Pemerintah hari Senin lalu akhirnya mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebesar Rp 2.000 per liter. Alasan pemerintah, dengan mengalihkan subsidi BBM kepada sektor produktif, akan banyak infrastruktur, perlindungan kesejehteraan masyarakat kurang mampu dan Pembangunan pembangkit listrik yang bisa dibangun.
Kenaikan harga BBM itu langsung ditanggapi Bank Indonesia (BI) menetapkan kenaikan suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,75% dari sebelumnya 7,5%. Kebijakan ini diambil BI untuk meredam inflasi yang mungkin tinggi akibat kenaikan harga BBM.
Memang, dalam keterangan singkat Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro – saat Presiden Joko Widodo mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi, pemerintah memprediksi inflasi akhir tahun berada di level 7,3% dan masih berdampak pada dua bulan awal tahun depan.
Kebijakan BI tersebut kini menjadi polemik karena kenaikan BI rate itu bisa berimplikasi negatif dan positif bagi kegiatan ekonomi di dalam negeri.
Dampak positifnya, untuk jangka panjang akan memberikan ketenangan bagi pasar keuangan tanah air. Dengan adanya kenaikan BI Rate ini, maka BI telah dianggap peka terhadap risiko kenaikan inflasi. Pasar juga jadi pruden karena menganggap bahwa BI sudah melakukan antisipasi lebih awal untuk menghadapi ancaman kenaikan inflasi.
Namun, dampak negatifnya, sejumlah pihak menilai kenaikan BI rate akan membuat dana perbankan sulit mengucur ke sektor riil. Artinya, aka nada tantangan bagi sektor riil di dalam negeri untuk meningkatkan kegiatan produksinya.
Bahkan jika pelaku usaha terpaksa menggunakan dana perbankan dengan suku bunga yang cukup tinggi, dikhwatirkan daya saing produknya akan kalah dengan produk asing mengingat biaya produksi yang harus dikeluarkan pengusaha lokal jauh lebih besar dibandingkan produk asing.
Padahal, tahun 2015 nanti Indonesia bersama dengan negara-negara Asean lainnya akan merealisasikan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Dalam MEA nanti, lalu lintas produk antar negara Asean akan berjalan tanpa hambatan. Artinya, produk-produk dari negara-negara Asean bisa menyerbu Indonesia kapan saja.
Jika kodisi ini dibiarkan, maka asing akan menguasai pangsa pasar di dalam negeri. Hal ini tentu saja tidak diinginkan oleh kita mengingat penguasaan asing terhadap psar di dalam negeri akan menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran dan terjadinya defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akibat besarnya dana impor.
Karena itu, selain mengimplementasikan kebijakan-kebijakan untuk melindungi masyarakat miskin dari dampak negative kenaikan harga BBM, pemerintah juga perlu melakukan berbagai langkah untuk melindungi dunia usaha di dalam negeri.
Kebijakan pemberian insentif, baik insentif fiskal maupun non fiskal sangat dibutuhkan pengusaha lokal agar mereka tetap mampu melanjutkan kegiatan usahanya dengan baik. Pemberian insentif dari pemerintah bisa menjadi obat untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia terhadap produk asing yang akhirnya bisa membantu pemerintah dalam mencapai target.