Pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia (NAMPA) mendesak pemerintah untuk mengeluarkan izin importasi daging industri sebagai pengganti daging milik pengusaha pengolahan daging yang dipinjam untuk kegiatan operasi pasar (OP) selama bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri.
Stok daging untuk industri pengolahan daging kurang menggembirakan saat ini,” kata Ketua Umum NAMPA, Ishana Mahisa kepada Agro Indonesia akhir pekan lalu.
Menurutnya, stok daging yang kini menipis itu adalah daging CL (chemical lean) 85, yakni jenis daging yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan produk makanan berbasis daging, seperti sosis, daging kornet (corned beef) dan sebagainya.
“Stok yang cukup banyak saat ini adalah jenis CL65. Untuk CL90 stoknya terbatas. Sedangkan untuk jenis CL85, stoknya sangat tipis,” jelasnya. Hanya saja dia tidak menjelaskan berapa jumlah stok CL85 yang disebutnya sudah sangat tipis itu.
Ishana menyatakan, pengusaha pengolahan daging tak bisa menggunakan bahan baku daging CL65 karena kualitas dari produk yang dihasilkan nantinya sangat rendah. “Sedangkan untuk menggunakan CL90 tentu akan berpengaruh kepada harga jual yang lebih mahal dan bisa mengurangi daya saing,” katanya.
Untuk mengatasi kelangkaan pasokan daging industri, Ishana meminta pemerintah segera membuka kran impor daging industri sebagai pengganti dari stok daging industri yang dipakai untuk OP selama Ramadhan lalu.
Seperti diketahui, dalam menggelar OP selama Ramadhan dan menjelang Idul Fitri, pemerintah telah menggunakan 8.110 ton daging sapi yang ada di gudang importir yang sebelumnya diperuntukkan untuk kalangan industri pengolahan daging, hotel, restoran dan industri makanan.
“Itu stok mereka (importir daging) yang posisinya ada di gudang dan ada yang di kapal. Jadi itu akan kita gantikan,” kata Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, ketika menjelaskan tentang penggunaan daging industri untuk OP.
Menurut Mentan, daging tersebut harus diganti agar kebutuhan daging untuk kalangan industri tidak terganggu dan tetap bisa dipenuhi. Untuk mengganti stok daging industri yang sudah terpakai, Kementerian Pertanian berencana mengeluarkan rekomendasi impor baru sebanyak 10.000 ton daging sapi.
“Nanti (yang) 8.000 ton, ya minimal (diganti) 10.000 ton,” kata dia kala itu.
Sayangnya, Ishana mengaku hingga kini izin impor untuk mengganti daging industri yang dipakai OP itu belum juga dikeluarkan. “Jika tidak ada izin yang dikeluarkan, kegiatan untuk bulan depan sangat terganggu,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, harga daging CL85 saat ini sudah cukup tinggi. Jika diimpor dari Australia, harga daging jenis itu sampai di dalam negeri sekitar Rp65.000-Rp66.000/kg. Jika ditambah dengan keuntungan importir dan biaya lainnya sebesar Rp5.000, maka harga pembelian daging CL85 di dalam negeri mencapai sekitar Rp71.000/kg. Artinya, telah terjadi kenaikan harga daging sapi sebesar 50% dalam kurun kurun waktu tiga tahun belakangan ini karena pada tahun 2013, NAMPA hanya membeli daging sapi dengan harga Rp49.000/kg.
Daging India
Untuk mengatasi kekurangan pasokan daging industri, NAMPA juga mengusulkan agar anggotanya bisa membeli daging kerbau yang diimpor dari India oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Kita menyambut baik dibukanya impor daging kerbau dari India untuk menekan harga jual daging di dalam negeri,” papar Ishana.
Menurutnya, NAMPA sendiri sebenarnya sudah mendapatkan penawaran dari pihak produsen daging kerbau di Indonesia. Mereka menawarkan harga daging kerbau sampai di Indonesia dengan harga sekitar Rp36.000/kg.
Namun, Ishana mengakui bahwa saat ini importasi daging kerbau hanya bisa dilakukan oleh BUMN, dalam hal ini Perum Bulog. “Kami minta diperbolehkan membeli daging kerbau dari BUMN,” pinta Ishana.
Sayangnya, papar Ishana, harga jual yang dirilis Perum Bulog untuk daging kerbu yang diimpornya itu terlalu tinggi. Perum Bulog mematok harga jual daging kerbau sebesar Rp60.000/kg. “Harga jual itu terlalu tinggi,” ucapnya.
Menurutnya, pengusaha sosis dan beef dari Malaysia hanya membeli bahan baku daging kerbau dari India sebesar Rp36.000/kg. Dengan harga bahan baku yang rendah itu, produk olahan daging Malaysia memiliki daya saing yang tinggi hingga mampu memiliki pangsa pasar yang cukup besar di Indonesia. “Hal itu ditandai dengan meningkatnya impor sosis dan beef dari Malaysia dalam beberapa tahun belakangan ini,” Ishana.
Agar industri pengolahan daging bisa beroperasi dengan lancar dan memiliki daya saing tinggi, Ishana meminta pemerintah segera mengganti stok daging industri jenis CL85 yang dulu dipakai untuk OP. Selain itu, memberikan kemudahan bagi industri untuk membeli daging kerbau dan meminta Perum Bulog menurunkan harga jual daging kerbaunya kepada pelaku industri pengolahan daging.
Koordinasikan
Terkait hal itu, pihak NAMPA telah meminta Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk mendorong instansi terkait lainnya dalam membantu industri pengolahan daging di dalam negeri.
“Tim dari Kemenperin telah berjanji akan melakukan koordinasi dengan instansi terkait, seperti Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, guna mencari solusi yang nantinya dibawa ke rapat terbatas,” ujarnya.
Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian, Panggah Susanto mendukung upaya industri pengolahan daging untuk meminta pemerintah memberikan izin impor sebagai pegganti stok daging mereka yang dipakai OP.
“Alasan tersebut sangat rasional, mengingat porsi daging sapi industri yang dilempar ke pasar sangatlah besar, yakni 32,44% dari kebutuhan daging impor industri saat ini sebesar 25.000 ton/tahun,” katanya.
Menurut Panggah, saat ini industri pengolahan daging membutuhkan pasokan tambahan. “Itu terpaksa harus dilakukan. Nanti kalau kurang, industri juga bisa terganggu. Padahal, sejauh ini pasokan daging industri selalu lancar, tidak ada masalah,” paparnya.
Sementara itu Plt Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Karyanto Suprih mengaku hingga kini belum ada permintaan izin impor daging sapi untuk menggantikan stok daging sapi yang dipakai untuk OP.
“Sampai saat ini belum ada permintaan yang masuk ke kami untuk mendapatkan izin impor pengganti stok yang dipakai OP,” kata Karyanto Suprih kepada Agro Indonesia.
Menurutnya, untuk mendapatkan izin impor kini tidak perlu melalui rekomendasi dari instansi lain. Aloksi impor ditentukan melalui pembahasan yang dilakukan oleh instansi-instansi terkait dan diputuskan di Rakortas. B Wibowo
Belum Ada Permohonan Impor
Pemerintah sudah menerbitkan Permentan No. 34/2016 tentang Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan, atau Olahanya ke dalam Wilayah RI. Permentan itu merupakan revisi dari Permentan 58/2015.
Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Ditjen PKH Kementan, Sri Mukartini menyampaikan ada beberapa hal yang menjadi poin pokok revisi selain kebijakan dibukanya impor jeroan. “Rekomendasi impor bukan lagi per empat bulan lagi, tapi bisa sepanjang tahun dengan waktu realisasi 6 bulan. Jeroan juga bisa masuk pasar tradisional yang ada rantai pendingin,” katanya, di Jakarta pekan lalu.
Kementan beralasan pembukaan impor jeroan dilakukan karena harga komoditas itu di dalam negeri mencapai Rp60.000/kg, sedangkan harga yang diimpor diprediksi berada di level Rp20.000-Rp30.000.
Sri menambahkan, impor jeroan pun hanya bisa berasal dari negara-negara yang bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) seperti Australia dan Selandia Baru.
Dia mengatakan, dalam Permentan ini impor daging jenis secondary juga dibuka untuk impotir umum. Sebelumnya impor jenis ini hanya boleh dilakukan BUMN/BUMD. “Namun, sampai kemarin belum ada importir yang mengajukan permohonan impor. Mungkin mereka (Importir, Red.) masih menunggu Permentan minggu lalu yang masih di Kementerian Kumham,” tegasnya.
Dua tahun
Sementara soal impor sapi siap potong, Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan, I Ketut Diarmita menyebutkan realisasi membutuhkan waktu minimal 2 tahun karena pemerintah harus terlebih dahulu merevisi UU No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
“Pak Menteri meminta agar regulasi-regulasi yang dinilai menghambat upaya penurunan harga daging. Kami siapkan lah kajian akademiknya, sedang saya siapkan,” katanya.
Seperti diketahui, niat mengimpor sapi siap potong ternyata melanggar UU No.41/2014, terutama pasal 36B, ayat 2. Pasal ini menyebutkan pemasukan ternak dan produk hewan ke Indonesia harus berupa bakalan. Selain itu, di ayat berikutnya disebutkan bahwa sapi bakalan dengan berat tertentu itu wajib digemukkan untuk memperoleh nilai tambah dalam tempo paling cepat 4 bulan.
Ketut Diarmita mengakui, realisasi impor sapi siap potong masih butuh waktu panjang karena melalui proses revisi UU dan melibatkan beberapa pihak, seperti para ahli yang menggodok naskah akademik beleid itu.
Sebelumnya Mentan Amran Sulaiman menyebut impor sapi siap potong kembali dibuka karena diprediksi harganya dapat jauh lebih murah dari sapi bakalan. Menurut perhitungannya, jika Indonesia mengimpor sapi siap potong, maka harga daging dapat tertekan hingga 33% dari level daging sapi bakalan. Jamalzen