Menunggu Insentif Paling Dinanti

Industri plywood

Pandemi COVID-19 memukul berbagai sektor usaha di Indonesia, tak terkecuali kehutanan. Mereka harus jumpalitan dengan berbagai jurus agar tetap bisa bertahan. Insentif kebijakan diperlukan agar situasi ini tidak berujung pada PHK besar-besaran yang berdampak semakin buruk bagi masyarakat.

Penyebaran virus korona baru tak hanya menyakiti sektor kehutanan. Pandemi COVID-19 juga membuat berbagai sektor usaha sempoyongan. Termasuk sektor kehutanan, khususnya yang berskala kecil-menengah dengan cadangan cashflow pas-pasan.

Pelaku industri mebel sudah mengungkapkan, ratusan ribu pekerja terancam dirumahkan. Demikian juga pelaku industri kayu pertukangan, khususnya barecore. Tutupnya sejumlah industri konsumen barecore di China, sebagai pasar utama, membuat industri barecore di tanah air kini sesak nafas, persis seperti gejala klinis pasien COVID-19.

“Situasi ini sudah terjadi sejak sebelum pandemi COVID-19 dan makin terasa  dampaknya,” kata Ketua Umum Asosiasi Industri Kayu Gergajian dan Kayu Pertukangan Indonesia (ISWA), Soewarni di Jakarta, Kamis (23/4/2020).

Dia menjelaskan, industri kayu pertukangan berskala besar relatif bisa bertahan saat ini. Meski demikian, dia menyatakan butuh ‘suplemen penambah darah’ agar industri yang ada bisa bertahan.

Data ISWA mengungkapkan, ada 547 unit industri kayu gergajian dan pertukangan dengan jumlah tenaga kerja langsung mencapai 188.357 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 41 unit adalah industri berskala besar dan 506 sisanya berskala kecil yang umumnya berkapasitas di bawah 6.000 m3/tahun.

Dari 547 unit industri, ada 113 industri skala kecil dan 6 industri skala besar yang kini tak lagi beroperasi akibat dampak pandemi korona. Sementara industri yang masih beroperasi tercatat sebanyak 393 industri skala kecil dan 35 industri skala besar.

Ketua Umum Asosiasi Industri Panel Kayu Indonesia (APKINDO), Bambang Soepijanto menyatakan, industri panel kayu alias kayu lapis sejauh ini masih bisa bertahan meski ada slowdown. Tren penurunan produksi yang terjadi lebih disebabkan oleh mahalnya harga log sebagai bahan baku kayu akibat kurangnya produksi di hulu.

“Laporan dari komisariat daerah, industri masih bisa beroperasi,” katanya.

Slowdown industri kayu lapis bisa terlihat dari data rata-rata produksi kayu lapis nasional. Berdasarkan Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri Kehutanan (RPBBI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dikutip APKINDO per 9 Maret 2020, ada 137 unit industri kayu lapis yang beroperasi di Indonesia dengan produksi 8,5 juta m3 atau rata-rata 715.357 m3/bulan. Sementara produksi pada Januari-Februari tahun 2020 sebanyak 548.987 m3 atau rata-rata hanya sebanyak 275.000 m3/bulan.

Bambang memastikan, belum ada industri yang mengurangi jam kerja karyawan, apalagi sampai merumahkan. Dia juga menyatakan, industri kayu lapis umumnya masih bisa menyelesaikan berbagai kewajiban kepada karyawan.

Lesunya industri pengolahan kayu otomatis berdampak pada pelaku usaha di hulu. Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto mengungkapkan, dampak COVID-19 pada perusahaan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) sudah terasa. Pada triwulan I tahun 2020, produksi kayu dari pemegang IUPHHK Hutan Alam alias HPH turun hingga 20% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara produksi kayu dari IUPHHK Hutan Tanaman Industri (HTI) memang masih naik 19%. “Tapi pada triwulan II, dampak COVID-19 akan makin terasa. Pelaku usaha di hulu maupun hilir akan turun kinerjanya.”

Purwadi menyatakan, hal itu dikarenakan negara-negara utama tujuan ekspor kayu olahan Indonesia, yakni China, Jepang, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Republik Korea (Korea Selatan) adalah kelompok negara yang terdampak cukup parah oleh pandemi COVID-19 sejak awal tahun 2020. “Penurunan kinerja ekspor ini diyakini akan berdampak berantai pada menurunnya kinerja di  sektor hulu,” kata Purwadi.

Stimulus

Para pelaku usaha kehutanan kompak menyatakan perlunya stimulus untuk merangsang industri kehutanan tetap bisa bertahan (lihat grafis). Bambang Soepijanto menyatakan, sebenarnya banyak hal yang diajukan pelaku usaha kayu lapis kepada pemerintah terkait stimulus yang diperlukan. Namun, satu yang sangat diharapkan, yakni penjadwalan pembayaran terhadap kredit modal kerja atau kredit lainnya. “Kalau satu ini saja bisa diberikan, sudah sangat membantu,” paparnya.

Soewarni juga menyatakan soal gentingnya penjadwalan pembayaran kredit modal kerja. Tujuannya agar perusahaan tetap bisa membayar gaji dan kewajiban lain kepada karyawan. ISWA bahkan mengajukan usulan adanya suntikan kredit. “Suntikan insentif diperlukan,” pinta Soewarni.

Usulan suntikan kredit ini tak lepas dari langkah Kementerian Perindustrian yang membuka pintu untuk setiap usulan dari industri untuk menghadapi pandemi COVID-19. Selain ke Kemenperin, usulan ini sudah disampaikan kepada Kementerian Koordinator bidang Perekonomian. ISWA menghitung setidaknya butuh suntikan Rp91,3 miliar untuk menyambung nafas 547 industri kayu pertukangan.

Purwadi Soeprihanto menyatakan, pihaknya mengapresiasi KLHK yang responsif untuk menyiapkan relaksasi kebijakan bersama dengan kementerian terkait. “Relaksasi kebijakan sangat diperlukan dalam mengantisipasi pelemahan perkonomian, meringankan beban dunia usaha  sektor  kehutanan, serta mempertahankan serapan 1,5 juta  tenaga kerja  di sektor ini,” kata Purwadi.

Ekspor

Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan KLHK, Rufi’ie menyatakan, industri kehutanan masih bisa bertahan saat pandemi pandemi korona baru terjadi, yang terlihat dari kinerja ekspor yang dicatat Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) KLHK.

Pada Desember 2019 (saat pandemi COVID-19) mulai menyebar, ekspor produk kehutanan tercatat 970,9 juta dolar AS. Sebagai perbandingan, pada bulan yang sama tahun 2018 ekspor tercatat 907,3 juta dolar. Ini berarti ekspor  produk kayu malah menunjukan peningkatan 7%.

Situasi yang sama terjadi di Januari 2020. Tercatat ekspor produk kehutanan sebesar 928,03 juta dolar. Naik 2,7% dibandingkan periode yang sama tahun 2019, di mana ekspor tercatat 903,6 juta dolar.

Pun demikian halnya pada Februari 2020. SILK mencatat,  ekspor sebesar 891,9 juta dolar atau naik tipis 2,59% jika dibandingkan catatan Februari 2019 yang sebesar 869,4 juta dolar.

Untuk Maret 2020 (data hingga 20 Maret), gejala dampak Covid-19 mulai terasa. SILK mencatat ekspor produk kayu sebesar 970,6 juta dolar AS atau turun sebanyak 5,34% dibandingkan bulan yang sama tahun 2019, di mana ekspor tercatat 1,02 juta dolar.

Menurut Rufi’ie, industri kehutanan telah mengajukan sejumlah stimulus agar bisa bertahan. Salah satunya adalah relaksasi untuk pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor (PPh Pasal 22 Impor), PPh pasal 25 dan percepatan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sebelumnya, dalam Peraturan Menteri Keuangan No.23/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Korona, industri kehutanan seperti kayu lapis dan kayu pertukangan hanya mendapat satu stimulus fiskal, yaitu relaksasi pengenaan PPh 21.

Menurut Rufi’ie, pihaknya mendukung usulan yang disampaikan pelaku usaha kehutanan. “Kami akan teruskan ke Kemenko Perekonmian untuk pembahasannya,” katanya.

Sementara itu Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM, Profesor Ahmad Maryudi menyatakan,  untuk mempertahankan kinerja industri kehutanan sejatinya bisa dilakukan dengan menyelesaikan persoalan klasik berupa birokrasi yang berbelit-belit. “Birokrasi yang panjang dan berbelit-belit menahan kinerja industri kehutanan,” katanya, Sabtu (24/4/2020). Maryudi  menyatakan, dalam situasi  pandemi saat ini bisa dipastikan seluruh sektor usaha akan terdampak. Termasuk sektor industri kehutanan.  Oleh sebab itu, Maryudi sepakat jika pemerintah memberi stimulus agar industri kehutananbisa terus bertahan. Sugiharto

Usulan Stimulus yang Diajukan Industri Kehutanan

  • Usulan tentang Pembayaran Dana Reboisasi (DR) dalam mata uang Rupiah
  • Keringanan pembayaran PNBP (DR dan PSDH) dalam bentuk angsuran minimal untuk jangka waktu 1 tahun.  
  • Penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% atas kayu bulat.
  • Usulan penurunan pajak ekspor veener dari 15% menjadi 5% melalui revisi Peraturan Menteri Keuangan No. 13/PMK.011/2017 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
  • Penjadwalan kembali pembayaran pinjaman perusahaan sektor kehutanan (leasing alat berat, biaya investasi, modal kerja dll),  dalam bentuk penundaan pembayaraan pinjaman setidaknya untuk jangka waktu 1 tahun ke depan.
  • Revisi Ketentuan Ekspor
  • Perluasan penampang ekspor kayu olahan Non Merbau dari 4.000 mm2 menjadi 15.000 mm2.
  • Perluasan penampang ekspor kayu olahan Merbau dari 10.000 mm2 menjadi 15.000 mm2.
  • Memasukkan mesin plywood ke dalam daftar mesin yang boleh diimpor dalam keadaan tidak baru
  • Usulan keringanan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor kehutanan berdasarkan areal efektif yang dimanfaatkan per tahun (berdasarkan Rencana Kerja Tahunan) untuk tahun 2020 dan penetapan areal tidak produktif dengan klas NJOP terendah.
  • Penghapusan pajak alat berat yang bukan kendaraan bermotor (alat produksi) yang beroperasi di kawasan hutan sesuai dengan  Putusan Mahkamah Konstitusi  No. 3/PUU-XIII/2015  perkara pengujian UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Putusan MK No. 15/PUU-XV/2017 tentang perkara Pengujian UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
  •  Industri hulu kehutanan (IUPHHK-HA/HTI/RE)) selaku pemasok bahan baku ke industri pengolahan kayu diusulkan dimasukkan Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) dan NIB yang memperoleh fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 23/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Korona (khususnya PPh 21 karyawan  yang ditanggung Pemerintah).
  •  Usulan alokasi suntikan modal kerja untuk HPH  dan HTI dalam bentuk kemudahan pinjaman, untuk memperkuat cash flow perusahaan.

Baca juga: Pinjaman Lunak sampai Talangan THR