Suram. Demikianlah masa depan kepastian kawasan hutan dipandang sebagian orang dan para pelaku pengusahaan hutan. Pangkal soalnya adalah terbitnya Peraturan Bersama (Perber) Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala BPN No.79 tahun 2014, No.PB.3/Menhut-II/2014, No.17.PRT/M/2014, NO.8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada Dalam Kawasan Hutan.
Perber yang diteken 17 Oktober 2014 itu dikhawatirkan akan menyentak naik klaim atas lahan di kawasan hutan. Hal itu tak mengada-ada. Pasalnya, Perber membuka peluang dikabulkan klaim tanah masyarakat di kawasan hutan.
Tengok saja Pasal 8 dalam Perber tersebut. Jika ada pemohon yang telah menguasai tanah hutan selama 20 tahun berturut-turut dilengkapi bukti fisik dan yuridis serta diperkuat saksi, maka klaim tanahnya bisa dikabulkan (lihat grafis).
Makin ruwet karena bukti yuridis yang dijadikan bisa sangat sederhana, misalnya surat keterangan riwayat tanah (SKT) yang diterbitkan Kepala Desa seperti yang atur lebih lanjut dalam Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) dalam Kawasan Hutan yang diterbitkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto mengungkapkan bagaimana para pelaku pengusahaan hutan kini empot-empotan. “Kami merasa khawatir dengan adanya Perber itu,” kata dia di Jakarta, Kamis (26/2/2015).
Apalagi, tak lama setelah Perber tersebut diteken, mulai muncul sejumlah pengakuan tanah di konsesi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK). Jumlahnya, kata Purwadi, memang belum terdata. Meski demikian, klaim tersebut jelas ada dan bakal terus bertambah.
TGHK
Terbitnya Perber tersebut tak lepas dari nuansa kerakyatan yang ditawarkan pemerintahan saat ini. Dalam dimensi kawasan hutan, maka arah kebijakan yang coba diterapkan di antaranya mengalokasikan 12,7 juta hektare (ha) hutan untuk dikelola masyarakat. Pada areal IUPHHK Hutan Tanaman Industri (HTI) pemerintah juga mendorong terbangunnya kemitraan seluas 20% dari masing-masing konsesi.
“Kami sesungguhnya memahami kebijakan pemerintah saat ini. Tapi harapannya, pendekatan yang dikedepankan selalu dipayungi paradigma kehutanan,” kata Purwadi.
Untuk persoalan sengketa lahan, otoritas kehutanan sebenarnya bisa melakukan enclave atau mengeluarkan lokasi tersebut dari kawasan hutan. Tata caranya sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.P.44/Menhut-II/2012 jo P.62/Menhut-II/2013 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. “Ada proses pengukuhan yang jika diikuti menguatkan kepastian kawasan hutan,” katanya.
Dia mengingatkan, proses pengukuhan mengacu kepada peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) seharusnya juga dihormati oleh semua pihak, mengingat dokumen yang ditetapkan pada tahun 1980-an tersebut juga mendapat persetujuan dari pemangku kepentingan lainnya.
Menurut Purwadi, penerbitan Perber malah akan memicu multitafsir dari akibat banyaknya istilah dalam agraria. Misalnya saja soal pemberian hak atas tanah, meski tanah yang dikuasai kurang dari 20 tahun. “Kurang dari 20 tahun itu berapa waktunya? Sangat multitafsir,” kata dia.
Apalagi, dokumen yang bisa dijadikan pedoman dalam pengakuan hak sejatinya sangat lemah dari sisi hukum karena bisa hanya berupa surat keterangan tanah dari kepala desa setempat.
Purwadi juga menyayangkan pola kemitraan yang ditempatkan sebagai opsi terakhir untuk penyelesaian klaim tanah hutan. Menurut dia, pola kemitraan seharusnya dikedepankan karena lebih memastikan penerapan pengelolaan hutan lestari. Penerapan pola kemitraan juga memiliki dasar hukum yang kuat termasuk lewat Permenhut No.P.39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan.
Revisi
Purwadi pun berharap agar pemerintah bisa merevisi, bahkan mencabut Perber tersebut. Dia menegaskan, Permenhut tentang Pengukuhan Kawasan Hutan sudah sangat memadai untuk memfasilitasi sengketa lahan. “Persoalan lahan di hutan selama ini sebenarnya bukan ketentuan hukumnya yang tidak kuat. Tapi implementasinya. Proses pengukuhan berjalan lambat,” katanya.
Purwadi mengaku pihaknya belum akan mengambil langkah hukum apapun terkait terbitnya Perber tersebut. Dia menyatakan, yang terpenting pemerintah bisa memperbaiki subtansi dari ketentuan tersebut. Sugiharto