Ubah Semua Angka Statistik Sapi

Swasembada daging 2014 sudah dipastikan gagal, meski tidak ada pernyataan resmi dari pemerintah, terutama Kementerian Pertanian (Kementan). Kegagalan ini, seperti sudah diingatkan  jauh hari, nampaknya berawal dari salah hitung tentang populasi ternak sapi.

Sekjen Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Rochadi Tawaf mengatakan, pengakuan pihak Kementan soal salah hitung bukanlah hal yang mengejutkan. “Dari awal kami sudah pesimis kalau swasembada daging dapat dicapai tahun 2014,  karena kami lihat fakta di lapangan tidak mendukung terutama soal populasi ternak sapi. Untuk itu, kami pernah memberikan berbagai masukan kepada pemerintah,” katanya.

Menurut dia, jika Mentan sudah mengakui kesalahan, maka semua angka statistik yang terkait dengan sapi dan daging sapi harus diubah semua. Data hasil sensus pertanian tahun 2013 mencatat populasi sapi hanya sekitar 12,3 juta ton  atau turun dibandingkan hasil pendataan sapi potong, sapi perah dan kerbau yang dilakukan BPS tahun 2011 sebesar 14,8 juta ekor.

”Data BPS ini sepertinya tidak diakui Kementan. Justru data yang dipakai menteri adalah data Dirjen Pertenakan dan Kesehatan Hewan yang menyebut populasi sapi naik jadi sekitar 16 juta ekor,” katanya.

Dengan demikian, lanjutnya, maka semua statistik mengenai populasi sapi dan daging sapi harus dihitung ulang. Hal ini PR bagi Menteri Pertanian pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, untuk melakukan pembenahan mengenai populasi, kebutuhan dan produksi daging nasional.

Ketika ditanya sanksi apa yang perlu diberikan kepada Mentan, Dia menyebutkan sanksi secara politis memang tidak ada, sanksi sosial mungkin diberikan oleh masyarakat bahwa selama Suswono menjabat sebagai menteri gagal mencapai swasembada daging karena salah hitung populasi. “Tidak ada sanksi buat pemerintah. Kami hanya minta pemerintah segera merubah statistik yang ada,” katanya.

Noktah hitam

Sementara itu, Ketua PPSKI Teguh Boediyana mengatakan, bidang pertanian merupakan noktah hitam dalam pemerintahan SBY. Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada 12 Agustus 2014 menunjukkan, impor produk pertanian melonjak 400% selama 10 tahun terakhir. “Data tersebut dapat dikatakan sebagai indikator bahwa pembangunan bidang pertanian selama dua era Kabinet Indonesia Bersatu tidak berhasil,” kata dia di Jakarta.

Dia juga mengatakan, impor yang sangat mencolok adalah daging sapi. Pasalnya, dalam proyeksi yang disusun Kementan  seharusnya impor tahun ini hanya sekitar  9,7%  dari kebutuhan nasional atau setara sekitar  54,56  ribu ton daging sapi. Tetapi perkiraan PPSKI, impor daging sapi tahun 2014 mencapai 250.000 ton atau 45% kebutuhan nasional. Populasi sapi potong yang ditargetkan pada 2014  sebanyak 17,6 juta ekor juga tidak akan tercapai. Bahkan, hasil sensus pertanian BPS 2013, populasi  sapi potong hanya 12,6 juta ekor.

Menurut dia, jika mengacu dengan roadmap program swasembada daging sapi (PSDS) 2014, impor daging tahun 2014 seharusnya hanya 54,57 ribu ton atau 9,7% dari total kebutuhan dalam negeri. Sisanya dipenuhi dari sapi lokal sebanyak 507,06 ribu ton atau 90,3%.

Teguh mengatakan, pemerintah secara tidak langsung sudah mengindikasikan kegagalan swasembada melalui kebijakan ekonomi, di antaranya mengubah sistem kuota impor daging dengan sistem harga referensi.

“Menyikapi rencana kebijakan tersebut, ditambah dengan kebijakan tambahan yang ada, semakin tampak pemerintah tidak melakukan kajian yang mendalam dalam masalah perdagingan ini,” katanya.

Teguh mengatakan, awal tahun 2006 PPSKI telah mengingatkan pemerintah (Mentan) bahwa PSDS 2010 hanya retorika karena disusun dengan menggunakan angka-angka dan asumsi yang tidak akurat. “Ini terbukti swasembada daging 2010 gagal total karena salah kalkulasi populasi dan konsumsi. Selain itu, program-program tidak efektif dan tidak konsisten menjalankan blue print,” katanya.

Menurut dia, pada kurun waktu 2005-2010 seharusnya impor daging menurun. Fakta yang terjadi sebaliknya, impor daging sapi dan sapi bakalan malah naik signifikan. Puncak importasi daging sapi terjadi tahun 2009, di mana impor daging dan jeroan pada saat itu mencapai 120.000 ton dan sapi bakalan mencapai 760.000 ekor.

Namun, ketika pemerintah mencanangkan swasembada daging 2014, impor dipangkas secara drastis. Akibatnya, daging menjadi karut-marut yang berkepanjangan. “Sekarang ini pemerintah harus mengkaji ulang konsumsi dan populasi ternak sapi dengan menggunakan data yang akurat,” tegasnya. Jamalzen

Kementan Tidak Fair

Pengakuan Menteri Pertanian Suswono terjadinya salah hitung dalam penentuan kebijakan swasembada daging sebetulnya tidaklah mengejutkan. Itu hanya masalah waktu saja. Pasalnya, kalangan pengusaha sejak 2012 sudah memberi peringatan, yang terbukti dengan inkonsistensi sikap pemerintah soal pemberian kuota impor daging.

Salah satu orang yang mengingatkan pemerintah telah salah hitung adalah Ketua Asosiasi Pengusaha Protein Hewani (APPHI), Marina Ratna. “Pemerintah harusnya gentle  mengakui salah hitung. Tidak usah malu,” katanya seperti dimuat AgroIndonesia edisi 400 (8-4 Mei 2012).

Ternyata, butuh waktu dua tahun buat Suswono mengakui kesalahan itu. Sayangnya, pengakuan itu dilakukan di penghujung jabatan. Dan ini dianggap tidak fair oleh Marina karena sekadar mengakui salah hitung tapi tidak memikirkan efeknya. Berikut wawancara Agro dengan importir daging yang dikenal kerap berbicara blak-blakan dan enggan “bermain” dalam bisnis daging.

Bagaimana penilaian Anda soal kebijakan peternakan Kementan, terutama target swasembada daging 2014?

Kementan terlalu berani, bahkan sembrono, menargetkan swasembada daging 2014. Seharusnya Kementan paham arti swasembada dan menentukan kebijakan yang berhubungan dengan masyarakat tidak asal bicara.

Buat seorang menteri, ketika menyatakan suatu program yang dia yakini akan berhasil, seharusnya melihat ke dalam dulu. Mampukah lembaga yang dipimpinnya memenuhi target tersebut? Swasembada memang ringan dan mudah diucapkan, tetapi butuh kerja keras dan tim kuat untuk mencapainya.

Jadi, fair kah ketika target tak tercapai sekadar mengaku ada salah hitung, mengingat di lapangan efeknya terjadinya penurunan populasi?

Tidak. Jelas itu tidak fair jika dengan mudah dan ringannya hanya sekedar mengakui ada kesalahan hitung tetapi tidak memikirkan efeknya.

Apakah pemerintah bisa dimintai pertanggungjawaban hukum akibat salah kebijakan yang menimbulkan depopulasi, sementara rakyat bisa didenda bahkan dipidana jika memotong sapi betina produktif?

Harusnya pemerintah bertanggung jawab atas kebijakan yang telah diambil dan diputuskan. Kalau rakyat bisa dikenakan sanksi, apakah sanksi tidak diberikan kepada pejabat jika salah? Keseimbangan sanksi itu harusnya diberlakukan supaya pejabat tidak serta merta bertindak dan membuat kebijakan. Ilustrasinya begini. Jika seorang manager perusahaan membuat kebijakan dan kebijakan itu tidak berhasil serta merugikan perusahaan, maka manager tersebut harus berani mengatakan, “Ya saya gagal dan mengundurkan diri”. Nah, apalagi ini sebuah pemerintahan, yang berhubungan dengan masyarakat, di mana letak hati nurani dan sikap ksatria itu.

Kalau tidak salah, kalangan pengusaha sudah mengingatkan bahwa pemerintah salah hitung dalam kebijakan swasembada, bisa dijelaskan?

Berulang kali kami sudah mengingatkan hal ini, baik secara pribadi maupun kelompok (asosiasi), bahkan  secara langsung. Namun, mereka bergeming. Masalah ini mudah saja kok. Dengan melihat secara prinsip ekonomi saja, mudah dianalisa. Jika dalam negeri sudah bisa memenuhi kebutuhan daging sendiri, maka harga produk tersebut akan stabil dan cenderung murah. Faktanya? Harga daging dari hari ke hari malah terus meningkat dan mahal.

Sebetulnya, mampukah Indonesia swaembada daging sapi?

Mampu, tapi dengan catatan. Pemerintah dan pengusaha secara bersama mau mewujudkan hal itu. Tapi peran terpenting tetap di pemerintah. Jika pemerintahnya serius dan mau kerja keras, tidak sekadar pencitraan dan asal pimpinan senang, tapi berorentasi pada keberhasilan demi masyarakat dan rakyat, maka swasembada akan terwujud. Yang harus digaris-bawahi, Indonesia sangat kaya, tapi orang-orangnya bermental kurang baik. Jamalzen