Kemendag Ngebut Bebaskan Bea Masuk

Rencana pemerintah membebaskan bea masuk (BM) impor biji kakao hampir menjadi kenyataan. Kementerian Perdagangan begitu gencar melakukan upaya mempercepat penghapusan BM impor tersebut, yang saat ini masih diterapkan sebesar 5%.

Berbagai pertemuan telah digelar Kementerian Perdagangan dengan instansi lainnya, termasuk Kementerian Perindustrian. Dan pekan ini, Kemendag akan bertemu dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk memfinalisasi kebijakan pembebasan BM tersebut.

“Pekan depan saya akan ke BKPM untuk memfinalisasi kebijakan pembebasan BM biji kakao itu,” ujar Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, pekan lalu.

Menurutnya, pembebasan BM biji kakao itu diperlukan untuk memasok kebutuhan industri dalam negeri yang saat ini masih kekurangan bahan baku akibat pasokan dari dalam negeri belum mencukupi.

“Idenya, kami ingin memurahkan BM biji kakao untuk kepentingan industri, agar kapasitas nasional yang missed sebanyak 100.000 hingga 120.000 ton itu bisa terisi,”

Lutfi menjelaskan, dengan adanya langkah pemerintah yang berencana menghapus BM impor biji kakao tersebut, maka nantinya Indonesia diharapkan mampu menjadi eksportir pada industri kakao, baik untuk produk setengah jadi maupun produk sudah jadi.

Menurut dia, pihaknya akan berupaya menyelesaikan format kebijakan tersebut dalam waktu hitungan hari ke depan agar langkah menunjang industri cokelat dalam negeri itu bisa segera terealisasikan.

Mendag menjelaskan, kegiatan menghasilkan dan mengekspor produk olahan kakao memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan hanya mengekspor biji kakao mentah.

Berdasarkan perhitungan Kementerian Perdagangan, ungkapnya, kegiatan produksi dari kakao mentah menjadi butter cocoa, memberikan nilai tambah 8 kali lebih banyak dibandingkan nilai tambah yang diterima jika hanya menjual biji kakao saja.

Sedangkan kegiatan produksi butter cocoa menjadi produk cokelat, nilai tambahnya 16 kali lebih besar dibandingkan nilai tambah dari hanya produksi dan menjual  biji kakao semata.

Impor 20%

Rencana pemerintah menghapus BM impor biji kakao mendapat dukungan penuh dari Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI). Ketua AIKI, Piter Jasman menyatakan, pembebasan BM impor biji kakao juga telah diterapkan Malaysia dan Singapura. Jika Indonesia tidak menerapkan kebijakan serupa, dikhawatirkan investor akan lari ke kedua negara tersebut.

Piter menyatakan, selain pasokan dari dalam negerir yang kurang, industri kakao di dalam negeri juga membutuhkan pasokan kakao impor yang akan dicampur dengan kakao dari dalam negeri untuk mendapatkan cocoa powder premium yang memiliki cita rasa tinggi.

Dijelaskannya, industri kakao nasional diperkirakan membutuhkan biji kakao impor sekitar 20% dari total kapasitas produksi kakao di dalam negeri yang mencapai 550.000 metrik ton per tahun, atau sekitar 110.000 metrik ton. Sementara produksi kakao Indonesia diperkirakan hanya sekitar 450.000 metrik ton/tahun.

Dia juga yakin penghapusan BM biji kakao itu tidak akan merugikan petani kakao di dalam negeri karena selama ini harga kakao di dalam negeri juga mengikuti harga kakao di pasar internasional.

Piter Jasman mengatakan, produksi kakao dunia saat ini mencapai sekitar 4 juta metrik ton/tahun. Adapun Indonesia memberikan kontribusi sebesar 12% dari total produk itu. “Jadi, harga masih ditentukan oleh pasar internasional,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Industri Makanan, Hasil Laut dan Perikanan Kementerian Perindustrian, Abdul Rochim menjelaskan, berbagai kajian mengenai penghapusan BM impor biji kakao tengah dilakukan Kemendag. “Kami sudah melakukan rapat di Kemendag dan berbagai kajian soal penerapannya sedang dilakukan, termasuk soal kemungkinan pembatasan kuota impor,” ujarnya kepada Agro Indonesia.

Abdul Rochim menyebut kebijakan penghapusan BM impor biji kakao diperlukan karena tidak seimbangnya kebutuhan bahan baku kakao oleh industri pengolah dengan pasokan dari dalam negeri.

Menurutnya, berdasarkan dari dari ICCO (International Coffe & Cocoa Organization), produksi biji kakao Indonesia hanya mencapai 450.000 metrik ton atau sesuai dengan perhitungan AIKI.

Produksi turun

Walaupun data dari Kementan menunjukkan produksi biji kakao lebih dari 750.000 metrik ton, namun kenyataannya impor biji kakao terus meningkat untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan kakao yang memiliki kapasitas produksi sekitar 550.000 metrik ton/tahun.

Minimnya pasokan kakao dari dalam negeri setidaknya juga diakui oleh Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo). Menurut Askindo, minimnya pasokan itu disebabkan oleh adanya penurunan produksi kakao yang banyak disebabkan karena tanaman kurang perawatan secara baik dan benar.

Ketua Umum Askindo, Zulhefi Sikumbang mengatakan, dukungan yang diberikan pemerintah sangat diperlukan agar tepat sasaran. “Apabila ingin membuat produksi melimpah, seharusnya petani diberikan fasilitas agar bisa melakukan perawatan tanaman kakao yang baik dan benar. Selama ini bantuan hanya diberikan dalam bentuk pupuk dan bibit, di mana tidak ada transfer ilmu yang dirasa lebih dibutuhkan petani,” ujarnya, pekan lalu.

Menurut dia, kompetensi petani kakao masih cukup minim. Petani kakao lokal dikatakannya tidak pandai merawat tanaman kakao. Alhasil, kapasitas produksi kakao terus menurun dari tahun ke tahun. Salah satu indikasinya, ketika di lapangan terlihat petani membiarkan pohon kakao menjulang tinggi lebih dari 4 meter. Ketika pohon menjadi terlalu tinggi, maka pohon tersebut semakin rentan dihampiri hama penyakit.

Pada tahun 2010, potensi kakao mencapai 475.000 metrik ton. Jumlah itu terus menyusut dan tahun ini diperkirakannya produksi biji kakao hanya 425.000 metrik ton. Padahal, ujarnya, bila dimanfaatkan secara maksimal, kapasitas produksi dari 1,5 juta hektare kebun kakao yang ada di seluruh Indonesia seharusnya mencapai 1,2 juta metrik ton/tahun. B Wibowo

Produksi Diakui Menurun

Benarkah produksi kakao menurun? Sekretaris Perusahaan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XII, Herry Purwanto membenarkan, ternyata. Produksi kakao, katanya, memang cenderung turun akibat tanaman gagal pembuahan atau meningkatnya serangan hama pengganggu tanaman yang dipicu anomali cuaca. Penurunan produksi itu terjadi selama lima tahun terakhir.

Padahal, ujar dia, permintaan kakao untuk lokal maupun luar negeri cenderung naik. “Kakao ini lagi sulit, seperti hujan berkepanjangan membuat pembuahan gagal, belum lagi penyakit tanaman. Itu karena iklim mikro (micro-climate) berubah,” tuturnya.

Dari informasi PTPN XII, dalam tiga tahun terakhir virus Vascular Streak Dieback (VSD) terus menyerang pohon kakao di Jawa Timur. Bahkan, virus VSD menyerang batang pohon kakao hingga tanaman mati. Saat ini sekitar 1.000 ha dari 5.000 ha lahan kakao terserang virus VSD yang tersebar di beberapa daerah, meliputi wilayah Banyuwangi, Jember, dan Malang.

Serangan virus mematikan itu menyebabkan produktivitas kakao anjlok 20%. Dari informasi kelompok petani kakao di Desa Kandangan, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, serangan virus VSD membuat panen anjlok dari 1,6 ton/ha di tahun 2012 menjadi 7 kwintal/ha selama 2013.

Bahkan, triwulan pertama tahun ini tanaman kakao belum berbuah, sehingga kini belum bisa dipastikan apakah Juli mendatang bisa tetap panen atau tidak. Kerugian pun diprediksi semakin tinggi, karena selain hasil panen turun, harganya juga anjlok dari Rp27.500/kg menjadi Rp12.000/kg.

Agar angka impor dapat ditekan, Pemprov Jatim melalui Dinas Perkebunan Jatim terus mengembangkan areal tanam kakao. Jika saat ini luas lahan mencapai 65.000 ha, ditargetkan hingga tahun 2019 mendatang bisa meningkat hingga 100.000 ha. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah dengan membuat kasawan budidaya kakao di sepanjang pantai selatan Jatim, mulai Pacitan hingga Banyuwangi.

Kepala Dinas Perkebunan Jatim, Moch Samsul Arifien mengatakan, saat ini produksi kakao Jatim mencapai 32.000 ton biji kering di 2013. Dengan perluasan areal tanam, kata dia, maka produksi tahun ini juga ditarget meningkat jadi 35.000 ton.

Menurut Samsul, untuk menanam pohon kakao cukup mudah. Hanya saja, karena selama ini petani tidak terbiasa dan kurang bisa memahami teknik budidaya komoditas kakao, akhirnya banyak yang menemukan kegagalan.

“Kakao bisa ditanam di lahan kering, di bawah cengkeh, di bawah pohon kelapa, yang penting pohon coklat tidak terkena sinar matahari langsung, harus ada pelindung. Dan kakao ini termasuk tanaman paling disukai karena panennya bisa tiap minggu,” terangnya. Elsa Fifajanti