Ketika Perpres Jadi Dalih

Kadin Kota Batam tak bisa berlama-lama menikmati kemenangan gugatannya soal kawasan hutan Batam. Langkah banding yang diajukan Menteri Kehutanan, juga Kepala Badan Pertanahan Nasional Batam membuat tim pengacara mereka bakal menyiapkan strategi perlawanan.

Kegembiraan boleh jadi sedang membuncah di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Batam. Maklum, gugatan mereka soal kawasan hutan Batam dikabulkan majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Tanjungpinang di Batam.

Dalam amar putusannya yang dinyatakan, Rabu (30/4/20104), majelis hakim PTUN membatalkan penerbitan SK.463/Menhut-II/2013 yang dikeluarkan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan pada 27 Juni 2013 tentang perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan sekitar 124.775 hektare (ha), perubahan fungsi kawasan hutan sekitar 86.663 ha dan perubahan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan sekitar 1.834 ha di Provinsi Kepulauan Riau.

Selanjutnya, majelis juga membatalkan keputusan No.426/200-21.71/IX/2013 yang dikeluarkan kepala BPN Batam pada 18 September 2013 yang menyatakan penolakan terhadap permohonan sertifikat hak guna bangunan (HGB) atas nama PT Maligas Sukses Abadi.

Majelis juga membatalkan keputusan No.441/200-21.71/IX/2013 yang dikeluarkan Kepala Kantor Pertahanan Kota Batam pada 30 September 2013 perihal penolakan permohonan penerbitan sertifikat HGB PT Maligas Sukses Abadi.

Atas putusan tersebut, majelis mewajibkan tergugat I (Kepala BPN Batam) menerbitkan sertifikat HGB atas anggota pengguggat, yaitu PT Millenium Invesment dan PT Maligas Sukses Abadi.

“Dengan putusan ini, semua peraturan-peraturan mengenai pertanahan di Batam diselesaikan dengan Peraturan Presiden No.87/2011 tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam Bintan Karimun yang telah mengatur pada tata ruang wilayah,” kata majelis sidang yang dipimpin oleh Tedy Romyadi.

Ketua Kadin Kota Batam, Ahmad Makruf Maulana, mengaku senang dengan terbitnya putusan PTUN. Menurutnya, setelah menunggu sekitar satu tahun, maka masyarakat Batam bisa kembali tenang dengan tidak adanya kawasan perumahan, perkantoran, dan industri yang masuk menjadi kawasan hutan lindung. “Ini perjuangan kita selama setahun. Akhirnya membuahkan hasil. Gugatan kita diterima, maka pembangunan di Batam juga tidak akan terhambat lagi oleh SK Menhut tersebut,” kata dia Jumat (2/5/2014).

Menurut Makruf, setelah penerbitan SK Menhut No.463/2013, bisnis properti di Batam sedikit melambat. Banyak investor yang berpikir dua kali untuk menanamkan modalnya di Batam.

Kuasa Hukum Kadin Batam, Masrur Amin mengatakan, sebelumnya sudah memprediksi bahwa gugatan Kadin Batam akan dikabulkan. Hal itu dia lihat dari terbitnya putusan sela PTUN beberapa bulan lalu.

Sebagai negara hukum, Masrur meminta agar pihak terkait, yakni BPN dan Menhut bisa mematuhi putusan yang dikeluarkan oleh PTUN. Dia yakin dengan terbitnya SK Menhut tersebut, investasi dan perekonomian Batam dan Kepri pada umumnya akan meningkat.

Banding

Masrur mengatakan, penerbitan SK Menhut tersebut cacat hukum dan tidak prosedural. Pasalnya, dalam penerbitan SK tersebut, Menteri Kehutanan tidak memasukkan rekomendasi dari tim terpadu. Selain itu, sambungnya, ada beberapa keputusan dalam SK tersebut yang prematur, di antaranya penunjukan kawasan penetapan dengan Dampak Penting, Cakupan Luas dan Strategis (DPCLS) di Batam. Padahal, kawasan tersebut sama sekali belum pernah disetujui DPR. “DPCLS itu harus berdasarkan undang-undang. Ini belum ada persetujuan kok sudah dimasukkan dalam SK Menhut,” terangnya.

Menurut Masrur, hal lain yang dianggap janggal adalah tidak dimasukkannya UU pembentukan Provinsi Kepri sebagai pertimbangan dalam SK Menhut tersebut.

Masrur pun menepis klaim batalnya SK Menhut No.463/2013 akan membawa dampak berlakunya keputusan menhut sebelumnya, di mana kawasan hutan yang ditunjuk jauh lebih luas. Dia menyatakan, dalam amar putusan PTUN juga dikatakan bahwa SK Menhut yang ada sebelumnya harus tetap disinkronkan dengan Perpres Nomor 87 tahun 2011. “Karena itulah dasar yang memang harus dipegang teguh. Di sana juga diatur masalah tata ruang. Jadi, tidak boleh bertentangan dengan itu,” jelasnya.

Masrus mengaku pihaknya siap jika Menhut dan juga kepala BPN Batam mengambil langkah hukum dengan mengajukan banding. “Kalau mereka banding, ya kita ikuti saja proses hukumnya,” kata dia kepada Agro Indonesia, Jumat (16/5/2014). AI

Pemutihan’Izin Bisa Dipidana

Menhut Zulkifli Hasan menegaskan, dirinya tidak asal menunjuk sebuah kawasan sebagai hutan lindung dan hutan konservasi. Menurut dia, keputusannya sudah mengacu kepada usulan perubahan peruntukan dan fungsi hutan yang diajukan Pemda Kepri dan kajian Tim Terpadu. “Itu sudah sesuai ketentuan,” kata dia di Jakarta, Jumat (9/5/2014).

Dalam SK Menhut No.463/Menhut-II/2013, menhut memutuskan perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas 124.775 hektare (ha), perubahan fungsi kawasan hutan seluas 86.663 ha, dan perubahan bukan kawasan hutan menjadi hutan seluas 1.834 ha.

Menhut menegaskan, keputusan tentang hutan Kepri diambil karena tidak ingin ada ‘pemutihan’ terhadap pelanggaran yang terjadi di kawasan hutan lindung Kepri. Pasalnya, di atas areal itu sudah dibangun kegiatan komersial tanpa mendapat izin dari Kemenhut.

Dia menjelaskan, keputusan tentang hutan Kepri merupakan bagian dari proses revisi RTRW di sana. Dalam usulan yang diajukan Pemda Kepri, terdapat upaya untuk mengubah kawasan hutan lindung dan konservasi menjadi areal penggunaan lain. Padahal, di kawasan tersebut sebelumnya pemda dan BP Batam menerbitkan izin kegiatan komersial yang belum mendapat izin dari Kemenhut.

Menhut menyatakan, dalam proses revisi RTRW, Kemenhut membentuk tim terpadu dari lintas instansi untuk memastikan perubahan kawasan hutan mampu mendukung pembangunan, namun tidak mengganggu keseimbangan lingkungan. Termasuk dalam tim tersebut adalah LIPI, akademisi dan Kementerian Lingkungan Hidup. Ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 19 Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Hasil kajian tim terpadu itulah yang jadi rujukan dalam memutuskan perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan di suatu provinsi. Berdasarkan hasil kajian tim terpadu itu terdapat perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain (APL) seluas 6.734 ha yang berasal dari kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam/Taman Buru seluas 1.571 ha, dan hutan lindung seluas 5.163 ha. Karena berdampak penting dan cakupan luas serta bernilai strategis, maka diperlukan persetujuan DPR.

Menhut mengaku harus berhati-hati dalam mengubah status kawasan hutan. Pasalnya, berdasarkan Undang-undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pelanggaran pidana tata ruang berupa pemutihan izin diancam hukuman 10 tahun penjara. Sugiharto