Seperti ketentuan-ketentuan lain terkait gambut, terbitnya PermenLHK P.10/2019 tentang Penentuan, Penetapan dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) juga menuai pro dan kontra.
Kepala Badan Restoasi Gambut (BRG), Nazir Foead menyatakan, terbitnya PermenLHK P.10/2019 tak lepas dari putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan beberapa pasal dalam PermenLHK P.17/2017 tentang Perubahan Atas PermenLHK P.12/2015 tentang Pembangunan HTI.
“(PermenLHK P.10/2019) ini memang khusus untuk yang sudah terlanjur punya izin yang sah, legitimate, karena perintah MA. Kalau yang belum dibuka, tetap tidak boleh,” katanya ketika dihubungi, Senin (29/4/2019).
Nazir menyatakan, PermenLHK P.10/2019 itu selaras dengan upaya restorasi gambut yang kini dilakukan BRG. Meski demikian, dia mengaku upaya restorasi akan sangat kuat jika ketentuan tentang pemanfaatan gambut diatur seperti dalam PermenLHK P.17/2017. Namun, seperti sudah menjadi perintah MA, hal itu tak bisa lagi dilakukan. “Perintah MA tidak bisa. Kita lembaga pemerintah tentu menghormati trias politika,” katanya.
Menurut Nazir, hal penting yang harus dilakukan pasca terbitnya PermenLHK P.10/2019 adalah pemantauan pengaturan tata air gambut, sehingga kelembabannya tetap terjaga dan bahaya kebakaran tetap minimal.
“Jadi, menata airnya harus melihat satu KHG. Jangan sampai di tempat ini basah, di tempat lain kekeringan,” katanya.
Dia menyatakan, pemerintah siap untuk memberikan arahan dan asistensi agar perusahaan yang memanfaatkan lahan gambut bisa menerapkan pengaturan tata air dengan baik. BRG, katanya, juga punya tim yang melibatkan pakar tata air, pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang kerap terjun ke lapangan untuk memberikan konsultasi dan saran terkait prinsip pengelolaan air di lahan gambut.
“Jangan hanya berpikir sendiri. Prinsip berbagi airnya harus dijaga,” katanya.
Komprehensif
Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Gambut Indonesia, Profesor Supiandi Sabiham menyatakan, pihaknya menghormati kebijakan KLHK. Menurut dia, dipandang dari sisi keilmuan, Permen LHK P.10/2019 sudah sangat sesuai. “(PermenLHK P.10/2019) ini sudah sangat baik dan komprehensif untuk bisa dijadikan pengelolaan gambut ke depan,” katanya.
Salah satu bukti komprehensifnya PermenLHK P.10/2019 adalah dimasukannya ketentuan tentang kelengasan (kelembaban) gambut dalam penentuan puncak kubah gambut. Menurut Supiandi, penentuan kering atau tidaknya gambut tidak sekadar ditentukan oleh tinggi muka air tanah (TMAT) semata. Seperti diketahui, dalam PP gambut, TMAT gambut diatur paling rendah 0,4 meter dari permukaan.
“Jadi, kalau TMAT lebih rendah dari itu, tapi kelengasannya tinggi, maka itu tidak masalah. Ketentuan kelengasan ini dulu tidak ada,” katanya.
Supiandi pun sepakat dengan KLHK yang mewajibkan puncak kubah gambut untuk tetap dijadikan kawasan fungsi lindung. Nantinya, seberapa luas puncak kubah gambut yang ditetapkan akan sangat bergantung kepada data nyata di lapangan.
Data tersebut, seperti sudah diatur dalam PermenLHK P.10/2019, di antaranya adalah kedalaman gambut, topografi lahan dengan interval kontur 0,5 meter, porositas tanah, plus kelengasan tanah. “Luas puncak kubah gambut akan sangat bervariasi tergantung kebutuhan air di bawahnya,” katanya.
Supiandi juga tidak mempersoalkan jika ada lebih dari satu puncak kubah gambut dalam sebuah KHG, maka cukup satu saja yang wajib dijadikan kawasan lindung. Puncak kubah lainnya bisa saja dimanfaatkan asal puncak kubah yang dipertahankan sebagai fungsi lindung bisa menyediakan air yang memadai. “Secara teknis bisa diperhitungkan,” katanya.
Namun, katanya, hal itu harus dihitung dengan dukungan data yang akurat. Di sinilah peran data lapangan, seperti peta topografi lahan dengan interval kontur 0,5 meter diperlukan.
Supiandi mengingatkan kepada seluruh pelaku usaha yang memanfaatkan lahan gambut untuk tunduk dan mengikuti PermenLHk P.10/2019. Menurut dia, ketentuan itu sudah cukup mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha dalam pemanfaatan lahan gambut. Di sisi lain, secara keilmuan ketentuan tersebut juga bisa diandalkan untuk mencegah gambut kering.
“Ikuti saja ketentuan di situ (PermenLHK P.10/2019),” katanya.
Apresiasi APHI
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto menyatakan, pihaknya menyambut baik terbitnya PermenLHK P.10/2019.
“APHI mengapresiasi terbitnya PermenLHK P.10/2019. Permen ini pada dasarnya memberikan jabaran terhadap ketentuan peralihan Pasal 45 PP 71/2014 jo. PP 57/2016, bahwa izin usaha yang sudah beroperasi yang berada dalam Fungsi Lindung Ekosistem Gambut, yang terbit sebelum PP itu, tetap berlaku sampai selesai berlakunya izin,” katanya.
Dia melanjutkan, PermenLHK tersebut sekaligus memberikan jaminan keberlangsungan usaha terhadap izin-izin HTI yang memanfaatkan budidaya di lahan gambut, asal tetap menjaga fungsi hidrologis gambut.
Ditanya seberapa prakiraan luas areal HTI yang kembali bisa dimanfaatkan setelah sempat di-verboden berdasarkan ketentuan lama, Purwadi menyatakan masih perlu penghitungan lagi. Menurut dia, luas areal HTI yang bisa kembali dimanfaatkan menunggu penetapan puncak kubah dan peta fungsi ekosistem gambut terkoreksi. “Saat ini sedang dalam proses,” katanya.
Dia menjelaskan, perhitungan luas HTI yang harus dilindungi karena terletak di puncak kubah gambut didasarkan atas keseimbangan hidrologis dalam satu KHG, di mana terdapat areal-areal, khususnya puncak kubah gambut yang dapat menjaga pasokan air di KHG tersebut.
Terkait hal itu, APHI menyerukan anggotanya yang beroperasi di lahan gambut untuk memperbaiki dan menyediakan data detil yang dibutuhkan. Dia menuturkan, salah satu basis untuk pengajuan peta fungsi ekosistem gambut terkoreksi adalah data faktual di lapangan. Karena itu, data detail lapangan seperti topografi, kedalaman, jenis gambut/tanah, menjadi penting untuk penentuan posisi puncak kubah gambut. “Diharapkan perusahaan-perusahaan HTI segera melakukan pemetaan detail untuk data tersebut,” katanya.
Purwadi menekan, anggota APHI siap mengikuti ketentuan pemerintah. Dia menuturkan, pascara terbitnya PP gambut dan paket ketentuan pelaksananya, pembenahan tata kelola lahan gambut menjadi perhatian serius perusahaan pemegang izin. Pemulihan ekosistem gambut dilakukan melalui suksesi alami, revegetasi, sekat kanal serta penerapan teknologi pengaturan tata air. Dampaknya, pasca bencana karhutla tahun 2015, kebakaran yang terjadi di areal konsesi HTI menurun secara signifikan. “Oleh karenanya, pengaturan tata air yang ketat sebagaimana diatur dalam PermenLHK P.10/2019, memang menjadi keniscayaan bagi pemegang izin,” kata Purwadi.
Kontradiktif
Ada yang setuju, ada juga yang menolak. Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, M Teguh Surya menyatakan, pihaknya saat ini sedang melakukan kajian terhadap PermenLHK P.10/2019. Berbekal kajian itu, Yayasan Madani Berkelanjutan akan mengajukan audiensi dan masukan kepada KLHK.
Namun, ujar dia, dari impresi awal, PermenLHK P.10/2019 bertentangan dengan semangat penyelamatan gambut seperti yang tertuang dalam PP gambut. “Ini kontradiktif. Seharusnya ketentuan yang dikeluarkan pemerintah memperkuat PP gambut.”
Teguh menyatakan, terbitnya PermenLHK P.10/2019 adalah salah satu dari dua keanehan kebijakan yang dirilis KLHK jelang berakhirnya periode pertama Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dai berharap agar Menteri LHK bisa lebih jeli sebelum menandatangani sebuah kebijakan.
Teguh menyatakan, gambut adalah kekayaan Indonesia yang belum sempat dipelajari dengan baik. Sayangnya, potensinya sudah habis terlebih dulu. Menurut dia, pemanfaatan gambut untuk budidaya seharusnya hanya untuk komoditas asli gambut, sehingga tidak merusak kondisi alaminya. “Tidak ada untungnya juga memberi lahan gambut untuk konsesi seperti sawit dan HTI. Hanya akan menambah tingkat kerawanan saja,” katanya.
Teguh juga mengkritik PermenLHK P.10/2019 karena memberi jalan untuk mempertahankan pemanfaatan gambut di fungsi lindung ekosistem gambut untuk yang sudah beroperasi sebelumnya. Menurut dia, keterlanjutan seharusnya tidak diakomodatif. Melainkan harus di tinjau ulang dan dipulihkan.
Apalagi, lanjut teguh, KLHK punya tanggung jawab untuk melakukan review terhadap kebun-kebun yang berada di dalam kawasan hutan dengan luas total 3,4 juta ha sesuai dengan Instruksi Presiden yang mengatur tentang moratorium sawit.
Teguh mengingatkan, gambut adalah satu kesatuan. Jadi, jangan heran jika pemetaan sebagai sebuah kawasan dilakukan sampai ke wilayah non gambut. Oleh sebab itu, tidak tepat jika perlindungan gambut hanya ditetapkan di puncaknya saja. “Buffer zone-nya harus dilindungi, karena akan berpengaruh,” katanya. Sugiharto
Baca juga:
Gambut Boleh Dikelola Lagi
Sejumlah Syarat Wajib Dipenuhi
Teknologi Dukung Pengelolaan Gambut Lestari