur HPP pupuk bersubsidi yang terdiri dari 100 komponen akan dikaji lagi, selanjutnya sejumlah komponen akan diturunkan. “Komponen yang tak terkait dengan pembuatan pupuk bersubsidi nantinya bisa dikurangi,” katanya. PSP