
Oleh Pramono Dwi Susetyo (Pernah Bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Dua pekerjaan besar yang dihadapi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang sangat strategis dan vital dalam menghadapi dan mengendalikan krisis iklim adalah menekan laju deforestasi dan mengembalikan kawasan hutan yang terlanjur terdeforestasi menjadi kawasan hutan kembali dengan kegiatan rehabilitasi hutan (revegetasi) sebanyak dan seluas mungkin.
Rehabilitasi hutan yang merupakan bagian dari program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), sejatinya telah dilaksanakan sejak tahun 1976 oleh pemerintah orde baru dengan program penyelamatan hutan, tanah dan air (PHTA) melalui kegiatan Inpres Reboisasi dan Penghijauan.
Sejak dundangkannya regulasi kehutanan melalui undang-undang (UU) no. 41/1999, program PHTA berubah menjadi program RHL. Sayangnya, meski kegiatan rehabilitasi hutan telah dilaksanakan selama hampir setengah abad (46 tahun) namun tanda-tanda keberhasilannya masih belum nampak apalagi dirasakan manfaatnya bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Dalam refleksi akhir tahun 2022 KLHK, Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan, KLHK, persentase capaian kinerja masih menggunakan paradigma lama yakni kegiatan RHL dikapitalisasi dengan jumlah luas tanaman hutan yang digunakan untuk rehabilitasi dengan luas total untuk kegiatan tahun 2022 seluas 77.103 hektar (termasuk rehabilitasi mangrove). Tidak dijelaskan bagaimana nasib rehabilitasi hutan tahun-tahun sebelumnya. Apakah masuk kategori berhasil, setengah berhasil atau bahkan gagal total.
Padahal Presiden Joko Widodo pernah mengingatkan beberapa waktu lalu, dalam silaturahmi alumni dan mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Desember 2017 bahwa bangsa kita mampu membangun hutan sebagaimana hutan Wanagama yang mengubah lahan kritis dan gundul menjadi hutan kembali. Program RHL belum mampu memberikan keberhasilan yang nyata. Joko Widodo, menyarankan agar meninggalkan paradigm lama dengan jargon menanam satu milyar pohon secara nasional atau satu juta pohon di daerah, namun faktanya tidak ada yang berhasil. Cukuplah fokus berapa hektare yang penting dijamin harus berhasil menjadi hutan yang sebenarnya setelah beberapa tahun kemudian. Hingga dua tahun menjelang akhir pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo hingga Oktober 2024 nanti, nampaknya instruksi dan perintah presiden tentang program RHL ini belum dijalankan dengan baik oleh KLHK. Kelemahan KLHK dalam kegiatan rehabilitasi hutan selama ini adalah tidak dikembangkannya sistem MRV (measurement, reporting and verification) yang baik.
Standar Ganda RHL
Dalam regulasi yang diterbitkan terkait dengan program RHL, pemerintah telah menerapkan standar ganda. Di Satu sisi, kegiatan rehabilitasi hutan diatur dengan detil maksud dan tujuan serta lokasi kawasan hutan yang dapat ditanami baik di kawasan hutan konservasi, hutan lindung maupun hutan produksi (peraturan pemerintah (PP) no. 26/2020, pasal 20 ayat (1)), namun disisi lain tidak pernah dijelaskan berapa luas kawasan hutan konservasi, lindung dan produksi yang telah direhabilitasi setiap tahunnya. Demikian halnya dengan pemanfaatan hasil rehabilitasi hutan dalam PP no. 26/2020 pasal 32 yang menyebutkan bahwa pemanfaatan hasil
rehabilitasi lahan yang dibiayai oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah provinsi diatur dengan Peraturan Menteri (Permen yang dimaksud hingga saat ini belum terbit). Sementara itu, keberhasilan tanaman rehabilitasi hutan yang diukur dari persen tumbuh tanaman dan persen luas lokasi yang telah menjadi tanaman dewasa (minimal umur 15 tahun) tidak pernah datanya dirilis sekalipun oleh pemerintah. Bagaimana akan dimanfaatkan sementara luas dan lokasinya keberhasilan rehabilitasi hutan yang dimaksud sulit dideteksi karena MRV selama ini sangat lemah? Dalam PP no.23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan pasal 145 ayat (7) juga disebut bahwa pemanfaatan hasil hutan kayu budidaya tanaman hasil rehabilitasi dilaksanakan melalui penjualan tegakan, namun penjelasan lebih lanjut tentang hal ini belum ada?
Jauh sebelumnya pada tahun 2020, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL), KLHK Sigit Hardwinarto (waktu itu) menyatakan tren deforestasi Indonesia relatif lebih rendah dan cenderung stabil. Sigit menjelaskan, deforestasi netto tahun 2018-2019, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan Indonesia adalah sebesar 462,4 ribu hektare. Angka ini berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 465,5 ribu ha dengan dikurangi angka reforestasi (hasil pemantauan citra satelit) sebesar 3,1 ribu ha. Angka reforestasi yang dimaksud adalah hasil rehabilitasi hutan (RHL), namun tidak disebut RHL tahun berapa dan dimana lokasinya?
MRV Lemah
Sudah menjadi rahasia umum bahwa MRV untuk program RHL baik rehabilitasi hutan dan maupun rehabilitasi mangrove hingga saat ini belum terdapat perubahan yang signifikan dan tata kelola administrasinya sangat lemah. Meskipun dalam peraturan menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) no. 23/2021 menyebutkan bahwa berdasarkan laporan hasil pengawasan dan berita acara penilaian untuk kegiatan reboisasi pada pemeliharaan II (tanaman umur 3 tahun) telah diserahterimakan hasil penanaman rehabilitasi hutan dari pemerintah pusat kepada pemangku kawasan, pengelola kawasan, dinas provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya untuk dilakukan pemeliharaan lanjutan dan pengamanan, namun bukan berarti pemerintah pusat lepas tanggung jawab proses selanjutnya tanaman hasil rehabilitasi hutan dari umur 4 tahun hingga menjadi pohon dewasa (umur minimal 15 tahun). Sayangnya, sinergitas antara pemerintah pusat dengan pemangku kawasan, pengelola kawasan dan pemerintah daerah dalam mengelola program RHL pasca serah terima tidak terjadi dengan baik.
Akibatnya tata kelola administrasi MRV yang semestinya harus dilakukan setiap tahun dengan bukti portofolionya dari lapangan tidak tertib dan tidak terdokumentasi dengan baik, sehingga rekam jejak kegiatan rehabilitasi hutan yang telah dilakukan setiap tahun dan terakumulasi selama puluhan tahun sulit dilacak baik datanya apalagi fakta dilapangan. Pemerintah dalam hal ini KLHK yang bertanggung jawab penuh tentang program RHL hanya mempunyai data luas pada saat pohon hutan ditanam pada awal (tanaman hutan umur satu tahun) dan data ini seolah-olah adalah data keberhasilan tanaman RHL menjadi pohon dewasa setelah 15 tahun kemudian. Padahal faktanya tidak demikian, karena dalam perjalanannya menjadi pohon dewasa tersebut, tanaman hutan yang berasal dari anakan (seedling) telah mengalami penyusutan (pengurangan) baik dari segi jumlah tanaman maupun luas tanaman yang besarannya tergantung dari besar intensitas pemeliharaan lanjutan dan pengamanannya. Makin besar intensitasnya, makin besar pula peluang tumbuh dan hidup tanaman menjadi pohon dewasa dan makin luas pula keberhasilan RHL menjadi kawasan hutan yang sebenarnya.
Sebagai bukti lemahnya MRV program RHL, saya mengutip data RHL dari buku Status Hutan dan Kehutanan Indonesia tahun 2018, 2020 dan 2022 yang saat ini dipercaya sebagai sumber data yang sangat valid dan sahih di Indonesia sejak era pemerintah Joko Widodo (2014-2022). Pada buku Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018 disebut luas RHL yang dilakukan tahun 2015 seluas 200.447 ha, 2016 seluas 198.346 ha dan 2017 seluas 200.900 ha. Kemudian pada buku yang sama yang terbit tahun 2020, disebut bahwa luas RHL yang dilakukan tahun 2015 seluas 200.447 ha, 2016 seluas 198.346 ha, 2017 seluas 200.900 ha, 2018 seluas 188.630 ha dan 2019 seluas 396.168 ha.
Dalam buku Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2022, disebut bahwa luas RHL yang dilakukan tahun 2015 seluas 200.447 ha, 2016 seluas 198.346 ha, 2017 seluas 200.900 ha, 2018 seluas 188.630 ha, 2019 seluas 396.168 ha, 2022 seluas 112.418 da dan 2021 seluas 152.454 ha. Menganalisis data luas RHL dari ketiga buku dengan selang waktu tersebut, sudah nampak bahwa luas data RHL tahun 2015,2016 dan 2017 sampai dengan akhir tahun 2022 ini tetap sama dan tidak berubah padahal selang waktu 7,6 dan 5 tahun kondisi tanaman hutan yang dimaksud pasti telah berubah dan mengalami penyusutan luas dan pertumbuhan tanaman. Ini membuktikan bahwa KLHK tidak mempunyai data yang terbaru (up to date) kondisi tanaman hutan tahun 2015,2016,2017 pada akhir tahun 2022 sekarang.
Yang mengherankan adalah dalam refleksi akhir tahun 2022, Dirjen Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH) melaporkan bahwa MRV RHL menjadi tantangan kedepan? Apa maksudnya ini? Bukankah MRV harus sudah dilakukan jauh sebelumnya mengingat RHL sudah hampir setengah abad. Kenapa mulai tahun 2023, Ditjen PDASRH baru mengedepankan prinsip MRV dan mengembangkan geotagging (geotagging adalah sebuah proses penambahan informasi posisi data pada GPS berupa informasi latitude dan longitude dalam sebuah foto digital) tanaman yang memastikan setiap bibit tertanam secara tergeoreferensi secara spasial (tata ruang). Monitoring RHL nya menggunakan drone (drone atau Unmanned Aerial Vehicles (UAV) adalah pesawat tanpa awak) serta menggunakan citra satelit resolusi tinggi dalam pemantauannya. Memastikan peran pemangku/pengelola kawasan hutan dalam pemeliharaan lanjutan dan pengamanan hasil RHL. Peran apa yang dipastikan kepada pemangku/pengelola kawasan hutan dalam pemeliharaan lanjutan dan pengamanan hasil RHL kalau pemangku/pengelola hutan tidak dibekali dengan personil, penganggaran dan peralatan yang memadai di lapangan (3 P)? Tanpa dukungan 3 P yang jelas dan memadai, peran pemangku/pengelola kawasan hutan dalam kegiatan pemeliharaan lanjutan dan pengamanan hasil RHL sudah dapat dipastikan tidak dapat diharapkan.
Kita semua berharap agar MRV dengan menggunakan drone, citra satelit resolusi tinggi dan geotagging tidak hanya sekedar wacana saja akan tetapi dapat terealisasi dalam waktu sisa periode pemerintahan Presiden Joko Widodo yang tersisa tinggal dua tahun lagi yakni 2023 dan 2024 sehingga kegiatan RHL dapat membuahkan prestasi dengan jelas dan terukur. Semoga. ***