Aksi Spekulasi Menunggu Permentan

Ratusan kontainer berisi daging sapi yang berada di pelabuhan Tanjung Priok harus direekspor jika tidak memiliki dokumen pemasukan yang sah yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan.

“Jika tidak ada dokumen pemasukan, kontainer itu tidak bisa masuk ke pasar dalam negeri dan harus dire-ekspor,”  tegas Direktur Fasilitasi Ekspor dan Impor, Kementerian Perdagangan, Nusa Eka di Jakarta, Jumat (20/05/2016).

Menurutnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah mengeluarkan semua surat persetujuan impor (SPI) kepada importir yang mendapatkan alokasi impor daging sapi.

“Dengan telah dikeluarkannya SPI, mestinya tidak ada lagi masalah dalam pemasukan daging impor di pelabuhan jika daging yang diimpor itu legal,” paparnya.

Adanya ratusan kontainer daging, yang sebagian diduga berasal dari India di pelabuhan Priok, diduga merupakan tindakan spekulasi sejumlah impor mengenai akan dibukanya kran impor daging dengan sistem zonasi.

Terkait hal ini, Plt Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Karyanto Suprih menyatakan, pemerintah memang akan mengizinkan impor daging sapi dan kerbau dari negara-negara dengan sistem zonasi, termasuk impor daging kerbau dari India.

“Pemerintah memang mengizinkan impor daging dari India dan kini sedang dalam proses oleh Kementerian Pertanian,” ujar Karyanto Suprih.

Menurutnya, pihak Kementan saat ini sedang melakukan verifikasi dan audit ke India untuk memastikan apakah impor daging dari negara tersebut bisa dilakuakn dengan baik atau tidak.

Pemerintah melalui rakor di Kantor Menko Perekonomian beberapa waktu lalu telah menetapkan pembukaan kran impor daging dan hewan sapi dengan sistem zonasi.

Kebijakan itu dilakukan agar pasokan daging sapi ke Indonesia tidak hanya bergantung pada dua negara saja, tetapi juga bisa datang dari negara-negara lain sepanjang daging dan hewan sapi tersebut berasal dari wilayah yang bersih dari penyakit kuku dan mulut (PMK).

Karena hanya terpaku pada minimnya sumber pasokan, harga daging sapi di dalam negeri terus di posisi yang tinggi. Saat ini saja harga daging sapi di kawasan Jabodetabek masih berkisar di angka Rp120.000-Rp125.000/kg. Padahal, pemerintahan berkeinginan agar harga daging sapi di pasaran dalam negeri bisa mencapai posisi Rp85.000/kg.

Daging beku masuk pasar becek

Selain membuka kran impor daging sapi dan hewan sapi lewat sistem zonasi guna menekan harga daging di pasar dalam negeri, Kementerian Perdagangan juga berencana mengizinkan pemasaran daging sapi beku ke pasar umum alias pasar becek. Jadi, daging beku tidak lagi sekadar untuk  kalangan hotel, restoran dan katering (horeka) saja.

Pada Pasal 20 Permendag Nomor 5/M-DAG/PER/I/2016 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan disebutkan, produk hewan yang termasuk dalam lampiran III dari Permendag ini hanya dapat diimpor untuk tujuan penggunaan dan distribusi bagi industri, hotel, restoran, catering dan atau untuk tujuan khusus lainnya. Daging beku termasuk dalam lampiran III Permendag tersebut.

“Memang, di Permendag itu daging beku memang hanya ditujukan untuk horeka. Namun, dalam kondisi sekarang, kita akan coba revisi agar daging beku itu bisa masuk pasar umum,” ujar Karyanto Suprih.

Dijelaskan, revisi Permendag itu kini tengah disiapkan oleh Kemendag agar secepatnya bisa direalisasikan di lapangan dalam waktu dekat ini. “Kami sudah siap untuk merevisinya,” ujarnya.

Dia yakin, jika daging beku bisa didistribusikan di pasar umum, harga daging di pasaran bisa mengalami penurunan cukup besar dibandingkan dengan harga daging saat ini.

Kalau menurut perhitungan Ditjen Perdaganagn Dalam Negeri, ungkapnya, harga bisa turun ke posisi Rp85.000/kg. “Amanat Bapak Presiden bisa tercapai jika semua kementerian bisa saling kerjasama,” ujarnya.

Suprih mengakui, peredaran daging beku di pasar umum tidaklah mudah mengingat kultur masyarakat Indonesia yang lebih menginginkan membeli daging segar. “Padahal, dari sisi higienis, daging beku lebih baik dibandingkan daging non beku,” ucapnya.

Jika daging beku bisa masuk ke pasar umum dan ditambah lagi dengan pasokan daging sapi jenis secondary cut yang diimpor PT Berdikari sebanyak 5.000 ton, maka harga daging sapi di pasaran dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan dan Idul Fitri bisa dikendalikan dengan baik.

Menurut Karyanto Suprih, daging yang diimpor PT Berdikari itu akan masuk pada bulan Mei 2016 ini, sehingga bisa langsung digunakan untuk operasi pasar guna mentabilkan harga daging di dalam negeri.

Rencananya, daging sapi yang diimpor PT Berdikari itu nantinya sebagian didistribusikan oleh Perum Bulog melalui operasi pasar di sejumlah kawasan, terutama di kawasan Jabodetabek yang memiliki tingkat kebutuhan daging yang cukup tinggi.

PT Berdikari sendiri sebenarnya mendapatkan alokasi impor daging sapi sebanyak 10.000 ton, namun Kemendag baru mengeluarkan SPI untuk 5.000 ton. “Memang, yang baru dikeluarkan izinnya 5.000 ton dan nanti akan diberikan lagi 5.000 ton lainnya,” papar Suprih. B Wibowo

Karpet Merah Daging India

Keluarnya Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 17/Permentan/PK.450/5/2016 memang sudah lama ditunggu seiring ditandatanganinya Peraturan Pemerintah (PP) No. 4 Tahun 2016 tentang Pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan dalam Hal Tertentu yang Berasal dari Negara atau Zona dalam Suatu Negara Asal Pemasukan yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 10 Maret 2016.

Dengan keluarnya Permentan 17/2016, berarti impor daging sapi atau kerbau dari negara yang belum bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang berbahaya, bisa dilakukan. Dengan kata lain, inilah karpet merah buat daging kerbau dari India.

Dengan harga daging di dalam negeri menjelang Ramadhan sudah Rp125.000/kg, yang trennya pasti meningkat menjelang Idul Fitri, maka memasukkan daging India memang berpotensi besar menyeret turun harga. Menurut seorang importir daging, harga daging India memang jauh lebih murah dibandingkan daging sapi Australia atau Selandia Baru.

“Harga daging India untuk blade sekitar 3,5 dolar AS/kg dan triming sekitar 2,1 dolar AS/kg. Dengan bea masuk dan biaya lain-lain, maka harga blade sekitar Rp51.290/kg dan triming sekitar Rp31.200/kg,” katanya.

Dengan harga itu, maka target pemerintah menyeret turun harga daging di pasar Rp85.000/kg bukan pekerjaan sulit. Apalagi, daging beku ini bisa dipakai untuk operasi pasar di pasar tradisional jika Permendag revisinya sudah keluar. Buat importir pun, target harga Rp85.000/kg juga bukan beban, malah menggiurkan karena margin yang diperoleh masih sangat besar.

Persoalannya, sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) Permentan 17/2016, impor daging beku tanpa tulang dari negara atau zona itu hanya boleh dilakukan oleh BUMN yang ditugaskan oleh Menteri BUMN. Besaran atau kuota impor pun ditetapkan melalui rapat koordinasi yang dipimpin Menko Perekonomian (pasal 3 ayat 1) dan harus dapat rekomendasi impor dari Dirjen Peternakan, Kementan.

Hanya saja, meski impor daging beku dari sistem zona ini dimonopoli oleh BUMN, namun di lampiran Permentan ini ternyata bukan hanya memuat daging potongan sekunder (secondary cut), tapi juga potongan primer (premium cut). Dengan kata lain, bisa saja swasta memasukkan daging dengan sistem zona untuk kategori daging primer.

Seperti diketahui, berdasarkan Permentan No. 58/Permentan/PK.219/11/2015 tentang Pemasukan Karkas, Daging, dan/atau Olahannya ke Dalam Wilayah Indonesia, swasta hanya dibolehkan mengimpor daging dalam bentuk potongan primer, dan penggunaan sistem zona hanya boleh untuk impor daging olahan. Sementara untuk daging potongan sekunder disebut hanya untuk BUMN/BUMD, yakni Pasal 22 ayat (3).

Jadi, dengan dimasukkannya daging potongan primer dalam Permentan 17/2016, berarti membuka peluang swasta melakukan impor daging tersebut dari sistem zona. Kalau sudah begini, dibutuhkan pengawasan aparat karena bukan tidak mungkin pemasukan daging sekunder disebut sebagai daging premium. Kemampuan mungkin ada, tapi kemauan? Faktanya di lapangan, tidak sulit mencari daging sekunder, bahkan jeroan yang terlarang. Jamalzen