Gagalnya capaian beberapa target produksi komoditas pertanian ternyata mudah dibaca sejak awal. Pasalnya, persoalan paling mendasar, ketersediaan data yang valid, tidak dimiliki pemerintah. Akibatnya, kebijakan yang ada pun bisa meleset dan keliru.
Hal itu terungkap dalam diskusi forum wartawan pertanian dengan pengamat ekonomi UI, Faisal Basri dan ekonom Indef, Enny Sri Hartati, Sabtu (17/5). Menurut Faisal, pemerintah kerap menampilkan data rancu yang menyebabkan kebijakan pembangunan kurang efektif. Seringkali, data yang ditampilkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan data dari lembaga lain, baik swasta maupun internasional.
“Anda lihat, data yang dimunculkan Kementan itu cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan data yang dimiliki tempat lain. Misalnya kakao atau sapi. Katanya produksinya banyak, sehingga impornya sedikit. Hasilnya? Harga naik. Beras juga meningkat 40%, tapi kita masih impor. Itu kan nggak masuk akal,” jelasnya.
Menurut Faisal, salah satu falsafah dari gerakan petani rakyat adalah data yang benar. Jadi, jika datanya masih amburadul, maka kebijakan yang diambil pun kemungkinan besar akan meleset.
Terkait dengan kebijakan di Kementerian Pertanian, Faisal menilai saat ini Indonesia membutuhkan pemimpin yang pro-pertanian. Karena saat ini sektor pertanian mengalami kemunduran, sehingga Indonesia kebanjiran impor pangan, sementara di sisi lain daya saing pertanian dalam negeri terus menurun.
Menurut Faisal, pertumbuhan sektor tradable di Indonesia selama tahun 2000-2013 lebih rendah dibandingkan sektor non tradable. Kondisi ini biasanya banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Itu sebabnya, pemerintahan saat ini dinilai tidak pro sektor riil. “Kalau begini kondisinya, neraca perdagangan pangan dalam negeri defisit terus,” katanya.
Pria kelahiran Bandung, 6 November 1959 ini menambahkan, saat ini kinerja sektor pertanian makin menurun di era pemerintahan SBY. Padahal, sebagai negara besar, tidak seharusnya Indonesia menggantungkan kepentingan pangannya kepada negara lain karena ini terkait erat dengan kedaulatan. Indonesia akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Selama 2005-2011 terjadi konvergensi harga produk-produk pertanian di ASEAN. Artinya, produk pertanian di ASEAN makin bebas sehingga terjadi kesetaraan harga.
“Produk murah akan masuk ke negara-negara yang harga pangannya lebih mahal, sehingga harga akan turun,” tuturnya.
Transportasi
Faisal mencatat, hingga September 2013, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,55 juta orang. Jika sektor pertanian benar-benar diperhatikan, penurunan kemiskinan tentu akan lebih cepat karena sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggantungkan hidupnya sebagai petani.
“Yang harus diperhatikan pemerintah, jika ingin membangun pertanian adalah dengan meningkatkan pasca panen, khususnya transportasi. Sebab, biaya transportasi yang tinggi membuat petani tak mampu mengirimkan produknya,” paparnya.
Bayangkan saja, ongkos pengapalan Jakarta-Sorong 2.000 dolar AS, Jakarta-Banjarmasin 650 dolar AS, dan Padang-Jakarta 600 dolar AS. Sedangkan biaya pengapalan Jakarta-Singapura 185 dolar AS dan Jakarta-Rotterdam 550 dolar AS. Bahkan, survey Bank Dunia mencatat, harga jeruk Medan Rp20.000/kg, sedangkan harga jeruk Mandarin Rp17.000/kg.
“Itulah dampak mahalnya biaya transportasi di Indonesia. Meski pemerintah sudah membatasi pintu masuk impor hortikultura, namun produk tersebut tetap mudah masuk karena maraknya penyulundupan,” tukas Faisal.
Kontraproduktif
Sementara itu, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati mengatakan, saat ini kebijakan pemerintah SBY banyak yang kontraproduktif terhadap sektor strategis. Contohnya, pemerintah yang dahulu memberlakukan bea keluar (BK) kakao, saat ini tiba-tiba berwacana akan memberlakukan bea masuk (BM) impor kakao 0 persen. “Di mana rasionalisasinya? Jangan-jangan biji kakao yang diekspor dari Indonesia, masuk lagi menjadi produk olahan,” ujarnya.
Enny mengatakan, selain kebijakan yang kontraproduktif, koordinasi antarlembaga pemerintahan juga tidak kompak. Akibatnya, kebijakan yang sudah diambil tak bisa dilakukan secara optimal seperti target pencapaian swasembada pangan yang digembar-gemborkan Kementerian Pertanian.
“Ketika pemerintah sudah mencanangkan target perencanaan, itu kan dibreak down ke dalam program. Ini berarti ada upaya yang gagal dilakukan,” katanya.
Dituturkan Enny, meskipun gagalnya pencapaian target produksi bukan hanya kesalahan Kementerian Pertanian, tetapi ada indikasi Kementerian Pertanian tidak mampu meyakinkan lembaga atau kementerian yang lain.
“Misalnya masalah lahan tidur. Kementerian Kehutanan bilang Kementerian Pertanian nggak bisa meyakinkan mereka, sehingga lahan hutan yang sedianya dipakai sebagai lahan pertanian urung diberikan,” katanya.
Jangan dari parpol
Enny menambahkan, masalah koordinasi dan perencanaan program memang menjadi masalah yang serius dalam kabinet SBY. Meksipun diakuinya, ego sektoral bukan hanya terjadi antarkementerian saja, tetapi juga antardirektorat dalam satu kementerian. Karena itu, harus dilakukan reformasi birokrasi serta praktik yang baik dalam tata kelola pemerintahan. Sehingga jika koordinasi antarkementerian mengalami deadlock, maka bisa dibawa ke rapat Menteri Koordinator. Jika di tingkat Menko pun masih tidak ada jalan keluar, baru dibawa ke Presiden.
“Koordinasi kita memang parah. Makanya ke depan, kementerian startegis sebaiknya jangan dari parpol. Meskipun tak ada dikotomi, tapi praktiknya ketimpangan masih ada. Beda jika pemimpinnya sama-sama objektif, maka perbedaan bisa dipertemukan,” kata Enny.
Saat ini kepentingan sektoral dan daerah mengalahkan kepentingan nasional. Ini terlihat pada benturan yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah terkait alih fungsi lahan pertanian. Meskipun pemerintah pusat memiliki kebijakan yang jelas terkait larangan alih fungsi lahan, namun kenyataannya yang mengeluarkan izin adalah kepala daerah baik tingkat 1 maupun tingkat 2.
“Kalau di Malaysia ada MoU antara pemerintah federal dengan negara bagian, dan itu dicantumkan di UU sehingga kuat. Kalau kepala daerahnya ganti, maka aturan lama masih dipakai,” beber perempuan berkerudung ini. E.Y Wijianti
Analisis Sampah, Keluarnya Sampah Juga
Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung (Unila), Bustanul Arifin mengaku tak heran jika target swasembada produksi pertanian tak tercapai. Pasalnya, sejak awal pemerintah tak serius menggarap sektor pangan dengan baik. Alih-alih menerapkan kebijakan pangan yang efektif, untuk urusan data saja misalnya, tingkat akurasinya masih payah dan perlu dipertanyakan.
“Analisis sampah, keluarnya sampah juga,” kata Bustanul pada Agro Indonesia terkait akurasi data produksi berbagai produk pangan yang dirilis pemerintah pada Selasa (27/5).
Bustanul mengatakan, sejak jauh hari dia sudah menilai target swasembada pangan yang ditetapkan pemerintah tidak realistis akibat data yang keliru. Untuk kasus beras, ada over estimate data sekitar 9%-10%. Dengan estimasi yang berlebihan itu, data yang menganggap produksi beras cukup ternyata di lapangan belum cukup. Sehingga harus dilakukan impor beras untuk menjaga agar tidak terjadi gejolak harga. “Jadi, intinya, mengurus data saja nggak bener, bagaimana mau bikin swasembada beras,” katanya.
Menurut pria kelahiran Bangkalan, Madura, 27 Agustus 1963 ini, tidak akuratnya data pertanian karena metode penghitungan tersebut kurang memperhitungkan bencana alam dan gagal panen.
“Selama ini, penghitungan data berdasarkan luasan sawah, sementara luasan panen masih sulit dihitung akibat bencana alam yang sering menyebabkan gagal panen terutama banjir,” tukasnya.
Digambarkan Bustanul, pada tahun 2012 pemerintah merilis data sementara, di mana produksi padi sebesar 68,9 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara 37 juta ton beras. Jika konsumsi beras nasional mencapai 113,5 kg/kapita/tahun, berarti total konsumsi beras untuk 237,6 juta penduduk sebesar 27 juta ton. Dengan produksi 37 juta ton beras, harusnya terjadi surplus beras. Tapi pada knyataannya, impor beras masih juga dilakukan.
Untuk itu, Bustanul mendorong agar pemerintah secara legowo memperbaiki data yang ada. Mulai dari luas areal, produktivitas, sampai urusan lainnya. “Harus ada kerjasama yang erat antara daerah dan pusat. Antara BPS dan dinas di daerah karena mereka yang tahu persis kondisi lapagannya. Jadi, data memang harus dihitung ulang, harus ada tim khusus untuk data ini,” paparnya.
Terkait melesetnya beberapa target produksi pertanian, Bustanul melihat bahwa pelaksana sistem di bidang pertanian tak mampu menunjukan kinerjanya dengan baik. Ada kepentingan politis yang membuat kinerja tidak maksimal. “Faktanya, saat ini target nggak tercapai. Ya meskipun ada peningkatan, tapi sedikit,” tuturnya. E. Y. Wijianti