Indonesia bisa terlepas dari problem kelaparan pada tahun 2034. Namun, dengan catatan. Harus ada kebijakan-kebijakan kuat yang mendukung sektor pertanian mulai saat ini.
Demikian isi laporan terkait ketahanan pangan yang dirilis Asian Development Bank (ADB) yang dipublikasikan akhir Oktober lalu.
Salah satu program yang mendapat sorotan dalam laporan tersebut adalah subsidi pupuk. Selama bertahun-tahun, kebijakan itu berjalan tanpa memberikan kontribusi signifikan. Tahun 2015, misalnya. Anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk subsidi pupuk mencapai Rp30 triliun.
ADB mengimbau pemerintah Indonesia untuk mulai memangkas anggaran subsidi pupuk dan mengalihkannya ke program-program lain, terutama terkait investasi di teknologi agrikultur.
Peneliti Senior International Food Policy Research Institute, sekaligus Ketua Tim Peneliti ADB, Mark Rosegrant mengungkapkan, pengembangan teknologi di sektor pertanian memiliki manfaat lebih besar dan mampu meningkatkan prodiktivitas dalam jangka panjang ketimbang subsidi pupuk yang begitu-begitu saja tanpa ada perkembangan setiap tahun.
“Penghematan dari anggaran subsidi pupuk bisa dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur, seperti fasilitas pascapanen atau menguatkan program pembiayaan kepada petani, asuransi pertanian dan lain sebagainya,” kata Mark melalui keterangan resmi, Rabu (6/11/2019).
Memang, dalam lima tahun awal setelah anggaran subsidi pupuk dipangkas, akan terjadi penurunan produksi, terutama pada sektor tanaman pangan. Namun, situasi akan berbalik dan hasil positif akan mulai terlihat pada tahun ke-10.
Indonesia diprediksi akan mampu mengekspor hingga 8,6 juta ton beras pada tahun 2045 jika kebijakan re-alokasi subsidi pupuk dijalankan dengan tepat.
Pengamat pertanian Bustanul Arifin pun memiliki pandangan serupa. Pemerintah memang harus segera merealokasi anggaran subsidi pupuk untuk kegiatan-kegiatan yang memiliki output lebih signifikan.
Karena, pada akhirnya, kebijakan itu tidak hanya akan membawa Indonesia lepas dari masalah kelaparan, tetapi juga maju dan memiliki kinerja perekonomian yang lebih baik. “Skenario investasi komprehensif tersebut diproyeksikan akan menghasilkan tambahan manfaat ekonomi sebesar Rp1.834 triliun pada 2045 mendatang,” katanya.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) pun memiliki pandangan yang sama. Dalam jangka panjang, dia ingin para petani bisa menghasilkan pupuk organik secara mandiri yang kualitasnya bisa lebih baik dari pupuk anorganik saat ini.
“Hasil pertanian non pestisida itu kualitasnya lebih bagus dan pasarnya bisa lebih besar. Pupuk organik itu makin menguntungkan ke depan. Seharusnya petani memang bisa memproduksi sendiri,” ucapnya.
Para petani, lanjutnya, hanya perlu diberi pelatihan oleh para penyuluh pertanian untuk memproduksi pupuk secara baik. “Tinggal diajarkan bagaimana mengumpul kompos. Itu memang butuh keahlian dan itu peran penyuluh untuk mengajarkan,” tegasnya.
Petani Butuh Subsidi
Namun, Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir pernah mengatakan, pupuk tetap harus disubsidi agar petani terus bersemangat dalam berusaha tani. Apabila tidak ada subsidi, maka tidak ada kontrol dari pemerintah dan harga pupuk akan menjadi tidak terkendali.
“Kebijakan pemberian subsidi pupuk bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan pupuk oleh petani sesuai dengan rekomendasi (Permentan 47/2018 tentang Alokasi dan HET Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian),” jelasnya.
Tidak hanya itu. Kebijakan subsidi pupuk juga bertujuan untuk mendukung penerapan pemupukan sesuai dosis yang direkomendasi oleh kementarian teknis, sehingga diharapkan produktivitas usaha tani dan pendapatan petani meningkat.
“Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang sangat menentukan produksi dan produktivitas pertanian. Ketersediaan pupuk di lapangan, baik dari segi kualitas, kuantitas dan harga yang terjangkau menjadi salah satu syarat yang harus dapat dijamin oleh pemerintah,” terang Winarno.
Menteri Pertanian periode 2000-2004, Bungaran Saragih juga mengatakan, petani Indonesia masih membutuhkan subsidi pupuk. Karena itu, pemerintah perlu mempertahan kebijakan tersebut agar produksi pangan dapat dipertahankan dan ditingkatkan.
“Jika pangan terganggu, dengan cepat merambat pada masalah ekonomi, sosial, politik dan keamanan negara. Banyak pemimpin dunia, termasuk Indonesia, jatuh karena dipicu oleh masalah pangan,” katanya.
Dia mengatakan, sedikitnya ada lima alasan Indonesia masih memerlukan subsidi pupuk. Pertama, negara-negara maju masih memberikan subsidi yang cukup besar bagi petani dan pertaniannya. Amerika Serikat, Uni Eropa, India, China, dan lainnya tetap memberikan subsidi bagi petani dan pertaniannya, bahkan cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Kedua, petani bukan berada di sekitar perkotaan atau di sekitar jalan-jalan raya. Petani sebagian besar berada di pedesaan pelosok, pinggiran, di pegunungan.
“Jika pupuk tidak disubsidi dan dibiarkan hanya mekanisme pasar murni, bekerja mendistribusikan pupuk ke petani, maka pupuk hanya akan sampai atau menjangkau sekitar 30% petani kita, yakni di sekitar perkotaan atau sekitar jalan raya,” ujar Bungaran.
Ketiga, industri pupuk BUMN yang ditugaskan pemerintah untuk memproduksi dan menyalurkan pupuk ke tingkat petani (lini IV) membayar gas dengan harga yang lebih mahal dari harga internasional.
Keempat, petani masih tergolong kelompok atau sektor yang paling rendah pendapatannya, bahkan sebagian tergolong miskin. Untuk itu, katanya, subsidi petani merupakan salah satu cara untuk membantu petani dan pertanian.
Kelima, beras masih merupakan pengeluaran masyarakat yang cukup besar dalam pengeluaran penduduk Indonesia saat ini. Oleh karena itu, subsidi pertanian termasuk subsidi pupuk, merupakan biaya publik untuk memastikan ketersediaan beras secara 6 tepat (jumlah, jenis, kualitas, harga, tempat, kontinuitas) untuk masyarakat konsumen beras, sekaligus bentuk kehadiran kedaulatan negara baik untuk masyarakat petani dan masyarakat konsumen.
Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan Sarwo Edhy, mengatakan upaya mendukung pencapaian sasaran produksi komoditas pertanian, terutama pangan, tidak terlepas dari dukungan ketersediaan sarana produksi, khususnya pupuk secara tepat dan optimal dalam pemanfaatannya di tingkat petani, salah satunya melalui penyediaan pupuk bersubsidi.
“Pemerintah Daerah pegang peran penting mulai regulasi,tata laksana dan perencanaan kebutuhan pupuk melalui RDKK serta pengawasan melalui Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida,” katanya. PSP