Pemerintah Harus Jelaskan

Respon beragam datang dari pengembalian kewenangan perizinan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun, pastinya, harapan agar perbaikan prosedur perizinan tetap membubung.

Guru besar Fakultas Kehutanan IPB, Hariadi Kartodihardjo menyatakan, pemerintah harus benar-benar memastikan pendelegasian kewenangan perizinan dari Kementerian LHK ke BKPM bisa mempercepat proses perizinan, dan menjadikannya lebih transparan dan akuntabel.

“Bukan sekadar pindah tempat,” kata dia ketika dihubungi Jumat (13/2/2015).

Hariadi merupakan Koordinator Tim untuk Bidang Kehutanan pada Kajian Sistem Perizinan di Sektor Sumberdaya Alam yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dirilis awal tahun lalu. Kajian tersebut mengungkap peliknya urusan izin sektor kehutanan. Dalam kajian tersebut terekspos besarnya biaya transaksi perizinan sektor kehutanan.

Beberapa penyebabnya adalah rekomendasi gubernur atau bupati/walikota dan pengesahan-pengesahan oleh pejabat-pejabat, multi interpretasi peraturan, dan tidak adanya kepastian waktu dalam pengurusan izin-izin. Penyebab langsung lainnya adalah hubungan sosial yang akhirnya terkait pengamanan usaha.

Sementara secara tidak langsung penyebabnya adalah kualitas birokrasi yang rendah, sistem sanksi yang tidak kuat, kontrol institusi yang lemah, hilangnya transparansi dan kurangnya contoh dari pimpinan.

Hariadi menyatakan, meski sebagian sudah didelegasikan ke BKPM, pihaknya akan terus mengawal proses perizinan sektor kehutanan agar sesuai dengan rekomendasi yang telah dikeluarkan tim. Menurut dia, paska dirilisnya rekomendasi, respon Kementerian LHK (dulu Kementerian Kehutanan) cukup memadai. Hal itu ditandai dengan terbitnya sejumlah peraturan yang secara tegas mengatur SOP proses perizinan. “Tapi di tingkat daerah dan di lapangan memang masih perlu pembenahan,” ujarnya.

Hariadi mengungkapkan, pekan ini pihaknya akan mengundang sejumlah kepala daerah untuk menindaklanjuti rekomendasi tim. Terbitnya Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga menjadi perhatian khusus yang perlu ditindaklanjuti.

Soal pendelegasian kewenangan perizinan Kementerian LHK yang kemudian dikembalikan sebagian lagi oleh BKPM, Hariadi berharap pemerintah memberi pemaparan alasannya. “Harus ada penjelasannya. Memangnya yang dikembalikan itu tidak perlu ada percepatan proses perizinan?” katanya.

Dia memaparkan, dilihat dari tipologinya, izin yang dikembalikan adalah yang terkait dengan konservasi sumber daya alam. Sementara izin yang terkait investasi tetap dipertahankan BKPM. Hariadi mengingatkan, meski tidak berkaitan dengan penanaman modal secara langsung, izin-izin yang akhirnya dikembalikan BKPM tetap perlu diupayakan untuk dipercepat dan diringkas.

Memaklumi

Sementara itu Ketua Asosiasi Industri Reptil dan Amfibi Indonesia (AIRAI), Tubagus Unu Nitibaskara menyatakan, demi efisiensi proses perizinan akan lebih baik jika dilakukan dalam satu pintu, bahkan satu atap. Meski demikian, dia memaklumi jika akhirnya BKPM mengembalikan sejumlah kewenangan perizinan ke Kementerian LHK. “Karena memang butuh persiapan matang,” katanya.

Apalagi, perizinan untuk penangkaran atau peredaran satwa liar, termasuk reptil dan amfibi tidak bisa kendur terkait aspek konservasi. “Pemanfaatan satwa liar bukan berarti bisa mengabaikan kelestariannya. Konservasi harus tetap diutamakan,” katanya.

Sejumlah izin terkait peredaran tumbuhan dan satwa liar (TSL) memang dikembalikan oleh BKPM. Di antaranya adalah Izin penangkaran satwa, Izin memperoleh specimen tumbuhan dan satwa liar, Izin pengambilan atau penangkapan komersial spesimen tumbuhan & satwa liar dari habitat alam, dan Izin peredaran komersial

AIRAI sendiri sebenarnya sedang mengkaji ulang proses pengeluaran rekomendasi peredaran amfibi dan ular, terutama untuk tujuan ekspor. AIRAI memang ditunjuk oleh Kementerian Kehutanan untuk menerbitkan rekomendasi ekspor amfibi dan ular agar aspek konservasinya terjaga. Langkah itu merespon pengalihan kewenangan perizinan kepada BKPM. Tujuannya tentu agar prosedur penerbitan rekomendasi tidak menghambat proses izin di BKPM. “Dalam peredaran ular dan amfibi, rekomendasi dari kami sama pentingnya dengan izin yang dikeluarkan oleh kementerian. Kami harus rigid soal itu,” katanya.

Unu menuturkan, perizinan yang selama ini ditangani Kementerian Kehutanan sudah berjalan cukup baik. Apalagi dengan telah berjalannya sistem online. Namun, dia tetap berharap perbaikan secara berkesinambungan terus dilakukan.

Sebelumnya Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Isryal Yasman menyatakan, pendelegasian wewenang perizinan LHK ke BKPM adalah upaya pemerintah untuk mewujudkan proses perizinan yang cepat dan transparan.

Irsyal menyatakan, pendelegasian wewenang selayaknya juga diikuti dengan penyederhanaan proses perizinan di internal Kementerian LHK. Dia menilai upaya penyederhaan itu sudah cukup baik direspon Menteri Siti Nurbaya dan jajarannya dengan membentuk sejumlah satuan tugas, termasuk untuk mengevaluasi peraturan perundang-undangan.

Hal lain yang harus diperhatikan dalam pendelegasian wewenang itu adalah sifat perizinan kehutanan yang dipenuhi hal-hal yang bersifat teknis. Ini berbeda dengan izin yang selama ini yang diterbitkan oleh BKPM yang lebih bersifat administratif. “Karena sifatnya adminisitratif, izin di BKPM memang cepat diproses. 1-2 hari selesai. Tapi kehutanan lebih rumit,” kata Irsyal.

Dia mencontohkan soal lokasi yang menjadi target investasi, harus dipastikan dulu kebenaran koordinatnya, bagaimana kondisi lapangannya, seperti apa tutupan vegetasinya, dan banyak hal teknis lainnya yang tidak sederhana.  Apalagi, izin kehutanan umumnya punya jangka panjang dengan durasi 20-60 tahun. “Jika persoalan teknisnya tidak diperhatikan, tentu akan timbul persoalan. Nah, kalau ada persoalan siapa yang bertanggung jawab?” kata Irsyal. Sugiharto