Kementerian Pertanian akhirnya “lempar handuk” dan mengakui kegagalan merealisasikan program peningkatan produksi lima komoditas pangan pokok. Namun, alih-alih mengakui lemahnya kualitas data yang dimiliki hingga berbuntut buruknya kebijakan yang diambil, Kementan malah menuding kementerian lain maupun pemerintah daerah tidak mendukung.
Di tengah kesibukan dan hangatnya situasi politik dalam negeri terkait dengan rangkaian Pemilu legislatif dan Presiden, Menteri Pertanian Suswono mengakui kegagalannya mencapai target peningkatan produksi lima pangan pokok, yang sudah dicanangkan sejak awal menjabat. Apalagi, target peningkatan produksi demi ketahanan pangan itu sempat diulangi kembali dan digadang-gadang bakal tercapai tahun 2014 ini lewat deklarasi Rencana Aksi Bukittinggi — yang ditandatangani 11 menteri dan 12 gubernur dalam rangkaian Hari Pangan Sedunia ke-13 di Sumbar tahun lalu.
Sayangnya, tak satupun target lima komoditas yang tercapai. Beras, contohnya. Jangankan surplus 10 juta ton, target produksi gabah kering giling (GKG) dari 76 juta ton tahun ini dipangkas tinggal 73 juta ton GKG. Jagung pun sama. Jika semula target produksi 20 juta ton, Kementan merevisi jadi 18 juta ton. Kedele? Apalagi. Dari target 1,5 juta ton susut tinggal 1,2 juta ton. Dua komoditi lain, yakni gula dan daging, sama saja, bahkan sudah kerap gagal tiap tahunnya.
Mentan Suswono menuding kegagalan itu akibat tidak adanya dukungan dari kementerian dan pemerintah daerah, meskipun semuanya sudah meneken komitmen Rencana Aksi Bukittinggi. “Ternyata hampir tak ada yang merespon komitmen yang sudah ditandatangani,” ujar Suswono dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Pertanian (Musrenbangtan) Nasional 2014 di Jakarta, Selasa (13/5).
Benarkah? Buat pengamat ekonomi, selain masalah koordinasi, kegagalan itu terjadi akibat persoalan mendasar: buruknya kualitas data pemerintah! Menurut Faisal Basri, pemerintah kerap menampilkan data rancu, yang membuat pembangunan pertanian tidak efektif. Data Kementan sering lebih tinggi dari lembaga lain, baik swasta maupun internasional.
Guru besar ilmu ekonomi pertanian Universitas Lampung (Unila), Bustanul Arifin pun tak heran jika swasembada pertanian terus gagal. Jangankan menerapkan kebijakan pangan efektif, untuk urusan data saja akurasinya masih dipertanyakan, kalau bukan memalukan. Akibatnya? “Analisis sampah, keluarnya sampah juga,” kata Bustanul. Jadi, tak perlu heran, memang jika target swasembada pangan jangan-jangan memang tidak realistis akibat data yang dipakai keliru. AI