SUNK COST EFFECT PERCEPATAN PERIZINAN

Pabrik kelapa sawit
Hariadi Kartodihardjo
Hariadi Kartodihardjo

Oleh: Hariadi Kartodihardjo (Guru Besar Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor)

Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 tahun 2018 mengenai Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (online single submission/OSS) sangat penting, dan diharapkan dapat menghapus masalah yang sudah lama berlangsung, yaitu lambatnya proses perizinan penanaman modal dan berusaha, besar maupun kecil.

Namun peraturan itu nampak belum cukup mewadahi perbaikan tata kelola yang mestinya juga menjadi prioritas, khususnya bagi perizinan pemanfaatan sumber daya alam. Pada kondisi tata kelola yang buruk (bad governance), fungsi-fungsi peraturan, kelembagaan maupun otoritas-otoritas resmi yang seharusnya berperan, umumnya tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dan lingkungan hidup biasanya yang menjadi korban.

Saat ini, hambatan berusaha, sungguh menghadapi hal demikian itu. Hasil beberapa kajian tata kelola perizinan menunjukkan bahwa perbaikan peraturan-perundang-undangan yang mengesampingkan buruknya tata kelola, umumnya pelaksanaannya kurang efektif (UNDP, 2013, 2015; Litbang KPK, 2013, 2015, 2017; Kartodihardjo, 2018).

Perizinan pemanfaatan sumber daya alam sampai kini masih banyak mengalami konflik hak (legal rights) antar perizinan, ataupun konflik dengan ruang hidup masyarakat adat dan lokal, menyeberang ke kawasan-kawasan yang dilarang oleh Undang-undang, berada di lokasi-lokasi yang sudah dilampaui daya dukungnya, bahkan korupsi perizinan di sektor ini masih tinggi. Di lapangan, akses (ability to use resources) terhadap sumber-sumber ekonomi bagi usaha kecil, di luar ataupun di dalam lingkup kebijakan pemerintah, seperti perhutanan sosial, juga mengalami hambatan.

Memotong Prosedur

Prosedur yang selama ini berjalan, yaitu dokumen Amdal atau RKL-RPL disahkan terlebih dahulu, baru kemudian calon investor dapat memperoleh Izin Lingkungan. Dalam PP No. 24/2018, izin usaha yang didasarkan pada izin lokasi, izin lokasi perairan, izin lingkungan dan/atau izin mendirikan bangunan (IMB), dapat diberikan berdasarkan komitmen investor (Pasal 32). Tetapi apabila pelaku usaha itu tidak memenuhi komitmen tersebut, izin usaha yang telah diperoleh akan dibatalkan (Pasal 40).

Demikian pula, ketidak-layakan lingkungan hidup yang direkomendasikan oleh Komisi Penilai Amdal dapat dijadikan argumen kegagalan pemenuhan dokumen Amdal maupun pembatalan Izin Lingkungan (Pasal 60). Komitmen yang dimaksud yaitu disahkannya dokumen RKL-RPL atau Amdal (Pasal 50). Meskipun begitu, kebijakan percepatan perizinan ini juga memungkinkan pelaku usaha dapat mengerjakan pengadaan tanah sebelum Amdal disahkan (Pasal 38).

Izin lokasi yang disebut di atas digunakan untuk memohon pertimbangan teknis pertanahan, dan Kantor Pertanahan setempat akan memberikan pertimbangan teknis paling lama 10 hari, dan apabila melewati batas waktu itu dianggap menyetujuinya (Pasal 33). Terkait dengan penetapan lokasi tersebut, Rencana Detail Tata Ruang untuk Kawasan Industri dibuat dalam waktu paling lama 6 bulan (Pasal 44), dan Pemda harus menyerahkan peta digitalnya kepada Lembaga OSS yang akan dibentuk (Pasal 45).

Risiko Pelaksanaan

Pelaksanaan PP, yang sudah berlaku mulai 21 Juni 2018 itu, berpotensi menghadapi sejumlah risiko. Pertama, dalam praktik selama ini, studi Amdal dan Izin Lingkungan disahkan bersamaan atau bahkan setelah konversi hutan, bangunan berdiri ataupun pembebasan lahan dilakukan. Kelemahannya, Amdal dan Izin Lingkungan tidak ditempatkan sebagai bagian dari kajian kelayakan usaha, yang dapat menentukan berjalan tidaknya usaha itu. Dalam PP ini bahkan hal seperti itu ditegaskan posisi lemahnya, karena studi Amdal hanya sebagai komitmen, dengan beberapa kegiatan dapat berjalan terlebih dahulu.

Kedua, dengan pengesahan studi lingkungan sebagai komitmen, berpotensi menghadirkan sunk cost effect. Walaupun izin usaha dapat dicabut apabila komitmen tidak dijalankan atau usaha itu dinyatakan tidak layak lingkungan hidup, investasi yang sudah terlanjur ditanamkan (sebagai sunk cost) seperti yang selama ini terjadi, cenderung akan diteruskan, walaupun diketahui akan mempunyai dampak buruk.

Konsep sunk cost itu didasarkan pada sifat manusia yang cenderung menghindari mengakhiri kesalahan, dan akan terus menghabiskan waktu dan biaya untuk mencoba memperbaiki apa yang sudah terlanjur salah—walaupun diketahui hal itu tidak layak dalam jangka panjang; daripada menghentikannya, kemudian membuat yang baru dan melanjutkannya (Arkes dan Blumer, 1985). Dicontohkan dalam konsep itu, banyak orang tetap akan menghadiri pertunjukkan drama atau pertandingan olah raga walaupun sakit, hanya karena tiket sudah terlanjur dibeli (sebagai sunk cost). Dan semakin besar nilai sunk cost, ironinya, risiko kerugian yang akan dialami semakin diabaikan.

Contoh nyata terjadinya sunk cost effect dalam perizinan sumber daya alam yaitu keterlanjuran penggunaan hutan negara untuk tambang serta kebun kelapa sawit jutaan hektare tanpa izin (KPK, 2015; Auriga, 2018), atau investasi-investasi bangunan besar di perkotaan, walaupun mempunyai dampak negatif lingkungan hidup sangat besar dan tidak sesuai dengan rencana tata ruang, tetap tidak dicabut izinnya.

Ketiga, substansi Amdal ditempatkan cukup strategis dan dapat membatalkan Izin Usaha, pada kondisi proses penyusunan dan penetapan Amdal yang masih rentan. Dari evaluasi data KLHK (2017) ditunjukkan bahwa dalam pelaksanaan Amdal, terdapat 31 titik potensi kelemahan dan hanya 25% sampai 37% dokumen Amdal berkualitas baik dan memenuhi syarat. Dengan kata lain, masih banyak potensi penyimpangan dalam penyusunan dan pengesahannya.

Keempat, batas waktu 10 hari bagi Kantor Pertanahan untuk memberi izin lokasi dapat menjadi titik kritis. Karena, apakah hal itu dapat dipenuhi atau tidak, verifikasi lokasi-lokasi di remote area seringkali tidak menyelesaikan benturan dengan masyarakat lokal atau adat atau diselesaikan dengan cara kekerasan, bahkan cenderung sebagai ajang transaksi. Terkait dengan hal itu, kebijakan ini juga tidak menegaskan disinsentif bagi pejabat yang kemudian diketahui ada kesalahan atas pemberian rekomendasi izin lokasi tersebut. Dalam hal ini, kebenaran informasi yang dituntut serta penyimpangan pengambilan keputusan yang harus dihindari, nampak belum akan dapat diwujudkan dengan instrumen kecepatan teknologi daring yang akan diterapkan.

Kelima, kebijakan ini diharapkan dapat membenahi administrasi perizinan yang rumit, dan sebaiknya pemberi izin menginformasikan lokasi izin-izin tunggal kepada Lembaga OSS yang akan dibentuk. Informasi itu diharapkan mengurangi kelemahan evaluasi untuk mengetahui distribusi dan penyebaran izin semua sektor dalam bentang alam yang sama, agar diketahui beban kerusakan atau pencemaran lingkungan hidup termasuk potensi konflik sosialnya.

Mitigasi Risiko

Untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi melalui percepatan perizinan dan perlindungan lingkungan hidup, dengan memperhatikan kondisi tata kelola perizinan yang umumnya masih buruk, dalam pelaksanaan PP ini diperlukan peningkatan integritas dan akuntabilitas dalam pemberian izin lokasi, izin lokasi perairan, izin lingkungan, IMB maupun penguatan peran studi dampak lingkungan. Keterbukaan informasi mengenai proses-proses perizinan serta dampak penting proyek bagi publik perlu diwujudkan.

Dalam pelaksanaan kebijakan ini, secara khusus perhatian perlu dicurahkan pada pelaksanaan komitmen pelaku usaha, penyusun Amdal serta Komisi Penilai Amdal. Karena selama ini hubungan ketiganya telah diketahui cenderung diliputi konflik kepentingan, dan cenderung melemahkan perlindungan lingkungan hidup