Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BP2SDM) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tak cukup hanya memberi pelatihan bagi petani hutan untuk meningkatkan kapasitasnya. Mereka juga perlu mendampingi petani hutan hingga bisa berproduksi dan mengoptimalkan kemampuannya.
Hal itu terlihat di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Hutan Diklat Sawala. Hutan ini dikelola oleh Balai Pendidikan dan Latihan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BDLHK) Kadipaten, sebuah unit pelaksana teknis Badan P2SDM KLHK di Majalengka, Jawa Barat. Meski berfungsi sebagai hutan diklat, namun masyarakat setempat diperkenankan memanfaatkan lahan di bawah tegakan untuk budidaya berbagai komoditas. Salah satunya oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Wana Lestari, yang membudidayakan tanaman porang.
KTH yang dipimpin oleh Sidik dan memiliki 30 orang anggota itu baru saja panen porang, Rabu (22/4/2020). Panen yang dilakukan menambah penghasilan petani di tengah lesunya perekonomian secara global akibat pandemi COVID-19.
“Porang adalah salah satu alternatif tanaman yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Di Jepang, porang menjadi komoditas yang menjanjikan serta digunakan sebagai bahan pangan pengganti,” kata widyaiswara BDLHK Kadipaten, Joko Susilo.
Dia menjelaskan, BDLHK Kadipaten mulai memperkenalkan tanaman porang kepada KTH Wana Lestari tahun 2015. Namun, baru pada tahun 2016 anggota KTH Wana Lestari menanamnya. Dalam periode tersebut, BDLHK Kadipaten melakukan pendampingan dan pembinaan, mulai dari cara budidaya hingga membuka akses pasar.
Menurut Joko, porang memiliki keunikan. Saat di musim penghujan, tanaman ini akan tumbuh dan melakukan perkembangbiakan vegetatif. Namun, saat musim kemarau, tanaman ini akan melakukan dormansi (tidur, tidak berkembang). Bahkan, masa dormansi porang lebih panjang ketimbang masa pertumbuhannya. Ini menjadikan budidaya porang butuh waktu yang cukup panjang.
Meski butuh waktu panjang untuk bisa dipanen, budidaya porang tetap menguntungkan. Selain teknik budidaya yang mudah, porang juga tidak membutuhkan perawatan yang berarti. “Porang hanya menghasilkan satu umbi selama hidupnya, dan menghasilkan bulbil atau katak pada ketiak daunnya yang dapat digunakan sebagai bibit,” jelas Joko.
Sidik, Ketua KTH Wana Lestari menuturkan, penanaman porang periode pertama dirasakan cukup berhasil. Dari 2.000 m2 luas lahan garapan yang ditanami porang, KTH bisa mengantongi penghasilan Rp5 juta. “Budidaya porang dilanjutkan ke periode kedua,” katanya.
Setelah panen pertama April 2018, 11 anggota KTH Wana Lestari mulai kembali menanam porang pada November 2018. Porang ditanam di bawah tegakan hutan pada KHDTK Sawala, yang merupakan lahan garapan anggota KTH seluas sekitar 9.000 m2. Total luas garapan KTH Wana Lestari di KHDTK Sawala seluas 3,5 hektare (ha).
Bibit porang berasal dari sisa bulbil periode tanam pertama anggota KTH, ditambah pembelian bibit dari penangkar bibit hutan lestari HOPE. Dana pembelian bibit berasal dari kas KTH.
Pandemi COVID-19
Panen porang periode tanam kedua dilakukan, Rabu (22/4/2020). Menurut Sidik, panen dilakukan lebih awal dari rencana sebelumnya, yaitu tahun 2021 mendatang. Dia menuturkan, keputusan itu dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Di antaranya adalah, panen porang diharapkan bisa menambah penghasilan petani anggota KTH yang pendapatannya berkurang akibat adanya pandemi COVID-19.
Keputusan panen dini juga dilakukan mengingat situasi keamanan yang kurang kondusif. Di lapangan terjadi pencurian tanaman porang oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Pertimbangan lain yang membuat porang dipanen lebih awal adalah karena harga pasar saat ini lebih baik serta kesepakatan hasil MoU kerja sama dengan penampung.
“Dari tanaman porang yang masih aman, telah dilakukan penggalian oleh anggota, pembersihan umbi porang dari akar serabut dan tanah, dan penimbangan hasil setiap anggota. Hasilnya cukup menggembirakan,” papar Sidik.
Panen porang menghasilkan 5,93 kuintal atau 593 kg umbi porang basah. Ini berarti budidaya tanaman porang periode ke-2 dengan masa tanam hanya 1,5 tahun, mampu tumbuh umbi porang sekitar 2,9 kali dari umbi bibit yang ditanam. Satu buah umbi porang tumbuh maksimal dengan berat 3-3,5 kg. Sedangkan umbi paling kecil sebesar 0,5 kg.
Meski harus panen dini, namun panen yang diperoleh saat ini cukup menguntungkan secara nilai. Pasalnya, ada kenaikan harga umbi porang basah hingga 3 kali lipat dibandingkan saat panen perdana tahun 2018. Saat ini, umbi porang basah dihargai Rp7.500/kg (franco tepi jalan)
“Ini artinya kesempatan dan peluang pasar untuk umbi porang basah masih sangat terbuka lebar, dan kesempatan ini sebaiknya kita dapat manfaatkan semaksimal mungkin,” kata Joko Susilo.
Porang produksi KTH Wana Lestari dari panen periode kedua dijual ke pengusaha porang dari Tegal, sesuai dengan MoU kerja sama. Total ada 9 karung besar umbi porang basah, yang diangkut menggunakan truk untuk kemudian dikirimkan ke pabrik pembuatan tepung porang di Jawa Timur.
Menurut Joko, hasil panen porang kali ini sedikit banyak membantu sebagai tambahan penghasilan, khususnya bagi anggota KTH Wana Lestari. Hasil panen juga untuk menambah uang kas KTH yang ada di Bank BRI dan bisa menjadi tambahan modal untuk budidaya tanaman porang periode berikutnya.
Ke depan, KTH Wana Lestari akan melanjutkan Budidaya tanaman Porang periode ke-3. Saat itu akan dilakukan metode budidaya dan perlakuan khusus dengan perawatan secara intensif terhadap tanaman porang. Harapannya, umbi porang bisa tumbuh maksimal dalam waktu kurang lebih 4-6 bulan saja sehingga panen bisa dilakukan lebih cepat. Tentu saja dengan kualitas dan spesifikasi umbi sesuai dengan permintaan pasar.
Joko menyatakan, MoU kerja sama yang ada saat ini akan ditelaah lebih lanjut dan akan dicoba untuk mengajukan proposal kepada pihak swasta untuk pengadaan bibit porang dalam jumlah yang agak banyak. Kepala BDLHK Kadipaten Dimyati berharap, hasil panen porang kali ini sedikit banyak membantu sebagai tambahan penghasilan, khususnya bagi anggota KTH Wana Lestari di tengah masa pandemi COVID-19. Dia menyatakan, pihaknya akan terus mendukung usaha petani hutan agar budidaya dilakukan secara berkelanjutan untuk mendukung kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. AI