Produksi Gula Hanya 2,5 Juta Ton

Produksi gula nasional tahun 2014 diperkirakan hanya sekitar 2,5 juta ton atau jauh dari target produksi yang ditetapkan sebesar 2,9 juta ton. Rendahnya produksi gula ini karena rendemen tebu hanya sekitar 7%, selain akibat adanya fenomena El Nino.

Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Gamal Nasir mengatakan, saat ini rendemen tanaman tebu sekitar  7%-7,9%. Dengan tingkat rendemen itu, maka produksi gula juga akan turun. Target produksi gula tahun ini mencapai 2,96 juta ton. Namun, akibat rendemen hanya  7%, maka produksi gula pun dikoreksi.

“Taksasi produksi gula Maret lalu sebanyak 2,96 juta ton. El Nino mengakibatkan rendemen turun hanya 7%, sehingga diprediksi produksi hanya mencapai 2,57 juta ton untuk tahun ini,” katanya.

Di antara beberapa komoditas perkebunan, tebu menjadi salah satu komoditas yang terkena imbas El Nino. Jika pada awal Maret rendemen tebu masih gagah di angka 8,07%, maka pada Juli ini rendemen tebu merosot hanya sebesar 7%. Penurunan ini sangat berdampak pada taksasi produksi gula nasonal.

Menurut Gamal, sebetulnya sifat El Nino yang cenderung kering bagus untuk komoditas tebu. Tetapi pada kenyataannya, intensitas cuaca berubah, kering dan hujan terjadi secara bergantian sehingga menyebabkan rendemen turun.

Gamal mengatakan, apabila iklim tahun 2014 berdasarkan prakiraan BMKG berjalan normal sesuai prediksi, maka keadaan rendemen tebu diperkirakan rata-rata sebesar  8,07% atau mengalami peningkatan sebesar 12,67% dibanding tahun 2013 yang besarannya 7,18%.

Menurut perkiraan BMKG, seperti yang disampaikan pada acara pertemuan pelaksanaan taksasi produksi awal giling pada bulan Maret 2014, bukan April 2014 akan terjadi El Nino lemah, artinya pada bulan April  masih turun hujan, meskipun  tidak terlalu tinggi tetapi masih dalam batas normal. Sedangkan awal musim kemarau tahun 2014 sebagian besar wilayah akan dimulai bulan Mei-Juni 2014

Perubahan iklim

Pada kenyataannya, perubahan iklim membuat intensitas cuaca berubah, yang tadinya prediksi lebih banyak kering ternyata hujan terjadi setiap hari. Akibatnya, yang seharusnya belum generatif, tanaman sudah keluar bunga. Dengan keluarnya bunga, maka energi sukrosa akan terambil sehingga di batang tengah tanaman tebu hanya menghasilkan tebu. “Jadi, di dalam tebu tidak ada nira. Padahal kita tahu kalau kadar nira kurang, maka produksi turun,” kata Gamal.

Berdasarkan taksasi Maret 2014, produksi tebu tahun 2014 diperkirakan sebanyak 2.930.267 ton atau  mengalami peningkatan 14,86%  dibandingkan produksi tahun 2013 sebanyak 2.551.024 ton. Sedangkan rendemen diperkirakan 8,07% atau terjadi peningkatan 12,40% dibandingkan rendemen tahun 2013 sebesar 7,18%.

Data laporan pabrik gula tentang realisasi produksi gula yang masuk ke Sekretariat DGI periode sampai dengan April 2014, tercatat produksi gula Indonesia telah mencapai 101.595 ton. Rendemen rata-rata dibandingkan pada periode yang sama meningkat 1,33%, yaitu  realisasi  rendemen tahun 2014 sebesar 7,64% dibandingkan rendemen tahun 2013 sebesar 7,54%. Hal ini mengindikasikan bahwa tahun 2014 apabila cuaca mendukung akan terjadi kenaikan produksi gula nasional.

Tim pemantau rendemen

Untuk menyamakan persepsi proyeksi produksi gula, Kementerian Pertanian membentuk Tim Pemantau Rendemen. Tim ini bertugas melakukan pengawalan/pemantauan rendemen tebu mulai dari tahap panen (tebang), di mana tim mencatat potensi rendemen tebu yang ada di lapangan, sampai berapa rendemen tebu setelah sampai meja tebu sebelum tebu diolah. Hal ini untuk mengetahui berapa kehilangan potensi rendemen selama tebang-muat-angkut-antre di emplasemen PG sampai dengan tahap pengukuran rendemen di meja tebu PG (sebelum diolah). Selanjutnya diukur berapa rendemen tebu setelah menjadi gula.

“Jadi, kehilangan potensi rendemen pada setiap tahapan dapat diketahui, dan data ini penting untuk mengetahui di mana simpul-simpul kritis yang perlu dibenahi/diperbaiki, sehingga tidak ada lagi saling menyalahkan antara on-farm dan off-farm,” papar Gamal.

Tim yang diterjunkan mulai tahun 2014 ini terdiri dari Perguruan Tinggi, Wakil Petani Tebu, Pabrik Gula (PG) yang mengolah tebu petani atau yang bermitra dengan petani tebu, Dinas Provinsi dan Kabupaten/Kota yang Membidangi Perkebunan, dan Petugas Pendamping.

“Tim tersebut juga akan merangkul baik petani maupun pabrik gula. Sehingga semua pemangku kepentingan dapat terwakili,” ujar Gamal.

Diakui Gamal, selama ini sering terjadi ketidaksesuaian rendemen tebu di tingkat petani dengan di pabrik gula karena kedua pihak menggunakan alat ukur yang berbeda. Petani mengklaim, rendemen tebunya tinggi dengan harapan harga jualnya tinggi. Sementara di sisi lain Pabrik Gula menilai tingkat rendemen tebu petani rendah. Karena itu, dia berharap pembentukan tim akan menengahi silang pendapat antara petani dengan PG.

“Sasaran penilaian tingkat rendemen itu adalah 65 PG yang bermitra dengan petani. Kita harapkan, akhir tahun ini kita sudah terima laporannya,” tegas Gamal.

Sementara itu, Direktur Tanaman Semusim Ditjen Perkebunan, Nurnowo mengatakan, tim independen sudah bekerja menghitung rendemen tebu di PG Sumatera. Kemudian dilanjutkan PG di Jawa. Perhitungan dilakukan sampai musim giling selesai atau sampai akhir tahun.

“Hasil penelitian tim indepenen tersebut akan menjadi dasar kebijakan berikutnya apakah rendahnya rendemen tebu itu disebabkan pada masalah di on farm atau penggunaan varietas tanamannya,” katanya.

Nowo mengatakan, kondisi perkebunan tebu di lapangan memang memprihatinkan. Banyak usia tanaman yang sudah waktunya bongkar ratoon. Dia mencontohkan, di Jawa Barat ada yang sampai 10 kali dipanen tebunya. Selain itu, ada juga masalah terkait tebu yang ditebang dibiarkan sampai 3 hari di perjalanan. Padahal, kalau tidak cepat diolah, rendemen dipastikan turun.

Kebijakan harga

Terkait harga gula yang telah ditetapkan Kementerian Perdagangan, Gamal mengapresiasi penetapan tersebut. Meskipun tidak sesuai usulan, karena HPP ditetapkan tepat waktu menjelang panen.

Menurut Gamal, masalah penetapan HPP memang menyangkut banyak faktor, antara lain biaya produksi, keuntungan produsen, imbangan harga komoditi pangan lain, harga paritas impor, daya beli konsumen, keuntungan penyaluran, dan lain-lain. Domain pengaturanya juga menyangkut lintas sektor.

Mengacu hasil survey dan Rapat Pleno DGI, Menteri Pertanian selaku Ketua DGI  mengusulkan kepada Menteri Perdagangan nilai HPP gula petani tahun 2014 sebesar Rp9.500/kg. Namun demikian, Kemendag juga memiliki Tim Pengkajian, yang berdasar berbagai pertimbangan kemudian menetapkan HPP gula petani sebesar Rp8.250/kg.

“Pada hakikatnya HPP ini merupakan harga referensi, bukan harga sesungguhnya. Harga riil sendiri yang akan diterima petani adalah hasil lelang gula, sehingga meskipun HPP besarnya tidak seperti usulan, berdasarkan catatan beberapa tahun sebelumnya umumnya petani produsen memperoleh harga yang lebih tinggi dari HPP dan besarnya sangat tergantung dari kondisi pasar,” katanya.

Ke depan, Gamal berharap adanya pembenahan tataniaga gula oleh Kemendag sehingga faktor-faktor yang mendistorsi harga gula seperti rembesan gula rafinasi ke pasar dapat diatasi. Dengan demikian, petani dapat menerima harga gula yang wajar dan harga eceran pada tingkat konsumen dapat terjangkau oleh masyarakat luas. Karena selama ini sebagian besar marjin keuntungan yang ada dinikmati oleh pedagang/spekulan. E.Y Wijianti