Keputusan Menteri BUMN Rini Mariani Soemarno soal permintaan izin impor gula mentah (raw sugar) untuk PTPN X menuai kontroversi dan memicu perpecahan di kalangan petani tebu. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) yang biasanya solid ternyata terpecah.
Simak saja pernyataan Ketua Dewan Pembina DPP Asosiasi Petani Tebu Republik Indonesia (APTRI) Arum Sabil ataupun Ketua Umum DPP APTRI, Abdul Wachid. Keduanya malah menganggap wajar dan biasa saja PTPN X diberi izin impor gula mentah sebesar 381.000 ton untuk menunjang jaminan rendemen petani 8,5%.
DPP APTRI, kata Arum Sabil, tidak mempermasalahkan karena impor raw sugar untuk mengatasi idle capacity oleh pabrik gula di bawah BUMN sudah berjalan puluhan tahun. “Jaminan rendemen 8,5% merupakan salah satu dari bagian memberikan kepastian nilai ekonomi bagi petani tebu,” ujarnya, akhir pekan lalu.
Menteri BUMN Rini Mariani dalam suratnya bernomor S-288/MBU/2016 tanggal 12 Mei 2016 yang ditujukan kepada Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Pertanian menyatakan, sesuai dengan hasil rapat koordinasi terbatas tanggal 29 April 2016 yang dipimpin Menko Perekonomian disepakati, dalam rangka akselerasi peningkatan produksi gula menuju swasembada gula, khususnya gula konsumsi, diperlukan adanya kebijakan strategis dengan meningkatkan kesejahteraan petani tebu agar termotivasi untuk lebih berpartisipasi menanam tebu.
Kebijakan strategis itu adalah dengan memberikan jaminan pendapatan kepada petani tebu setara dengan rendemen 8,5%. Daya beli masyarakat ditingkatkan dengan melalui jaminan stabilisasi harga gula di tingkat konsumen sebesar Rp10.500-Rp11.000/kg.
Guna menunjang kebijakan tersebut, maka Menteri BUMN minta supaya PTPN X diberi ijin raw sugar impor sebanyak 381.000 ton yang akan dialokasikan untuk PTPN IX 41.000 ton, PTPN X 115.000 ton, PTPN XI 100.000 ton, PTPN XII 25.000 ton, PT PG Rajawali I 48.000 ton dan PT PG Rajawali II 52.000 ton.
Menyogok
Namun, suara berlawanan dilontarkan Ketua Umum Andalan Petani Tebu Republik Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen. Dia menilai kebijakan yang diterapkan pemerintah dengan mengimpor 381.000 ton raw sugar tidak mendidik petani dan terkesan menyogok petani tebu rakyat.
“Petani sengaja diberi rendemen 8,5 persen. Ini tidak mendidik,” ujarnya kepada Agro Indonesia, akhir pekan lalu. Menurut Soemitro, pihaknya adalah yang sah memegang nama APTRI, yakni Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia, sesuai keputusan Kemenhuk HAM karena penggunaan asosiasi tidak ada lagi.
Soemitro mengatakan, sebaiknya impor raw sugar dilakukan setelah taksasi gula diterbitkan. “Taksasi produksi gula giling tahun 2016 secara riil baru diketahui sekitar bulan Agustus 2016 pada saat puncak musim giling, sehingga akan diketahui stok gula cukup apa tidak,” katanya.
Dia juga menegaskan, dalam Sarasehan Persiapan Giling Tebu 2016 yang digelar di Graha Kebon Agung, Surabaya, Jawa Timur, beberapa waktu lalu disimpulkan bahwa impor raw sugar belum perlu.
Selain itu, APTRI juga mempertanyakan dasar perhitungan kebutuhan impor raw sugar 381.000 ton yang tidak jelas. “Sehingga kami khawatir stok gula tahun 2016 melebihi kebutuhan dan dampaknya harga gula turun, lebih-lebih pada awal tahun 2016 ada impor gula PPI sebanyak 200.000 ton,” katanya.
Menurutnya, akar masalah rendemen rendah dikarenakan pabrik gula, terutama berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tidak efisien. “Hal ini terbukti, pabrik gula yang efisien rendemennya bisa di atas 8,5%. Sehingga, yang perlu dilakukan adalah memperbaiki kinerja pabrik gula agar efisien,” papar Soemitro.
Kebijakan impor raw sugar untuk mengatasi idle capacity mestinya ditempuh ketika produksi gula nasional lebih rendah dibanding konsumsi nasional. Atau, pabrik gula kekurangan bahan baku. Persoalannya kemudian, pabrik gula yang tidak efisien akan ditinggalkan petani sehingga praktis kekurangan tebu. “Akan lebih baik pabrik gula yang tidak efisien itu direvitalisasi total, bukan malah menggiling raw sugar,” kata Soemitro.
Keuntungan dari hasil mengolah raw sugar bagi pabrik gula yang tidak efisien akan habis untuk menjamin rendemen kepada petani. Jadi, tidak mungkin dari keuntungan mengolah raw sugar itu untuk merevitalisasi pabrik gula. “Pada prinsipnya kami para petani sangat mendukung jaminan rendemen 8,5% tanpa embel-embel kompensasi impor raw sugar,” jelasnya.
Untuk mengatasi gejolak harga dan pasokan, Soemitro meminta pemerintah lebih fokus pada kebijakan intensifikasi dengan memperbaiki waduk, infrastruktur, penyediaan pupuk.
Saat ini di Indonesia terdapat sekitar 400.000 petani tebu yang tergabung dalam 150.000 kelompok dengan produksi 47.000 ton tebu. Soemitro yakin jika saja pemerintah bisa memberikan daya tarik kepada petani tebu, maka minimal akan ada tambahan 150.000 hektare lahan tebu baru yang berasal dari kelompok petani tebu.
“Dengan bertambahnya luas areal tebu, maka produksi juga akan bertambah. Apalagi jika rendemennya ditingkatkan,” paparnya.
Permainan harga
Sementara itu, Gubernur Jatim Dr H Soekarwo segera berkirim surat kepada Menteri BUMN dan Menko Perekonomian yang isinya mempertanyakan kenapa pabrik gula mengambil keuntungan terlalu tinggi. Akibatnya, harga gula di pasar sejumlah daerah di Jatim melonjak hingga Rp17.000/kg.
“Saya tidak setuju kalau perusahaan negara seperti BUMN mengambil keuntungan terlalu tinggi. Fungsi BUMN itu tidak seperti itu. Kalau pabrik gula menjual harga terlalu mahal, pasti harga jual di pasaran juga akan mahal. Ini tentu sangat memberatkan masyarakat,” kata Gubernur Soekarwo ditemui di Kantor Gubernur Jatim, pekan lalu
Menurut dia, dalam surat yang bakal dikirim tersebut bukan sekadar menanyakan pada umumnya. Tapi lebih dari setengah penegasan apakah elok perusahaan BUMN mengambil untung terlalu besar, tapi sangat membebani masyarakat. Sebab, setelah dia urut, permasalahan mahalnya harga gula justru ada di pabrik gula.
Gubernur Soekarwo mencium adanya permainan harga yang dilakukan pabrik gula dengan cara menjual ke distributor pertama dengan harga sangat mahal, yakni mencapai Rp13.800/kg. Untuk itu, jika pabrik gula menjual Rp13.800/kg ke distributor pertama, maka harga gula di pasaran bisa dipastikan akan lebih dari Rp15.000/kg. Apalagi, distributor gula biasanya mencapai empat hingga lima lapis, sehingga harga gula sampai ke konsumen akan bertambah mahal.
Menurut dia, tindakan yang dilakukan perusahaan BUMN dengan menjual harga gula terlalu tinggi ini bisa masuk ranah tindakan pidana ekonomi. Sebab mereka mengambil keuntungan di tengah kesulitan pasar.
“Dalam pertemuan dengan pengusaha gula dan pabrik gula saya mengundang Kapolda agar penegak hukum mengambil langkah yang dibutuhkan,” tutur Pakde Karwo, sapaan lekat Gubernur Soekarwo.
Periksa harga
Sementara itu, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Jatim mulai melakukan pemantauan di sejumlah gudang. Mereka memeriksa harga dari produsen ke distributor pertama. Selanjutnya mereka juga memantau perubahan harga dari distributor kedua dan ketiga, hingga sampai ke pedagang. “Kuncinya ada di harga lelang dari produsen ke distributor pertama,” kata Kepala Disperindag Jatim, Dr M Ardi Prasetiawan MEng SC, ME.
Menurut Ardi, kenaikan harga gula dalam sebulan terakhir melebihi batas normal. Antara April-Mei, kenaikan mencapai lebih dari 20%. Karena itu, pihaknya akan memantau mulai dari ketersediaan barang, harga beli, hingga harga jualnya.
Untuk sementara waktu, Disperindag menyediakan gula murah dengan harga Rp12.000/kg dari kegiatan pasar murah. Kegiatan yang diadakan hingga H-3 Lebaran itu menyediakan gula putih dari Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). “Supaya masyarakat tidak panik, gula PPI ada kok, harganya murah,” tuturnya.
Selain itu, mulai Minggu (29/5) juga akan diadakan kegiatan operasi pasar serentak di 78 pasar se-Jatim. Kegiatan dibuka oleh Gubernur Jatim Soekarwo di Gedung Negara Grahadi. Di sana juga akan diadakan operasi pasar sejak pukul 06.00.
Tingginya harga gula saat ini juga menjadi fokus perhatian pemerintah pusat. Kemarin tim dari Kementerian Perdagangan terjun langsung ke pasar di Surabaya. Menurut pantauan mereka, stok gula di pasaran sebenarnya masih aman.
Tingginya harga di pasaran meski stok dinyatakan aman menjadi bahan evaluasi tersendiri bagi tim Kemendag di pemerintah pusat. Menurut mereka, perlu diadakan pengecekan hingga ke tingkat distributor. “Info harga tergantung distributor. Sedangkan pasar merupakan pengecer terakhir,” ujar Kepala Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Kasan saat ditemui di Pasar Tambakrejo.
Kasan mengatakan, sebelumnya Kemendag sudah menggelar rapat untuk membahas penanganan harga menjelang Ramadan. Hasil rapat itu ditindaklanjuti dengan pemantauan langsung harga kebutuhan pokok di pasaran. Mereka menghimpun informasi jika terjadi gejolak harga.
Menurut Kasan, dengan stok yang mencukupi, seharusnya harga gula mulai turun ke posisi normal. Namun, hingga saat ini rupanya masih bertahan di angka yang sama dengan sebulan terakhir. Bahkan belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Padahal sudah dilakukan kegiatan pasar murah untuk menstabilkan harga. Elsa Fifajanti/B Wibowo