Subsidi pupuk tahun 2023 kemungkinan akan dihapus dan hanya menyisakan dua jenis pupuk, yakni urea dan NPK. Sementara pupuk jenis ZA, SP-36 dan pupuk organik tidak lagi disubsidi.
“Tapi kita masih menunggu keputusan Panitia Kerja (Panja) Pupuk Komisi IV DPR. Jika Panja Pupuk belum memutuskan, maka subsidi pupuk tahun depan tetap seperti tahun 2021,” ungkap Direktur Pupuk dan Pestisida, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Muhammad Hatta.
Dia menyebutkan, pembahasan tim Panja Pupuk Subsidi Komisi IV DPR dan Ombudsman sudah dilakukan. Banyak hal yang perlu diperbaiki seperti masalah data, luas lahan penerima, komoditas prioritas dan jenis pupuk yang disubsidi.
“Alternatif jenis pupuk yang disubsidi urea dan NPK. Jika Panja Pupuk Komisi IV DPR sudah ketok palu, maka tahun depan subsidi pupuk hanya untuk dua jenis ini,” kata Hatta saat Webinar Perbaikan Tata Kelola Pupuk yang diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian, Jumat (29/10/2020).
Dia menyebutkan, jika Panja Pupuk DPR menyetujui, maka perlu waktu untuk menyusun rencana kerja anggaran dan sosialisasi kepada petani. “Kemungkinan kebijakan subsidi pupuk untuk jenis urea dan NPK diterapkan tahun anggaran 2023,” tegasnya.
Disebutkan Hata, masalah pupuk subsidi kini tengah dalam pembahasan intensif untuk merumuskan tata kelola pupuk subsidi. Diharapkan mekanisme baru sudah bisa ditetapkan pada November agar bisa diterapkan pada tahun 2022.
Seperti diketahui, dalam lima tahun terakhir kebutuhan pupuk untuk petani mencapai 22,57-26,18 juta ton atau senilai Rp63-65 triliun. Namun, di sisi lain, dengan keterbatasan anggaran pemerintah, alokasi yang bisa disiapkan hanya 8,87-9,55 juta ton dengan nilai anggaran Rp25-32 triliun.
Dengan keterbatasan anggaran tersebut, kata Hatta, banyak masalah yang timbul terkait subsidi pupuk. Setidaknya ada lima potensi masalah, yakni perembesan antarwilayah, isu kelangkaan pupuk, mark up Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk di tingkat petani, dan alokasi menjadi tidak tepat sasaran.
“Dampak lebih lanjutnya, produktivitas tanaman menurun, karena petani tidak menggunakan tepat waktu dan jumlahnya,” katanya.
Hatta menjelaskan, selama ini dalam tata kelola pupuk terbagi dalam lima kegiatan. Pertama, perencanaan. Perencanaan menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian, terutama dalam penyusunan RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) oleh kelompok tani yang didampingi penyuluh, termasuk menginput data, verifikasi, validasi melalui sistem e-RDKK.
“Dalam perencanaan dilakukan pertemuan nasional penetapan kebutuhan pupuk. Kemudian penyusunan Permentan tentang HET dan alokasinya,” kata Hatta.
Kedua, pengadaan dan penyaluran pupuk oleh Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) dari Lini I-II-III-IV-Petani (yang terdaftar padai sistem e-RDKK) sesuai Permendag No. 15/2013. Ketiga, supervisi, monitoring dan pengawasan dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkat Kecamatan, Kabupaten Propinsi dan Pusat, Pengawasan oleh Tim KP3 (Unsur Dinas dan aparat hukum).
Keempat, verifikasi dan validasi penyalur. Kegiatan ini dilakukan secara berjenjang oleh Tim Verval mulai dari tingkat Kecamatan, Kabupaten, Provinsi hingga Pusat melalui Dashboard Bank (Kartu Tani) dan sistem e-Verval (KTP) berbasis android/T-Pubers.
Kelima, pembayaran. PT PIHC mengajukan usulan pembayaran dilengkapi dokumen sesuai persyaratan. Namun, sebelumnya dilakukan verifikasi dokumen dan lapangan (sampling) oleh Tim Verval Kecamatan sampai Pusat. “Nah pengajuan pembayaran ke KPPN,” ujarnya.
“Dari gambaran tata kelola tersebut, Kementerian Pertanian tidak sendiri mengurus pupuk. Perencanaan Kementan, penyaluran PIHC, verifikasi dan monitoring dibantu pemerintah daerah. Pembayaran di Kementerian Keuangan. Tugas kami adalah perencanaan sampai ke petani,” tutur Hatta.
Dua Opsi Kebijakan Pupuk Subsidi
Sementara itu, di tempat terpisah, Deputi bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian, Musdalifah Machmud mengatakan, pemerintah telah menyiapkan dua opsi transformasi kebijakan subsidi pupuk.
Opsi pertama, tahun 2022 tetap menggunakan subsidi input/subsidi harga. Namun, kementerian melakukan perbaikan data e-RDKK, sehingga subsidi langsung pupuk dapat dilakukan pada tahun 2023.
Opsi kedua, tahun 2022-2023 tetap melaksanakan subsidi input/harga. Namun kementerian terus melakukan perbaikan data e-RDKK sehingga subsidi langsung pupuk dapat dilakukan pada tahun 2024.
“Dua opsi transformasi tersebut diharapkan bisa mengatasi segala persoalan dalam pemberian subsidi pupuk,” katanya. Musdalifah menambahkan, dari hasil rumusan tim Pokja, transformasi kebijakan pupuk merupakan sebuah keniscayaan.
Menurut Musdalifah, perubahan skema kebijakan perlu disesuaikan dengan kebijakan pemerintah lainnya, khususnya anggaran pemerintah dan RPJMN. Selain itu, perbaikan tujuan dan target pupuk bersubsidi perlu dipertimbangkan berdasarkan regulasi pemerintah.
Rumusan lain dari Pokja adalah pelaksanaan tata kelola pupuk bersubsidi agar dapat dilaksanakan secara efektif dan tepat sasaran, serta disesuaikan dengan perkembangan teknologi. “Optimalisasi penggunaan pupuk agar tidak berlebih dan merusak unsur hara harus melalui rekomendasi pupuk untuk setiap komoditas dan masing-masing lokasi,” katanya.
Dalam upaya perbaikan tata kelola pupuk subsidi, Musadalifah mengatakan, hasil kajian Pokja Pupuk Subsidi ada dua alterantif skema kebijakan. Pertama, subsidi harga/subsidi input.
Mekanismenya, pemerintah memberikan subsidi ke petani melalui produsen pupuk sebesar HPP (harga pokok produksi) dan HET (harga eceran tertinggi), sehingga petani dapat membeli pupuk sesuai HET yang pemerintah tetapkan.
“Untuk mekanisme ini perlu perbaikan tata kelola terkait data penerima, sistem informasi penerima, distribusi pupuk dan implementasi kartu tani,” ujarnya.
Alternatif kedua, lanjut Musdalifah, bantuan langsung pupuk. Nantinya dana subsidi di-inject ke Kartu Tani atau kupon yang diberikan langsung ke petani. Kemudian petani menambah pembayaran atas kekurangan terhadap harga pupuk.
Untuk itu, perlu mitigasi ketersediaan pupuk di daerah remote (pelosok), karena terkait margin keuntungan perusahaan pupuk. Selain itu, pemberian subsidi melalui nominal yang ter-inject dalam Kartu Tani hanya dapat digunakan untuk membeli pupuk. “Yang pasti, perlu kajian terkait mekanisme pemberian pupuk,” ujarnya
Bertahap
Dewan Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) menilai penghapusan subsidi pupuk bukan jalan yang terbaik. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan secara menyeluruh (transformasi) kebijakan subsidi pupuk, salah satunya dialihkan secara bertahap anggaran subsidi kepada instrumen lainnya.
“Bicara subsidi pupuk, kita harus melihat secara komprehensif,” tegas Ketua Adhoc Focus Group Disscusion (FGD) Transformasi Subsidi Pupuk yang juga Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Prof. M. Firdaus.
Dia mengakui, dalam jangka pendek subsidi pupuk memang diperlukan dan tidak mungkin menghentikannya segera.
Karenanya, bersama Dewan Guru Besar (DGB) IPB, Firdaus menilai lebih baik dilakukan pengalihan bertahap anggaran subsidi pupuk pada instrumen lain seperti subsidi harga pangan pokok, direct income dan mendukung subsistem agribisnis seperti irigasi, asuransi, ICT, peningkatan SDM Petani dan lainnya.
“Boleh saja subsidi pupuk tidak ada, tetapi bisa saja sebagian besar (anggarannya) dialihkan ke harga keekonomian gabah. Misalnya, jika harga gabahnya Rp4.000/kg, tetapi untuk membantu petani, gabah dibeli Rp7.000/kg,” tuturnya.
Dia mengakui, untuk melakukan pengalihan secara bertahap ini diperlukan grand design jangka pendek maupun jangka panjang.
Hanya saja ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan menurut Firdaus, antara lain beberapa kementerian dan pihak independen (third party) sudah menyiapkan berbagai skenario pengalihan subsidi pupuk ke subsidi non input.
“Diperlukan meta analisis subsidi pertanian untuk menghasilkan peta jalan yang disahkan dengan payung hukum, salah satunya Peraturan Pemerintah,” jelasnya.
Firdaus menyebutkan, dari hasil diskusi sebanyak 5 seri yang dilaksanakan Dewan Guru Besar IPB, maka terdapat 10 rekomendasi yang diusung. Di antaranya, subsidi pupuk saat ini (jangka pendek) masih diperlukan untuk menjaga ketahanan pangan, termasuk menjadi instrumen pemberdayaan saat petani tidak memiliki akses pada kredit
Selain itu, secara bertahap perlu pengalihan anggaran subsidi pupuk ke instrumen lain, seperti subsidi harga pangan pokok; direct income dan mendukung susbsistem agribisnis: irigasi, asuransi, ICT, SDM petani dan lainnya. Sehingga, diperlukan grand design jangka pendek dan jangka panjang proses pengalihan.
Untuk efektivitas subsidi (6T), diperlukan kesepakatan dalam tujuan subsidi dan cakupan komoditas, sasaran dan validasi data petani penerima, validasi e-RDKK secara otomatis, ketepatan waktu perencanaan dan eksekusi di lapangan dan pengaturan distribusi secara terbuka. Cakupan komoditas dibatasi, misalnya hanya untuk petani pangan pokok (pajale).
Subsidi pupuk langsung harus diterapkan dengan meggunakan teknologi informasi. Untuk menjamin akses setiap petani (mengatasi kebocoran), maka aplikasi/kartu tani digital diterapkan secara masif. Pupuk dijual di pengecer dengan harga keeekonomian. PSP