Dalam empat tahun terakhir ini, produksi padi selalu ditargetkan naik dan tinggi. Bahkan, tahun 2018 produksi gabah dipatok mencapai 83 juta ton gabah kering giling (GKG). Ini produksi tertinggi dalam sejarah pertanian Indonesia.
Namun, ketika Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL), target produksi gabah pun dibuat realistis. Produksi gabah tahun 2020 pun diturunkan sekitar 26,1%, dari 80,0 juta ton GKG (2019) menjadi 59,1 juta ton GKG.
“Analisa kita menyesuaikan dengan data. Lebih baik kita turunkan sesuai dengan target yang realistis,” kata SYL di Kementerian Pertanian, Rabu (20/11/2019).
Dia mengatakan, pihaknya memilih membuat target yang realistis agar pencapaian lebih terarah. Maklum, target produksi padi berkaitan langsung dengan anggaran yang dikeluarkan, seperti subsidi pupuk dan bantuan benih.
Menurut dia, akan kurang baik jika anggaran yang disediakan pemerintah justru berlebih dari yang dibutuhkan. Sebaliknya, jika ternyata produksi melampaui target, pemerintah siap untuk menambah kebutuhan anggaran.
Mantan Gubernur Sulawesi Selatan itu menegaskan, pihaknya ingin capaian kinerja Kementan bisa dipertanggungjawabkan. Bukan sekadar mencapai target yang tinggi agar kinerja terlihat bagus oleh publik.
“Tidak boleh dibilang, yang penting kita dianggap bagus. Kalau jelek, ya jelek saja. Memangnya kenapa? Daripada kita janjikan 80 juta ton GKG, lebih baik kita bilang 59 juta ton GKG sesuai dengan target,” tegasnya.
Kebutuhan mencukupi
Dengan target produksi 59,1 juta ton GKG, maka jika rata-rata rendemen gabah sebesar 60%, produksi setara beras sebanyak 35,5 juta ton. Produksi ini dianggap mencukupi untuk kebutuhan beras nasional.
Kebutuhan konsumsi beras nasional sekitar 30 juta ton/tahun. Angka ini mengacu pada tren konsumsi beras bulanan sebesar 2,3 juta ton-2,5 juta ton. Untuk produksi tahun 2019, hingga akhir Oktober 2019, sudah mencapai 52,82 juta ton atau 64% dari target sebesar 80 juta ton GKG.
Produksi gabah selama Kabinet Kerja I mengalami peningkatan yang signifikan. Tahun 2014 produksi gabah hanya 70,8 juta ton GKG, tahun 2015 produksi meningkat menjadi 75,3 juta ton GKG, tahun 2016 naik lagi menjadi 79,3 juta ton GKG, tahun 2017 produksi naik menjadi 61,1 juta ton GKG dan tahun 2018 produksi mencapai 73,0 juta ton GKG.
Sejalan dengan peningkatan produksi gabah, luas areal panen pun juga meningkat. Tahun 2014, luas panen hanya tercatat 13,7 juta hektare (ha), pada tahun 2015 luas panen meningkat menjadi 14,1 juta ha, tahun 2016 luas panen masih meningkat menjadi 15,1 juta ha dan sampai tahun 2018 luas panen tercatat 15,9 juta ha (lihat Tabel).
Namun, pada tahun 2018, Badan Pusat Statistik BPS merilis data bahwa luas lahan baku sawah berdasarkan Kerangka Sampel Area (KSA) sebesar 7.105.145 ha.
Angka tersebut turun dibanding data luas lahan baku sawah sebelumnya pada 2013, yakni seluas 7.750.999 ha. KSA merupakan metode perhitungan luas panen, khususnya tanaman padi, dengan memanfaatkan teknologi citra satelit yang berasal dari Badan Informasi dan Geospasial (BIG) dan peta lahan baku sawah yang berasal dari Kementerian ATR/BPN.
Benih unggul
Syahrul mengatakan, untuk mencapai target produksi tahun depan, kuncinya terdapat pada penggunaan benih unggul. Di satu sisi mengatur pola tanam dan panen lebih baik dengan memanfaatkan teknologi citra satelit.
Teknologi tersebut digunakan untuk membaca situasi iklim, sehingga penanaman bisa menghasilkan padi dalam jumlah optimal. “Bibit itu penting, karena bibit membuat anakan, anakan membuat biji padi, itu ada yang berisi dan ada yang hampa. Belum lagi bicara yang gagal. Ini harus dihitung,” kata Syahrul.
Soal target luas tambah tanam area persawahan tahun depan, Syahrul mengatakan akan menunggu hasil verifikasi luas baku lahan sawah yang akan segera diumumkan.
Data luas lahan baku yang baru akan menjadi landasan utama kebijakan Kementan ke depan agar seluruh tindakan yang diambil sesuai dengan situasi riil di lapangan.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Sarwo Edhy, meminta Pemerintah Daerah (Pemda) memvalidasi data luas baku lahan pertanian yang dimiliki. Hal itu untuk kepentingan alokasi pupuk bersubsidi yang akan diberikan pemerintah.
Sarwo mengatakan, kesalahan data luas baku lahan pertanian ini memang terjadi di sejumlah daerah. Hal ini mempengaruhi jatah pupuk yang diterima daerah.
“Jika ada daerah yang kekurangan pupuk subsidi, untuk sementara gunakan pupuk nonsubsidi, sampai proses validasi data lahan sawah selesai,” tegasnya.
Alokasi pupuk berkurang
Sejak luas lahan baku sawah ditetapkan 7,1 juta ha, alokasi pupuk subsidi di beberapa daerah ikut berkurang.
Alokasi pupuk subsidi tahun 2019 memang jumlahnya lebih kecil dibandingkan tahun 2018. Berdasarkan Permentan No. 47/2018 tentang tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Tahun 2019 sebanyak 8,87 juta ton.
Tahun sebelumnya, yaitu 2018, alokasi pupuk subsidi mencapai 9,55 juta ton. Perubahan alokasi ini karena berbasis luas baku lahan. Alokasi pupuk tahun lalu, berdasarkan luas baku lahan pertanian BPN tahun 2013 mencapai lebih dari 8 juta ha.
Sedangan alokasi pupuk subsidi tahun 2019 berdasarkan pada luas baku lahan pertanian Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2018 yang mencapai 7,1 juta ha.
Kementan sebenarnya sudah mengalokasikan kebutuhan pupuk tahun ini sama dengan tahun sebelumnya. Hal ini terlihat dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2019 menyebutkan alokasi sebesar 9,55 juta ton.
Rincian dari DIPA tahun 2019 adalah Urea 4,1 juta ton, SP-36 sebanyak 850.000 ton, ZA sebanyak 1,05 juta ton, NPK tercatat 2,55 juta ton, dan Organik 1 juta ton.
Namun, dalam Permentan No. 47/2018, yang berbasis luas baku lahan pertanian tahun 2018, rincian kebutuhan pupuk subsidi Urea sebesar 3,825 juta ton, SP-36 sebanyak 779.000 ton, ZA tercatat 996.000 ton, NPK sebesar 2,326 ribu ton dan organik 948.000 ton.
“Ini berbeda karena DIPA berdasarkan serapan tahun sebelumnya, sedangkan Permentan berdasarkan proposional luas baku lahan,” kata Sarwo.
Dia mengatakan, pupuk subsidi yang dialokasikan pemerintah jumlahnya terbatas. Petani harus bisa memanfaatkan sebaik mungkin. Selain itu, petani juga bisa memanfaatkan pupuk organik untuk memulihkan kondisi lahan.
“Walau ketersediaan pupuk bersubsidi masih kurang, tapi kalau tidak disediakan, petani bisa komplen. Sebenarnya, pupuk bersubsidi yang dibutuhkan sebanyak 12 juta ton sampai 13 juta ton per tahun. Namun, yang disediakan hanya 8,847 juta ton,” tegasnya. Atiyyah Rahma/PSP
Tambah Luas Lahan Sawah Secepatnya
Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan, pemerintah di tahun depan harus lebih cepat dalam melakukan penambahan luas lahan sawah.
Khudori menuturkan, penambahan luas lahan harus tetap menjadi prioritas pemerintah karena dari waktu ke waktu, masing-masing komoditas pertanian akan mengalami peningkatan produksi. Jika luasan lahan tidak ditambah, maka komoditas yang akan mengalami peningkatan akan menggeser area pertanaman komoditas lainnya.
“Mau tidak mau, kalau ingin semua komoditas tumbuh produksinya harus ada penambahan luas lahan sawah. Jadi, soal lahan yang harus dikejar pemerintah tahun depan,” kata Khudori di Jakarta, Rabu (20/11/2019).
Di samping itu, target perencanaan produksi ke depan bisa lebih tepat dan sesuai dengan kapasitas lahan yang ada. Target-target produksi padi selama ini dinilai Khudori kerap mengalami overestimate.
Jadi, lanjutnya, penurunan target produksi padi tahun depan lebih karena perubahan sikap pemerintah sesuai dengan pembaruan data yang lebih valid. “Apa yang dilakukan Mentan baru adalah perubahan sikap terhadap data yang ada. Ini saya konsisten dengan apa yang dicanangkan untuk membenahi data dalam 100 hari pertama,” ujar Khudori.
Dia menilai, dengan target 59,15 juta ton padi atau setara 35 juta ton beras, sudah cukup aman untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sekitar 30 juta ton/tahun.
Jika produksi dalam negeri bisa mencapai surplus 5 juta ton/tahun, Khudori menilai sudah mencukupi sebagai stok cadangan ketika terjadi gejolak harga. Apalagi, Bulog dalam beberapa waktu terakhir memiliki stok di gudang hingga lebih dari 2 juta ton.
Realistis
Sementara Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Thohir, sepakat dengan keputusan pemerintah menurunkan target produksi beras nasional. Pihaknya meyakini, target yang realistis itu sudah sesuai dengan hitungan yang tepat.
Namun, sebelum bertindak lebih jauh, dia meminta pemerintah benar-benar menyelesaikan verifikasi data lahan baku sawah pada akhir tahun ini.
“Mentan bersama jajarannya sudah punya hitung-hitungannya. Saya sendiri (KTNA) belum menghitung itu, jadi saya mengikuti hitungan pemerintah saja,” ujar Winarno kepada Agro Indonesia di Jakarta, Kamis (28/11/2019).
Menurut dia, meskipun terjadi penurunan lahan dan penurunan target produksi, namun Kementan masih berkeyakinan produksi beras nasional masih dapat dipenuh dari dalam negeri.
Untuk itu, sampai sekarang pemerintah belum sama sekali berencana melakukan impor beras. “Sebenarnya itu tergantung musim dan cuacanya, seperti El Nino dan La Nina. Jika musim normal, biasanya kita tidak perlu impor. Apalagi sekarang stok beras Bulog masih banyak. Jadi, saya rasa hal itu masih belum perlu,” katanya. Atiyyah Rahma/PSP
Baca juga: http://agroindonesia.co.id/2019/12/produksi-beras-dipangkas/