Dan, Mentan pun Setuju Impor

Gerakan Nasional Peningkatan  Produksi dan Mutu (Gernas) kakao yang diluncurkan tahun 2009 sepertinya tidak ada arti terhadap peningkatan produksi kakao nasional, jika memang Kementerian Perdagangan (Kemendag) membebaskan bea masuk (BM) impor biji kakao.

Anehnya, kebijakan BM tersebut sepertinya disambut baik Menteri Pertanian Suswono. “Impor tersebut untuk memberikan kepastian bahan baku industri pengolahan kakao karena bahan baku dalam negeri belum cukup. Impor biji kakao masih memungkinkan asal jangan sampai menggangu harga kakao petani,” katanya.

Menurut dia, sampai sekarang ini belum ada pembahasan mengenai BM. Buktinya  Kementerian Pertanian (Kementan) belum pernah diajak rapat untuk membicarakan BM kakao. “Belum ada undangan dari Kemendag untuk membahas soal BM ini,” katanya.

Suswono menilai kebijakan pembebasan BM tersebut sifatnya sementara dan hanya untuk memenuhi kebutuhan industri saja. Jika produksi kakao petani mampu memenuhi kebutuhan industri, maka kebijakan BM ini bisa dikaji ulang atau dihentikan.

Impor biji kakao, lanjutnya, untuk menjaga jangan sampai industri melakukan pemutusan hubungkan kerja (PHK) karyawan. Selain itu, kata Mentan, harus dihitung betul berapa kekurangan kebutuhan industri tersebut. Hal ini penting untuk menghindari agar kakao impor tidak merusak harga kakao lokal.

Ketika ditanya Gernas kakao mampu meningkatkan produksi kakao dalam negeri, Suswono mengatakan,”Produksi Gernas Kakao belum mampu menopang kebutuhan industri,” katanya.

Gernas Kakao dilaksanakan sejak tahun 2009 dan mestinya berakhir tahun 2011. Namun, dengan berbagai pertimbangan, gerakan ini masih dilanjutkan sampai tahun 2012. Bahkan, mungkin sampai tahun 2014. Dana semula dialokasi untuk tiga tahun sebesar Rp3 triliun. Dana ini untuk merevitaliasi 450.000 hektare (ha) areal perkebunan kakao.

Namun, dari target yang semula hanya 3 tahun malah molor, yang konsekuensinya anggaran pun membengkak menjadi Rp3,2 triliun. Rinciannya, pada 2009 dianggarkan Rp500 miliar.  Tahun 2010 sebesar Rp1 triliun  dan pada 2011 sebesar Rp1,2 triliun, sedangkan tahun 2012  Rp500 miliar. Jadi, total anggaran Gernas Kakao sejak 2009-2012 tercatat Rp3,2 triliun.

Dari total areal tanaman kakao di Indonesia, seluas 1,8 juta ha terdapat tanaman yang belum menghasilkan (TBM) seluas 396.153 ha (25%), tanaman manghasilkan seluas 994.413 ha (60%) dan tanaman tua seluas  205.428 ha.

Melalui Gernas Kakao, maka dilakukan kegiatan peremajaan, intensifikasi, dan rehabilitasi. Peremajaan kakao dilakukan dengan bibit SE (somatic embryogenesis) yang dibagikan kepada petani. Salah satu tujuan dilakukan Gernas adalah untuk meningkatkan kualitas/mutu kakao petani serta meningkatkan produksi kakao nasional.

Ancam petani

Itu sebabnya, Dirjen Perkebunan Kementan, Gamal Nasir pun bereaksi keras. Pasalnya, jika BM impor kakao  dinolkan, maka harga kakao petani bakal anjlok, dan petani jelas menderita. “Jika harga jual kakao rendah, petani makin enggan melakukan penanaman kakao. Karena itu, kita minta Kemendag mempertimbangkan betul kebijakan BM ini jangan sampai merugikan petani,” katanya.

Menurut Gamal, isu BM kakao muncul karena ada permintaan industri yang tidak bisa dipenuhi dari dalam negeri. Padahal, berdasarkan data produksi kakao saat ini cukup tinggi. “Kita pernah kumpulan semua kepala dinas-dinas sentra produksi kakao. Setelah kita hitung dengan cermat, produksi kakao kita sekitar 900.000 ton sampai 1 juta ton,” katanya.

Dengan produksi tersebut, lanjut Gamal, Indonesia termasuk  produsen kakao terbesar dunia setelah Ghana yang produksinya sekitar 700.000-800.000 ton dan Pantai Gading sekitar 760.000 ton.

Gamal menganggap perbedaan data antara Ditjenbun dan Perindustrian membuat kebijakan tidak transparan karena masing-masing pihak memiliki kepentingan. “Khusus untuk BM impor kakao, jika benar ada pembebasan, maka itu akan sangat merugikan para petani,” tegasnya.

Ketika ditanya pembebasan BM impor kakao akibat gagalnya Gernas Kakao, Gamal menampik. Menurut dia, Gernas Kakao hanya menggarap 26% dari total luas lahan kakao di Indonesia. Kontribusi Gernas Kakao terhadap produksi kakao nasional mencapai 30%.

Menurut dia, Gernas Kakao sudah memberi kontribusi terhadap produksi kakao nasional.  Produksi kakao tahun 2013 tercatat sebanyak 777.537 ton. Dari jumlah ini, sekitar 30% berasal dari produksi Gernas.

“Kalau kita lihat dari produksi kakao nasional, maka kontribusi produksi dari program Gernas tidak terlihat nyata, karena memang areal Gernas hanya 460.000 ha atau 27% dari luas areal kakao nasional 1,7 juta ha,” katanya.

Dia mengatakan, kontribusi program Gernas Kakao terhadap produksi kakao nasional masih sangat kecil atau sekitar 30% dari produksi nasional. “Tapi kontribusi produksi Gernas tiap tahun terus meningkat,” tegasnya.

Dia mengatakan, tahun pertama setelah Gernas kakao dilaksanakan, yaitu 2010, kontribusi produksi gernas hanya 4,6% dari produksi kakao nasional sebesar 837.919 ton. Tahun 2011 kontribusi produksi Gernas kakao naik menjadi 12,2% dari produksi nasional yang mencapai 712.230 ton.

Tahun 2012, kontribusi produksi Gernas kakao meningkat lagi menjadi 20,8% dari produksi nasional yang mencapai 740.513 ton dan tahun 2013 produksi kakao nasional tercatat 777.537 ton. Dari jumlah ini produksi gernas mencapai 30%. Dengan kata lain, tahun lalu Gernas kakao menyumbang produksi sekitar 233.000 ton.

Produksi kakao dari program Gernas sendiri bisa meningkat jika dilakukan pemeliharaan. Sebaliknya, jika tidak dilakukan pemeliharaan, produksi pun bakal turun. “Jika tidak dilakukan pemeliharaan atau pemupukan, maka produksinya dapat turun kembali,” kata  Gamal.

Untuk itu, dalam upaya meningkatkan produksi, produkstivitas dan mutu kakao perbaikan tanaman kakao tetap menjadi prioritas (peremajaan, rehabilitasi dan intensifikasi).

Dia mengatakan, perhitungan produksi Gernas Kakao tersebut didasarkan pada hasil kajian dampak Gernas Kakao oleh tim Perguruan Tinggi  yang terdiri dari  Sekolah Tinggi Pertanian (Setiper), Institut Pertanian Bogor (IPB), UGM dan Unhas.

Gamal mengatakan, petani bisa menjalin kerjasama atau kemitraan dengan industri kakao. Dengan kerjasama ini diharapkan petani bisa melakukan pemeliharaan secara mandiri. Di samping itu, pemasaran kakao petani dapat dijamin. Sedangkan kerjasama lainnya seperti pembinaan kelembagaan petani, pasca panen (fermentasi) dan pembinaan di on farm masih sangat terbatas.

“Selisih harga antara biji kakao farmentasi dan non fermentasi, baik dalam kemitraan maupun non kemitraan, belum berbeda nyata. Petani mengharapkan selisih harga fermentasi dan non fermentasi Rp3.000-5.000/kg, namun kenyataannya masih sekitar Rp1.000-1.500/kg,” katanya.

Menurut dia,  dengan kemitraan yang kuat antara industri kakao dan petani, maka produksi fermentasi dapat ditingkatkan dan harga yang diterima petani akan layak, sementara di lain pihak, industri akan terjamin bahan bakunya.

Beda signifikan

Kementan boleh saja melansir data produksi kakao yang melimpah, namun Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) malah menyebut produksi tak mencukupi. Jika data pemerintah mencatat produksi kakao nasional tahun 2012 sebesar 740.513 ton, dan tahun 2013 sebesar 777. 539 ton (Angka Sementara), tidak begitu dengan AIKI. Mereka mencatat produksi kakao pada periode yang sama masing-masing 460.000 ton dan 450.000 ton.

Gamal mensinyalir, perbedaan yang signifikan itu terjadi akibat perbedaan metodologi untuk mendapatkan angka produksi. Misalnya, angka Ditjen Perkebunan diperoleh dari angka daerah yang dikumpulkan oleh petugas daerah (mulai kecamatan sampai dengan provinsi) dan dikompilasi di pusat.

Sedangkan AIKI memperolehnya dari konversi angka biji kakao diolah di dalam negeri menjadi biji kakao, selanjutnya ditambah dengan angka ekspor biji dikurangi impor biji (produksi nasional = ekspor biji + biji olahan dalam negeri yang dikonversi ke biji – impor biji) .

“Selain metodologi, ada variabel yang belum dimasukkan dalam perhitungan konversi, seperti stok di industri dan pedagang, ekspor yang tidak tercatat (ekspor ilegal) dan pengolahan cokelat di tingkat UKM, gapoktan,” tegasnya. EY Wijianti