Lembaga nirlaba, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) ingin pengelolaan kawasan konservasi perairan dilakukan oleh masyarakat adat dan bukan oleh pemerintah melalui program Rehabilitasi dan Manajemen Terumbu Karang (Coral Reef Rehabilitation and Management Program/Coremap).
Menurut Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim yang akrab disapa Halim ini, pengelolaan sumberdaya laut yang lestari sudah diterapkan sejak abad ke 16 oleh masyarakat adat yang tersebar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Masyarakat perikanan tradisional ini sadar bahwa kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya ikan merupakan prasyarat terwujudnya kehidupan sejahtera dan adil. Mereka juga bisa merasakan besarnya manfaat sumberdaya laut untuk kehidupannya.
Halim pun membeberkan beberapa model pengelolaan sumberdaya laut yang diterapkan oleh masyarakat adat yakni Sasi di Maluku, Bapongka di Sulawesi Tengah, Awig-awig di Bali dan Nusa Tenggara Barat serta Ola Nua di Nusa Tenggara Timur.
“Model pengelolaan itu dilakukan secara swadaya tanpa dipesan oleh pihak luar dengan partisipasi aktif seluruh anggota masyarakat. Bahkan tidak membutuhkan dana hutang. Berbeda dengan kawasan konservasi perairan yang ditetapkan semau pemerintah semata-mata untuk mendapatkan pinjaman asing dan citra positif di level internasional,” ujar Halim.
Pusat Data dan Informasi Kiara, Juni 2013 menunjukkan periode 2004-2011, program Coremap II yang menelan biaya lebih Rp1,3 triliun ini sebagian besar bersumber dari hutang luar negeri, Bank Dunia (World Bank/WB) dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB).
Sayangnya, Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Sjarief Widjaja enggan dimintai keterangannya. Mantan Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan ini menyarankan Agro Indonesia untuk mengkonfirmasi langsung kepada Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, KKP, Sudirman Saad.
Namun, Sudirman yang dicegat Agro Indonesia di kantornya (08/04/14) memilih bungkam. “Saya no comment dulu deh!” cetusnya. Begitu pula, anak buahnya, Direktur Konservasi dan Jenis Ikan, Direktorat Jenderal KP3K, KKP, Agus Dermawan. “Maaf, saya belum mendapat izin dari Pak Dirjen untuk memberikan keterangan tentang Coremap,” kata Agus berkilah.
Berdasarkan dokumen Pertimbangan Strategis Coremap-CTI (Coral Triangle Initiative) yang dimiliki Agro Indonesia terungkap, program tersebut memang didanai dari pinjaman (loan) dengan bunga rendah yang sekaligus akan memberikan beberapa nilai tambah atau keuntungan.
Adapun keuntungannya antara lain Coremap-CTI (tahap III) menjadi pintu masuk dana-dana hibah internasional. Di mana, dana hibah ini tidak bisa ditarik jika Coremap-CTI hanya didanai anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) murni. Mengingat, skema pemanfaatan dana-dana hibah ini menjadi satu paket dengan dana pinjaman. Dalam hal ini Global Environment Facility (GEF) yang menetapkan hibah untuk pengelolaan terumbu karang di Indonesia lewat Coremap-CTI sebanyak kurang lebih 20 juta dolar AS.
Selain itu, penggunaan dana pinjaman memastikan alokasi anggaran bagi pencapaian kelima target/tujuan dari CTI-CFF (Coral Reefs, Fisheries and Food Security). Hal ini juga mengamankan arahan Presiden RI sebagai inisiator dan leader dalam pelaksanaan CTI-CFF.
Anggaran Coremap-CTI membutuhkan dana 132 juta dolar AS dengan sumber pendanaan yang berasal dari pinjaman ADB, 50 juta dolar AS. Pinjaman WB, 50 juta dolar AS. Hibah GEF, 20 juta dolar AS. Pemerintah (counterpart), 12 juta dolar AS.
Menurut sumber Agro Indonesia yang minta tidak disebutkan jati dirinya, tudingan Kiara kepada KKP salah alamat. “KKP kan hanya memberikan rekomendasi secara teknis. Urusan utang tetap ditangan RI-1 dan Menteri Keuangan. Dalam utang-piutang Coremap, tanda tangan Menteri Kelautan dan Perikanan tidak tercantum,” ungkapnya.
Triliunan
Sejatinya, Coremap yang diinisiasi oleh pemerintah Indonesia ini melindungi, merehabilitasi dan mengelola pemanfaatan terumbu karang secara lestari serta ekosistem terkait di Nusantara, yang pada gilirannya diharapkan akan menunjang kesejahteraan masyarakat pesisir.
Semula Coremap direncanakan untuk 15 tahun dan terdiri dari 3 fase. Tahap I, Inisiasi (1998-2001), menetapkan landasan kerangka kerja sistem nasional terumbu karang. Tahap II, Akselerasi (2001-20007), menetapkan sistem pengelolaan terumbu karang yang andal di daerah-daerah prioritas. Tahap III, Pelembagaan (2007-2013), menetapkan sistem pengelolaan terumbu karang yang andal dan operasional, dengan pelaksanaan terdesentralisasi, dan telah melembaga.
Namun setelah Coremap resmi diluncurkan pada 1 September 1998, terjadi perubahan besar dalam tata pemerintahan di Indonesia dari sentralisasi menjadi desentralisasi, implementasi programnya pun disesuaikan. Perubahannya, tahap I, Inisiasi (1998-2004), tahap II: Desentralisasi dan Akselerasi (2004-2009) dan tahap III, Pelembagaan (2010-2015).
Dari tiga tahap Coremap, mayoritas dana yang diperoleh berasal dari utang. Pada Coremap I, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia masing-masing memberikan loan 6,9 juta dolar AS dan 7 juta dolar AS, sementara dana hibah datang dari GEF dan AusAID senilai 4,1 juta dolar AS dan 8,8 juta dolar Australia.
Sementara untuk Coremap Tahap II, utang makin bengkak. Bank Dunia meminjamkan proyek lingkungan ini 56,2 juta dolar AS dan ADB mengutangi 8,27 juta dolar AS. Dari loan tersebut, Indonesia mendapat hibah dari GEF sebesar 7,5 juta dolar AS.
Bagaimana dengan Coremap III atau dikenal dengan Coremap-CTI? Sejauh ini, yang diketahui baru persetujuan utang dari Bank Dunia sebesar 47,38 juta dolar AS, yang disusul oleh gula-gula hibah dari GEF sebesar 10 juta dolar AS. Padahal, rencananya pendanaan Coremap-CTI datang dari utang sebesar 100 juta dolar, di mana Bank Dunia dan ADB masing-masing meminjamkan 50 juta dolar AS, disusul hibah GEF 20 juta dolar AS dan dana pendamping pemerintah (APBN) 12 juta dolar AS.
Jadi, sejauh ini, proyek lingkungan dan pemberdayaan masyarakat ini dalam tiga tahap meninggalkan utang untuk anak-cucu sebesar 125,75 juta dolar AS atau sekitar Rp1,38 triliun dengan kurs Rp11.000/dolar AS. Jika loan dari ADB juga jadi dilanjutkan, maka utang pun makin bengkak. Fenny
Utang dan Kongkalikong
Tindakan pemerintah masih meminjam utangan dari luar negeri, apalagi untuk perbaikan lingkungan, menimbulkan tanda tanya besar. Bahkan, tindakan pemerintah menerima utangan dinilai tidak etis, apalagi utang yang dilakukan dulu juga sulit untuk dipertanggungjawabkan.
“Jika ditanya etis atau tidak, kita harus berutang dalam Coremap, ya jelas sangat tidak etis. Jika untuk pembangunan mungkin masih oke, meskipun tolok ukurnya harus jelas, bukan sekadar proyek,” ujar pengamat kelautan Dr Fredinand Yulianda.
Dia menyayangkan mengapa Kementerian Kelautan dan Perikanan begitu mudah berutang, mengingat proyek Coremap sebelumnya juga dipertanyakan orang. “Saya tidak setuju karena ini duit rakyat yang harus bisa dipertanggungjawabkan. Kalau mau berutang harusnya output yang dihasilkan minimal sama, bahkan lebih besar dari utang.”
Dia melihat masalah utang luar negeri, terutama untuk lingkungan, memang ada kongkalikong dengan lembaga donor. “Kita semua tahu ini kongkalikong. Bahkan oleh lembaga donor seperti Bank Dunia kita disodor-sodorin utangan kok,” paparnya.
Oleh karena itu, dia juga menilai tidak logis jika ada pejabat KKP yang membantah masalah utangan adalah keputusan Presiden dan Menteri Keuangan. “Tidak logis. Presiden tidak akan menandatangani keputusan kalau tidak ada paraf. Memangnya Presiden serba tahu, termasuk urusan terumbu karang,” katanya, seraya menambahkan ada kementerian teknis juga berani menolak pinjaman luar negeri.
Yang jelas, dia juga mengaku bingung mengapa pemerintah masih mau berutang. Pasalnya, sejak 5 tahun terakhir di pemerintahan, termasuk perguruan tinggi, tidak ada lagi utangan. “Apalagi ini kementerian teknis (KKP). Apa masih kelaparan? Kalau mau banding-bandingan justru pendidikan sangat butuh,” ujar Lektor Kepala Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR (F-Partai Demokrat) Herman Khaeron menilai sumber pendanaan pembangunan Indonesia memang berasal dari dalam negeri dan luar negeri. “Kalau untuk lingkungan, selain dari loan yang berbunga ringan, kan juga ada dari hibah. Selain itu juga ada joint activity dengan WWF misalnya. Jadi kita jangan terlalu berprasangka buruk dengan utang luar negeri,” ujarnya.
Mengapa pemerintah tidak mencoba menempuh debt swap for nature (DSN) seperti yang dilakukan di Kementerian Kehutanan, Herman menyebut DSN juga tidak gratis. “Kita harus membiayai perbaikan lingkungan dengan uang kita dengan imbalan pengurangan utang,” paparnya. AI