Upaya pemerintah ‘memutihkan’ jutaan hektare perkabunan sawit di dalam hutan masih dapat sambutan dingin pengusaha maupun pekebun rakyat. Padahal, beleid yang dipayungi UU ini merupakan langkah berani Presiden Joko Widodo melepas kawasan hutan jadi perkebunan. Akankah pemerintah juga berani menegakkan aturan, mencabut izin usaha, mendenda atau memaksa badan para pelakunya, mengingat batas waktu pemutihan makin mepet, 2 November 2023?
Ancaman denda, pencabutan izin, bahkan paksa badan, ternyata tidak membuat takut pengusaha perkebunan kelapa sawit. Tawaran penyelesaian pemerintah untuk “memutihkan” kebun mereka yang masuk dalam kawasan hutan sampai batas waktu 2 November 2023, ternyata masih dapat sambutan dingin. Padahal, luasannya tidak kaleng-kaleng: 3,3 juta hektare (ha).
Pemerintah sendiri sudah punya data seribuan perusahaan perkebunan yang menggasak hutan untuk dijadikan kebun. Tapi, sampai pertengahan Juli, baru sekitar 621 perusahaan yang memasukkan data ke dalam Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (SIPERIBUN). Sialnya, data yang diinput juga asal-asalan. Bahkan, Satgas Sawit menemukan 77 perusahaan melanggaran ketentuan. “90 perusahaan sudah terverifikasi, 77 kita reject karena inputnya ngawur. Hanya angka satu, dua, tiga, empat, asal yang penting masuk,” kata Wakil Ketua II Satgas Sawit, Agustina Arumsari.
Jika pengusaha saja ogah-ogahan, apalagi petani. Namun, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat ME Manurung punya kilah. Minimnya pekebun rakyat mengikuti proses penyelesaian ini karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan petani mengikuti proses pengajuannya. Proses itu membutuhkan persyaratan yang sulit dikerjakan sendiri, seperti pembuatan titik koordinat poligon sesuai surat tanah, informasi kawasan, dan penyediaan peta citra satelit resolusi tinggi.
Ketidaktahuan dan ketidakmampuan petani tentu berbeda dengan pengusaha. Jadi, apa masalahnya?
Denda yang besar, nampaknya. Berdasarkan lampiran PP No. 24 Tahun 2021 tentang tatacara pengenaan sanksi administratif dan penerimaan negara bukan pajak dari denda administratif di bidang kehutanan — sebagai turunan dari UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020, terutama pasal 101A dan 101B — formula denda administratif dihitung berdasarkan komponen luas tutupan hutan (yang tarifnya berbeda-beda, 60%, 40% dan 20%), pendapatan bersih/tahun, luas pelanggaran dalam kawasan hutan dan jangka waktu pelanggaran.
Sumber AgroIndonesia menuturkan, sebuah perusahaan yang punya kebun sawit 6.000 ha di Kalimantan mengaku tak sanggup ketika hitung-hitungan denda administratif mencapai Rp30 juta-an/ha. “Dengan luasan 6.000 ha, berarti mereka harus membayar Rp180 miliar lebih,” katanya, Jumat (4/8/2023).
Jumlah yang besar, memang. Dan, buat pemerintah, PNBP dari denda administratif ini memang cukup gemuk. Hitung saja berapa potensi pendapatan dari denda 3,3 juta ha sawit dalam hutan. Apalagi, tarif denda itu dilihat dari persentase keuntungan perusahaan. Nampaknya, perlu opsi cicilan agar pembayaran denda bisa berjalan. AI