Meski jauh hari dinilai keliru, namun ketika pemerintah akhirnya mengakui telah salah hitung, tak pelak cukup mengejutkan. Apalagi, pengakuan itu juga punya konsekuensi ke lembaga lain di pemerintahan yang bertanggung jawab melakukan penghitungan dan menghasilkan data sebagai basis kebijakan: Badan Pusat Statistik (BPS).
Pengakuan mengejutkan itu terjadi ketika pemerintah cq. Kementerian Pertanian (Kementan) menyebut telah terjadi salah hitung pada program swasembada daging. Padahal, program ini menjadi salah satu target andalan Kementan periode 2010-2014.
Menteri Pertanian Suswono mengatakan, program swasembada daging sapi meleset dari target yang telah ditetapkan. Salah satu alasannya, akibat perhitungan yang tidak valid alias salah hitung.
“Saya akui, kami (pemerintah) salah hitung soal swasembada daging sapi. Ketika sensus 2011, total volume mencapai 14,8 juta ekor sapi. Hitung-hitungannya (dari populasi tersebut) bisa mencapai sekian ribu ton (daging). (Namun) Dengan mengurangi impor, banyak sapi yang dipotong, bahkan yang betina juga dipotong,” ujar Suswono pada acara Chief Editor Meeting (CEM) di Subang, beberapa waktu lalu.
Itu sebabnya, pemerintah pun perlu melakukan koreksi. “Karena kalau sekarang dilepas, sapi boleh masuk berapa pun, namun harga ternyata nggak turun juga. Nah, siapa yang bermain, bisa dianalisa,“ tandasnya.
Menurut Suswono, selain masalah salah hitung, swasembada daging sapi juga terkendala masalah transportasi dan budaya. Transportasi ini menilik wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan yang membuat pemindahan sapi dari daerah sentra ke daerah konsumsi membutuhkan biaya yang sangat mahal.
Sementara mendatangkan sapi dari Australia ke Jakarta malah lebih murah dibandingkan jika mendatangkan sapi dari Nusa Tenggara Barat (NTB) ke Jakarta. Faktor budaya? Banyak peternak yang menjual hewan ternaknya saat sedang butuh uang dibandingkan saat harga tinggi. Misalnya, saat hajatan atau saat anak masuk ke sekolah. Selain itu, ada peningkatan volume peningkatan konsumsi akibat meningkatnya jumlah penduduk, kelas menengah dan naiknya tingkat pendapatan masyarakat.
“Kaitannya dengan penurunan populasi ternak berdasarkan sensus BPS, sebenarnya banyak daerah yang protes. Kalau data BPS tahun 2011 itu kan memang data untuk ternak sapi dan kerbau. Sedangkan data tahun 2013 lalu itu kan data seluruh produk pertanian. Soal akurasi data, banyak daerah yang mengeluhkan karena banyak peternak yang tidak memberikan data secara jujur. Peternak itu takut kena pajak. Tetapi karena data itu dari BPS, maka kita harus percaya. Karena itu, ke depan, kita minta agar dikaji ulang,” jelasnya.
Sudah sesuai kaidah
Pada kesempatan terpisah, Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan mengatakan, hitungan BPS sudah sesuai dengan kaidah yang benar. Hanya saja, kalkulasi swasembada daging berdasarkan populasi yang telah dirilis ternyata tidak sesuai dengan yang terjadi di lapangan.
Dia mengatakan, dasar yang dipakai adalah sensus BPS soal jumlah populasi sapi 2011 sekitar 14,8 juta ekor. Lalu dihitung potensi sapi yang bisa dipotong setiap tahun.
“Kita menggunakan model Cohort, diamati flow-nya sehingga ada potensi sapi yang bisa dipotong tingkat produksinya sekian mulai dari 2011-2015. Roadmap-nya kan sampai 5 tahun. Nah, ternyata apa yang diperhitungkan di dalam kalkulasi itu tidak seperti apa yang terjadi di lapangan,” ujar Wamentan yang juga mantan kepala BPS ini di kantornya, Jakarta, Senin (6/10).
Menurut Rusman, peternak sapi Indonesia bukan 100% business-based. Banyak peternak yang hanya hobi memelihara sapi hingga jumlahnya pun tidak banyak, sekitar 2-4 ekor saja. Padahal, Kementan berharap peternak bisa melakukan pemeliharaan berbasis bisnis, sehingga ada tahapan, yakni pada umur sekian dipotong serta ada penambahan sapi yang teratur. Peternak pun saat menjual sapi bukan karena faktor ekonomi, melainkan berdasarkan situasional.
“Pada tahun 2011, impor sapi dibatasi sampai 200.000 ton setara daging. Bahkan, 56% suplai daging dari impor dan sisanya dari nasional. Kemudian berdasarkan data BPS waktu itu, yang potensi jumlah sapi ada 14,8 jita ekor, impor sapi kembali dibatasi hingga dibawah 100.000 ton,” jelasnya.
Pidana
Dampak dari pembatasan impor tersebut ternyata tidak terduga. Harga sapi melambung dan memicu pemotongan sapi besar-besaran. Sapi yang terlalu muda dan beratnya di bawah 300 kg (berat hidup) pun ikut dijagal. Hal inilah yang membuat populasi sapi menurun dari 14,8 juta menjadi sekitar 13 juta ekor.
Yang menyesakkan, sapi betina produktif ikut dipotong. Padahal, berdasarkan UU No.18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, pemotongan sapi betina produktif, baik besar maupun kecil, diancam sanksi denda maupun pidana penjara.
“Kasus itu membuat kita prihatin, karena dengan progam swasembada malah tidak menaikkan populasi sapi. Namun, kita melakukan gerak cepat dengan mengeluarkan progam penyelamatan sapi betina produktif. Jadi, penurunan populasi itu adalah efek dari gencarnya pemotongan sapi karena harga bagus,” ujar Rusman.
Dia menambahkan, setelah importasi dilonggarkan aturannya, harga sapi tetap tidak menurun. Kemungkinan, daging impor otomatis masuk ke pasar dan ditahan oleh spekulan.
Ke depan, Rusman berharap kondisi pengaturan daging sapi lebih tertib melalui perubahan UU Pertenakan dan Kesehatan Hewan yang baru saja disahkan, kebijakan impor sapi dikembalikan ke sistem kuota atau paling tidak kombinasi kuota dan harga.
Kementan Yakin karena BPS
Meski mengakui adanya kesalahan, namun pembelaan juga tetap datang. Salah satunya dating dari Guru Besar Peternakan IPB, Prof. Muladno. Dia menilai, program swasembada daging dilakukan pemerintah dengan sangat hati-hati. Terbukti, pemerintah melibatkan banyak pakar perguruan tinggi dari awal program tersebut mulai dirumuskan.
“Pemerintah sudah sangat hati-hati dengan mengambil data dari sumber resmi dan akademisi. Jadi, semuanya tidak ada masalah. Masalahnya adalah, 98% sapi di Indonesia milik peternak kecil, yaitu sekitar 6,5 juta peternak. Dengan hitungan BPS, populasi sapi sebesar 14,8 juta ekor membuat Kementan yakin bahwa importasi bisa ditekan bahkan bisa swasembada dengan menekan impor hingga 10%. Tetapi nyatanya, kebutuhan tetap tidak tercukupi,” katanya pada Agro Indonesia.
Terkait kemungkinan swasembada daging sapi, Muladno masih tetap optimis swasembada bisa tercapai 15 tahun lagi. Asalkan pemerintah melakukan kebijakan yang revolusioner, yaitu memberikan pendidikan kepada peternak melalui Sekolah Peternak Rakyat. Selain itu, semua perguruan tinggi harus diterjunkan untuk melakukan pendampingan selama 4-5 tahun.
Menurut Muladno, triliunan rupiah menguap akibat impor sapi. Pasalnya, banyak bupati atau kepala daerah yang mau daerahnya bisa swasembada sapi. Sehingga banyak yang menyetok sapi dari NTB ke Kalimantan. Nah, masalahnya di sini, kepala daerah tidak membuat sapi tersebut beranak, tetapi hanya muter dari satu daerah ke daerah lain. Sementara, di sisi lain, sapi hanya menjadi aset.
“Jadi, sapi itu dijual kalau lagi nggak punya uang. Di Indonesia sebagian besar memelihara sapi untuk tabungan hidup keluarganya dan akan menjual sapinya di kala butuh uang,” kata dia.
Lebih lanjut dikatakan, swasembada daging bisa tercapai minimal pada tahun 2029. Itu pun jika pemerintah dapat menata usaha peternakan sapi. Penatakelolaan tersebut adalah dengan kemitraan antara peternak berskala kecil dengan pelaku usaha yang saling menguntungkan, yakni meningkatkan kinerja peternak dan produktivitas ternak melalui solusi bisnis.
Dia menjelaskan, untuk peternak berskala kecil, pemerintah harus mengajari peternak dan mengubah perilaku peternak menjadi paham bisnis. Dalam hal ini, bisnisnya bersifat kolektif, yaitu semua peternak memiliki saham dalam bisnis, tetapi dikelola dalam satu manajemen.
Saat ini, IPB telah menggagas Sekolah Peternak Rakyat (SPR) yang ditujukan bagi ketersediaan bibit maupun daging sapi di Indonesia dalam jangka panjang. SPR ini untuk memperbaiki kualitas maupun menambah kuantitas sapi di Indonesia.
“Jadi, konsep dasar dari SPR itu adalah dengan skema menempatkan “manajer” atau CEO. Sebagai contoh, jika di dalam satu kabupaten ada 1.000 ekor sapi induk, maka ada seorang manajer yang akan mengelola SPR dimaksud,” katanya.
Diharapkan, manajer itu bukan dari peternak, namun dari kalangan independen dengan kemampuan terkait bidang peternakan. Karena jika berasal dari kalangan peternak, maka bisa terjadi konflik kepentingan. “Sifat dari SPR adalah untuk pembangunan sektor peternakan dalam jangka panjang,” katanya.
Pada program SPR ini, pasar hewan harus beralih fungsi karena manajer peternak akan berhubungan langsung dengan mitra-konsumen. Sedangkan harga sapi dapat bersaing dengan keuntungan peternak semakin besar karena tidak ada perantara dalam tata-niaga perdagangan sapi. EY Wijianti