Bali banyak menawarkan produk wisata. Tidak hanya wisata pantai saja yang bisa nikmati. Kita juga bisa menikmati wisata belanja produk sehat dan enak. Salah satunya adalah wisata belanja ke Ubud Raw di Jalan Raya Sayan no.74, Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali. Di sana, Kita dapat menikmati beragam produk cokelat sehat yang bahan bakunya dari petani lokal.
Ubud Raw adalah merek dagang dari Ubud Raw Chocolate & Cacao, produsen cokelat yang produk utamanya adalah cokelat segar. Produknya tidak hanya dinikmati warga lokal saja tetapi juga sudah menembus mancanegara, seperti Afrika Selatan, Amerika Serikat, Inggris, Australia dan lainnya.
Ubud Raw Chocolate & Cacao sendiri berdiri secara resmi pada 2015. Kemunculannya berawal dari keinginan Olivia Putri Prawiro dan rekannya untuk menikmati cokelat enak yang lain dari produk cokelat yang banyak beredar di pasaran.
“Setelah beberapa kali melakukan percobaan, akhirnya kami mendapatkan produk cokelat yang rasanya paling enak,” ujar Olivia Putri Prawiro, salah satu pendiri dan pengelola Ubud Raw.
Untuk membedakan dengan produk lainnya, produk cokelat Ubud Raw hanya dibuat dari cacao & coconut (coconut sugar & coconut milk) .Kedua superfood ini menjadi bahan dasar dari pembuatan cokelat Ubud Raw.
Kakao yang digunakan oleh Ubud Raw adalah biji kakao fermentasi namun tanpa melalui proses roasting atau pemanggangan (pemanasan di atas 100derajat). Kakao fermentasi dikeringkan menggunakan dehydrator di suhu yang rendah untuk menjaga kandungan antioksidan yang ada di dalam biji kakao.
“Ubud Raw juga hanya menggunakan gula kelapa sebagai pemanis alami untuk coklat kami karena gula kelapa memiliki nilai glicemix index lebih rendah dibandingkan dengan gula putih atau refine sugar. Hal ini menyebabkan coklat kami juga fully plant based atau vegan,” papar Olivia.
Selain itu, Ubud Raw sangat concern dengan penggunaan plastik sehingga cokelat produknya dijual tidak menggunakan packaging (naked). Jadi untuk customer yang ingin membeli disediakan paper bag.
Untuk membuat produk cokelat bermutu, Olivia mengakui banyak tantangan yang harus dihadapinya. Misalnya, soal penyediaan kemasan agar cokelatnya tidak mudah cair dan sistem distribusi yang cepat dan tepat. “Karena produk yang kita hasilkan memerlukan penyimpanan dalam suhu dingin & shelf life yang cukup pendek, sehingga kami harus punya distribusi channel sendiri,” katanya.
Begitu juga dengan pengadaan dan penyimpanan bahan baku kakao. Untuk mendapatkan kakao bermutu tinggi, Ubud Raw harus menjalin kemitraan dengan petani kakao di berbagai daerah, mulai dari Papua, Sulawesi, Bali, Kalimantan dan Sumatera. Ada beberapa bahan baku khusus yang terpaksa masih diimpor.
“Namun semua keterbatasan ini juga merupakan peluang karena jarang ada bisnis yang memang benar-benar concern terhadap kualitas hingga environmental impact, sehingga customer kami memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap produk yang kami hasilkan,” kata Olivia.
Hal itu dibuktikan dengan omzet yang diraih Ubud Raw sekitar Rp 300 juta per bulan. Setiap bulan pula, Ubud Raw membutuhkan pasokan bahan baku sekitar 20 ton yang disimpan dalam gudang dengan suhu 20 derajat celcius.
Olivia optimis, usaha cokelat Ubud Raw akan berkembang di tahun-tahun mendatang dan outletnya tidak hanya ada di Bali saja tetapi juga menyebar di mancanegara.
Untuk itu, Olivia meminta dukungan kepda pemerintah, khususnya Kementerian Perindustrian agar bisa terus menggaungkan kakao Indonesia terutama bean to bar chocolate. Bisa berupa exhibition atau event yang diadakan untuk bean to bar chocolate agar dapat memperkenalkan coklat Indonesia di masyarakat Indonesia sendiri juga dunia.
“ Jika ada event kenegaraan bisa juga diberikan spot ke cokelat makers seperti layaknya selama ini diberikan kepada kopi,” pinta Olivia. Buyung N