Minyak Sawit Lestari Berkontribusi Pada Mitigasi Perubahan Iklim

Asisten Deputi bidang Perkebunan dan Hortikultura Kementerian Koordinator bidang Perekonomian Wilistra Danny, Penasihat Khusus untuk ISPO dan Perubahan Iklim - Yayasan Kehati Diah Suradiredja, Ketua European Palm Oil Alliance (EPOA) Frans Classen saat diskusi panel di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim (COP UNFCCC) ke 23 Fiji, di Bonn, Jerman.

Pemanfaatan minyak sawit yang diproduksi secara berkelanjutan dengan memperhatikan aspek kelanjutan bisa menjadi kunci untuk peningkatan kesejahteraan petani sekaligus memberi kontribusi pada mitigasi perubahan iklim.

Demikian mengemuka saat sesi diskusi panel di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim (COP UNFCCC) ke 23 Fiji, yang berlangsung di Bon, Jerman, Rabu  (15/11/2017). Paviliun Indonesia yang mengusung tema “A Smarter World:Collective Actions for Changing Climate” menampilkan berbagai aksi dari berbagai elemen di Indonesia untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Menurut Asisten Deputi bidang Perkebunan dan Hortikultura Kementerian Koordinator bidang Perekonomian Wilistra Danny, peran perkebunan sawit dan industri olahannya sangat besar bagi Indonesia. Selain menyumbang devisa hingga 18 miliar dolar AS dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi 16,2 juta tenaga kerja,  perkebunan kelapa sawit dan industri pengolahannya juga mengakselerasi pembangunan di daerah.

“Tantangannya, konsumen dunia saat ini menuntut agar produk minyak sawit diproduksi secara lestari,” katanya.

Untuk menjawab tuntutan itu, Pemerintah saat ini sedang melakukan penguatan skema sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dengan melibatkan para pihak, termasuk kalangan lembaga swadaya masyarakat. Langkah itu diharapkan bisa meningkatkan transparansi dan akuntabilitasnya.

Sejumlah indikator dan kriteria yang harus dipenuhi untuk mendapat sertifikat ISPO akan termasuk pada legalitas dan manajemen kebun, perlindungan hutan primer dan lahan gambut, tata kelola lingkungan, tanggung jawab kepada karyawan, dan masyarakat, dan yang tak kalah penting adalah keterlacakan dan transparansi.

Sementara itu Penasihat Khusus untuk ISPO dan Perubahan Iklim – Yayasan Kehati Diah Suradiredja menjelaskan pentingnya perbaikan tata kelola Kelapa Sawit Indonesia. Dia menyatakan, perkebunan sawit rakyat memegang peran penting untuk memastikan minyak sawit diproduksi secara lestari. “Penguatan dan perbaikan kebun sawit rakyat akan memberi dampak secara keseluruhan,” kata Diah.

Saat ini, sekitar 39% kebun sawit di Indonesia kelola oleh rakyat yang mencapai 2,16 juta kepala keluarga. Lahan yang dikelola berkontribusi pada 33% produksi minyak sawit mentah (CPO) dan 33% minyak inti kelapa sawit (CPKO) nasional.

Diah menyatakan, tantangan penguatan kebun sawit rakyat adalah produktivitasnya yang rendah dan praktik budidaya yang kurang baik. Selain itu aspek soal legalitas lahan juga menjadi kendala. “Penguatan yang dilakukan harus menyentuh berbagai aspek,” katanya.

Diah berharap, dengan penguatan maka di masa mendatang produktivitas kebun sawit  rakyat bisa dioptimalkan sehingga tidak perlu ada lagi perluasan lahan dengan membuka kawasan hutan.

Sementara itu Ketua European Palm Oil Alliance (EPOA) Frans Classen menyatakan dengan efisiensi pemanfaatan lahan dan produktivitas yang tinggi, maka  meninggalkan minyak sawit atas nama kelestarian hutan tidaklah tepat. “Meninggalkan kelapa sawit bukan solusi,” katanya.

Sebagai perbandingan, luas lahan sawit global hanya 6,6% dari total 274,4 juta hektare lahan tanaman penghasil minyak nabati. Luas lahan sawit jauh di bawah kedelai, rapak, dan bunga matahari. Sementara produksi minyak sawit yang dihasilkan bisa mencapai 38,7%.

Dia menyatakan pemanfaatan minyak sawit lestari bisa berkontribusi pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG’s) dan mitigasi perubahan iklim.

Frans menyatakan, Negara-negara Eropa sudah berkomitmen untuk hanya menerima minyak sawit yang diproduksi lestari mulai tahun 2020.  Untuk itu, penguatan tata kelola minyak sawit harus terus diperkuat.

Frans menyatakan skema sertifikasi baik yang berlaku mandatory seperti ISPO maupun skema sertifikasi voluntary seperti RSPO bisa mendapat pengakuan sebagai skema yang mendukung produksi minyak sawit lestari. Sugiharto