Kisruh Gula Berlanjut

Setelah berhasil menekan pemerintah membebaskan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk komoditas gula, petani tebu kembali mendesak pemerintah membebaskan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) saat menjual gula ke Perum Bulog. Apalagi, gula yang diserap Bulog harus sesuai SNI. Inilah kisruh lanjutan seiiring kebijakan penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET) gula.

Perdagangan gula dalam negeri kembali kisruh sejak diberlakukannya Harga Eceran Tertinggi (HET) gula, yang mematok harga penjualan di konsumen Rp12.500/kg. Setelah berhasil “menekuk” pemerintah dengan meminta pembebasan PPN, kini petani kembali menekan pemerintah untuk membebaskan pajak penghasilan (PPh) penjualan gula ke Perum Bulog dengan dalih harga beli Bulog terlalu rendah.

“Kami menolak menjual gula ke Perum Bulog karena harganya terlalu rendah,” kata Sekjen Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Andalan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), M. Nur Khabsyin, Jumat (27/10/2017). Jika dijual ke Bulog, maka harga jual setelah dipotong PPh hanya Rp9.550/kg untuk petani dengan NPWP, dan Rp9.405/kg bagi petani yang tidak punya NPWP.

Penolakan itu diakui Direktur Pengadaan Perum Bulog, Tri Wahyudi Saleh. “Memang, petani tebu telah membatalkan kontrak penjualan gulanya kepada Perum Bulog,” ujar Tri. Di Jawa Timur, katanya, kontrak penjualan gula petani sebanyak 22.000 ton dibatalkan, “karena dinilai harganya murah,” jelas Tri.

Akankah pemerintah kembali menuruti permintaan petani? Apalagi, harga beli Bulog sendiri sudah dinaikkan dari patokan HET sebelumnya. Harusnya, berdasarkan SK Mendag No. 27/M-DAG/PER/5/2017, harga dasar pembelian gula di petani adalah Rp9.100/kg. Namun, berdasarkan hasil Rakortas Kebijakan Gula pada 15 Agustus 2017, selama musim panen 2017, gula PG BUMN eks tebu petani akan dibeli Bulog Rp9.700/kg. Selain itu, gula juga tidak dikenakan PPN.

Mendag Enggartiasto Lukita nampaknya juga enggan berpolemik. Dia membebaskan petani menjual gula ke pihak lain. “Selain Bulog, pihak lain juga boleh,” katanya. Padahal, sesuai dengan surat Nomor 885/M-DAG/SD/8/2017 tanggal 16 Agustus 2017, yang menindaklanjuti hasil Rakortas Kebijakan Gula, hanya Perum Bulog yang diperbolehkan menjual gula dalam bentuk curah di pasar tradisional. Itu sebabnya, jawaban Mendag tidak memuaskan petani. Pasalnya, surat itu membuat pedagang tetap takut membeli gula petani. “Kalau benar pihak lain boleh membeli, Mendag harusnya mencabut surat 885 itu,” tegas Nur Khabsyin.

PPh sendiri nampaknya bukan “pertarungan” akhir petani gula. Kebijakan yang tak kalah menakutkan petani adalah syarat mutu gula yang sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI). Ini syarat berat karena pabrik-pabrik gula BUMN sudah banyak yang uzur dan tidak efisien. AI