Melindungi Petani Tembakau

Badai pemutusan hubungan kerja  (PHK) kini menerpa pekerja di industri rokok. Beberapa waktu lalu, PT HM Sampoerna Tbk mengumumkan penutupan pabrik rokoknya di Lumajang dan Jember, Jawa Timur. Dengan ditutupnya dua pabrik itu, perusahaan tersebut bakal merumahkan 4.900 karyawannya per 1 Juni 2014.

Langkah penutupan pabrik itu  dilakukan akibat menurunnya pasar produk sigaret kretek tangan (SKT). Tahun lalu, volume penjualan SKT turun 13% dan pada kuartal pertama tahun ini turun lebih dalam, yakni 16,1 %.

Kebijakan penutupan pabrik rokok itu yang diikuti dengan tidnakan merumahkan atau mem-PHK karyawan, tentu saja akan berdampak besar bagi kehidupan masyarakat, roda ekonomi daerah maupun pendapatan negara dari cukai rokok.

Data BPS menunjukkan ada sekitar 6 juta jiwa masyarakat yang bernatung secara langsung dengan industri rokok. Mereka terdiri atas pekerja pabrik rokok, petani tembakau serta masyarakat yang bergerak di sektor pendukung industri rokok lainnya.

Jadi, penutupan pabrik rokok di Lumajang dan Jember tidak hanya akan menyebabkan sekitar 4.900 pekerja terkena PHK, tetapi juga akan banyak masyarakat yang bekerja di sektor yang berkaitan langsung dengan industri rokok, seperti pekerja di industri kertas atau pembungkus rokok, distributor rokok dan petani tembakau.

Jika melihat perkembangan yang terjadi di lapangan saat ini, tampaknya fokus perhatian pemerintah dan masyarakat soal penutupan pabrik rokok adalah bagaimana menyelamatkan para pekerja di pabrik rokok tersebut. Berbagai upaya mulai dilakukan agar pekerja pabrik rokok yang terkena PHK itu bisa tetap kokoh kondisi ekonominya.

Misalnya menyelenggarakan pelatihan wiraswasta cara membuat kue sehingga mempunyai nilai ekonomis tinggi kepada keluarga karyawan pabrik rokok yang terkena PHK.

Upaya membantu pekerja yang terancam PHK memang suatu hal yang perlu dilakukan guna menekan peningkatan jumlah pengangguran di dalam negeri. Namun, upaya tersebut juga harus dilakukan secara proporsional terhadap pihak-pihak lainnya, terutama terhadap petani tembakau.

Jika diperhatikan secara seksama, petani tembakau mungkin menjadi salah satu pihak yang paling dirugikan dari kebijakan penutupan pabrik rokok. Pasalnya selama ini mereka hanya menggantungkan penjualan hasil tembakaunya kepada pabrik rokok. Jika pabrik rokok tutup, maka mereka akan sulit memasarkan tembakaunya.

Karena itu, ada baiknya pemerintah, terutama Kementerian Pertanian memebrikan perhatian besar terhadap nasib petani tembakau di dalam negeri. Jika memang konsumsi tembakau di dalam negeri mengalami penurunan, Kementan sebaiknya meningkatkan sosialisasi kepada petani tembakau untuk berpindah ke sektor pertanian atau perkebunan lainnya. Tentunya hal ini juga harus diikuti dengan pemberian benih, pelatihan dan pembinaan kepada petani tembakau untuk mau berpindah ke sektor pertanian atau perkebunan lainnya.

Jika memang sulit untuk mendorong petani tembakau berpindah ke sektor lainnya, cara yang perlu ditempuh pemerintah adalah dengan mendorong ekspor tembakau Indonesia ke mancanegara. Selain itu, pemerintah juga dapat meredam impor tembakau sehingga kebutuhan tembakau di dalam negeri bisa dipenuhi dari produksi tembakau nasional.