Mahasiswa Harus Terlibat Pada Mitigasi Perubahan Iklim

Talkshow Aksi Pengendalian Perubahan Iklim Goes to Campus IPB

Kalangan generasi muda dan mahasiswa diajak untuk terlibat lebih intensif dalam aksi pengendalian perubahan iklim. Termasuk pada inisiatif Blue Carbon yang diyakini merupakan peluang Indonesia untuk berkontribusi lebih besar pada mitigasi perubahan iklim global.

Staf Ahli Menteri bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Agus Justianto menyatakan mitigasi perubahan iklim menjadi tanggung jawab semua pihak. “Termasuk generasi muda dan mahasiswa,” katanya saat talkshow Aksi Pengendalian Perubahan Iklim Goes to Campus di IPB, Bogor, Selasa (13/6/2017).

Agus menjelaskan, dunia internasional telah menandatangani Persetujuan Paris sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. Setiap negara kemudian merancang dokumen kontribusi pengurangan emisi gas rumah kaca (NDC) yang diharapkan bisa menekan kenaikan suhu global tetap di bawah 2 derajat celcius dari sebelum masa pra industri.

“Indonesia termasuk yang telah meratifikasi Persetujuan Paris dan berkomitmen untuk melaksanakan aksi mitigasi perubahan iklim,” kata Agus yang juga Sekretaris Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DPPPI).

Dia melanjutkan Indonesia bisa beperan besar dalam mitigasi perubahan iklim global. Selain tentang isu deforestasi dan pengendalian degradasi hutan (REDD plus), ada isu tentang Blue Carbon yang terkait ekosistem pesisir dan kelautan. “Indonesia memiliki potensi dengan sumber daya yang kita miliki saat ini seperti mangrove,” kata Agus.

Sejumlah penelitian mengungkapkan potensi karbon biru, lebih dari 55% dari karbon hijau yang berasal dari tutupan hutan dan vegetasi lainnya.

Menurut pakar ilmu kelautan IPB Alan F Koropitan, isu strategis yang perlu diperhatikan terkait inisiatif blue carbon adalah potensi konflik ruang laut dengan adanya berbagai kegiatan pemanfaatan.

Untuk itu, kata dia, perlu ada integrasi inisiatif blue carbon pada kebijakan pengelolaan pesisir dan laut di Indonesia. Yang juga harus diperhatikan adalah keberadaan masyarakat yang selama ini memanfaatkan sumber daya pesisir dan laut, katanya.

Di antara tantangan yang dihadapi pada inisiatif blue karbon adalah kerusakan mangrove yang mencapai 50.000 hektare per tahun. Kerusakan diantaranya dipicu oleh pembukaan tambak, reklamasi, tumpahan minyak, dan sampah.

Peneliti Badan Litbang dan Inovasi Kementerian LHK Mega Lugina menyatakan untuk mencegah kerusakan mangrove, maka pembangunan di daerah jangan sampai berdampak pada pembukaan hutan mangrove. Masyarakat juga harus didorong untuk memanfaatkan mangrove secara berkelanjutan. “Upaya rehabilitasi juga harus terus dilakukan dengan menggandeng semua pihak termasuk CSR swasta,” katanya.

Sementara itu Kepala Sub Direktorat Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim kementerian Kelautan dan Perikanan Hendra Yusran Siry mengingatkan, peran jasa lingkungan mangrove yang besar sehingga harus dipertahankan. Mangrove, katanya, merupakan tempat berbagai biota laut ekonomis seperti udang, kepiting, dan ikan, berkembang biak. Mangrove juga menjadi benteng alami dari gelombang, abrasi, bahkan dari bencana tsunami.

Sekretaris Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB Agus Soleh Atmadipura mengatakan, untuk mendukung inisiaif blue carbon, pihaknya menyusupi materi perkuliahan dengan isu perubahan iklim. Dia juga mengungkapkan, telah ada aksi nyata dari mahasiswa IPB untuk konservasi mangrove dan pemantauan terumbu karang seperti yang sudah dilakukan di Pantai pangandaran, Jawa Barat. “Tinggal upaya ini di tingkatkan skalanya,” kata dia

Sugiharto