Episode panas PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) versus Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersambung ke jilid II. Plotnya masih soal Rencana Kerja Usaha (RKU) Hutan Tanaman Industri (HTI) RAPP periode 2010-2019 yang dibatalkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya berdasarkan SK No. 5322 tahun 2017 tertanggal 16 Oktober 2017. RKU RAPP dibatalkan karena dinilai tidak sesuai dengan regulasi pengelolaan gambut.
Episode lanjutan makin seru karena kini digelar di meja hijau Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. RAPP yang diwakili kuasa hukum Hamdan Zoelva dan kawan-kawan mengajukan permohonan kepada PTUN untuk mengesahkan pencabutan SK Menteri LHK No. 5322/2017 seperti keberatan yang diajukan RAPP kepada Menteri LHK berdasarkan surat No. 101 tahun 2017 tertanggal 18 Oktober 2017.
Hamdan menyatakan, permohonan yang diajukan kepada PTUN berdasarkan UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP). Berdasarkan UUAP, badan atau pejabat publik harus mengambil keputusan apakah menerima atau menolak keberatan yang diajukan dalam jangka waktu 10 hari. “Jika tidak ada keputusan, maka keberatan yang diajukan dianggap dikabulkan,” katanya di Jakarta, Jumat (8/12/2017).
Ketentuan tersebut diatur pada pasal 53 dan pasal 77 UUAP (lihat grafis). Hamdan menyatakan, Menteri LHK tidak mengeluarkan keputusan atas keberatan yang diajukan RAPP, maka kami mengajukan permohonan kepada PTUN untuk mengesahkan permohonan dan keberatan yang diajukan RAPP. “SK Menteri LHK No. 5322/2017 tentang pembatalan RKU RAPP juga harus dinyatakan tidak sah dan secara hukum dicabut,” kata Hamdan, yang juga Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini.
Untuk diketahui, RAPP mengajukan permohonan kepada PTUN pada 16 November 2017. Ini berarti sudah lebih dari 10 plus 5 hari kerja sejak surat keberatan pembatalan RKU dilayangkan RAPP kepada Menteri LHK pada 18 Oktober 2017.
Sidang perkara RAPP vs KLHK ini sudah digelar 2 kali, yaitu pada 23 November dan 7 Desember. Sidang lanjutan untuk mendengarkan saksi dan ahli dari pihak KLHK akan digelar Senin (11/12/2017) pekan ini. Berdasarkan UUPA, PTUN diberi waktu maksimal 21 hari kerja untuk memutus perkara yang dikategorikan fiktif positif ini sejak permohonan diterima.
Hamdan menegaskan, pembatalan RKU RAPP sesungguhnya tidak sah. Sebab, dalam Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah (PP) 71/2014 jo. PP 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut sudah memberi jaminan terhadap izin dan kegiatan yang sudah dilakukan seperti diatur pada pasal 45 huruf a.
Ketentuan itu berbunyi, “izin usaha atau kegiatan untuk memanfaatkan ekosistem gambut pada fungsi lindung ekosistem gambut yang telah terbit sebelum PP ini berlaku dan sudah beroperasi dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu izin berakhir”.
Hamdan menambahkan, pembatalan RKU RAPP oleh Menteri LHK juga tidak sah sebab masih menjadikan Peraturan Menteri LHK No P.17/2017 sebagai dasar hukum, padahal ketentuan itu sudah dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Meski tidak mencantumkan kata ‘izin’, Hamdan menyatakan RKU sejatinya adalah izin. Pasalnya, dokumen itulah yang jadi dasar bagi sebuah perusahaan pemegang izin HTI untuk boleh melakukan kegiatan operasional di areal konsesinya, seperti menanam, merawat, memanen, dan mengangkut pohon. “Izin adalah hak yang diberikan untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya dilarang. Perusahaan yang tidak memiliki RKU tidak boleh melakukan kegiatan operasional di areal izin HTI-nya,” katanya.
Atas dasar itu, Hamdan menyatakan, pernyataan lisan dari KLHK yang memperbolehkan RAPP untuk beroperasi setelah RKU dibatalkan malah bisa berdampak hukum. “Makanya, jika permohonan fiktif positif ini dikabulkan PTUN justru akan menyelamatkan Menteri LHK dan RAPP,” katanya.
Jika permohonan ditolak PTUN, Hamdan menyatakan dirinya akan tegas meminta RAPP untuk menghentikan operasional di HTI. “Sebab, itu bisa dipersoalkan di masa yang akan datang,” tandasnya.
Kronologi
Penghentian operasional memang pernah dilakukan RAPP segera setelah SK Menteri LHK No. 5322/2017 diterbitkan, 16 Oktober 2017. Hal ini memicu aksi unjuk rasa ribuan pekerja yang memprotes SK Menteri tersebut.
KLHK kemudian merespons dengan mengirimkan tim yang dimpimpin Sekjen KLHK Bambang Hendroyono ke Pangkalan Kerinci — kota di mana pabrik RAPP berada — untuk berdialog dengan pekerja yang berunjuk rasa dan manajemen RAPP, Jumat (20/10/2017). KLHK juga mengundang manajemen RAPP untuk menindaklanjuti SK Menteri LHK No. 5322/2017, Selasa (24/10/2017).
Dalam pertemuan alot selama 2,5 jam itu disepakati, RAPP akan mengikuti arahan KLHK untuk menyesuaikan RKU sesuai dengan regulasi gambut. Sementara KLHK menyatakan RAPP tetap bisa beroperasi. Hal itu dinyatakan pada konferensi pers bersama antara KLHK dan manajemen RAPP usai pertemuan. Saat konferensi pers, hadir Sekjen KLHK Bambang Hendroyono dan Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK IB Putera Parthama mewakili KLHK, sementara dari manajemen RAPP ada Irsan Syarif dan Agung Laksamana Direktur Hubungan Korporat APRIL, grup yang menaungi RAPP.
RAPP diberi kesempatan untuk mengajukan revisi RKU hingga 30 Oktober 2017 — yang dipenuhi pada 26 Oktober 2017. Pembahasan lanjutan atas revisi RKU yang diusulkan RAPP juga berlangsung beberapa kali setelahnya.
Tidak ada drama
Hamdan menegaskan, tak ada drama yang dimainkan pihak RAPP pada setiap pertemuan membahas SK Menteri LHK No. 5322/2017. Menurut dia, dalam pertemuan disepakati KLHK akan menyediakan lahan pengganti untuk konsesi HTI RAPP yang ditetapkan sebagai fungsi lindung dan tidak boleh dibudidayakan lagi. “Namun, land swap yang dijanjikan KLHK tidak disanggupi,” katanya. Ini membuat pembahasan RKU RAPP tak kunjung tuntas.
Di sisi lain, Hamdan juga membantah jika pertemuan-pertemuan antara manajemen RAPP dengan KLHK sekadar formalitas untuk mengulur waktu hingga jangka waktu permohonan fiktif positif atas keberatan RAPP bisa diajukan ke PTUN.
Menurut dia, RAPP sebagai entitas usaha wajib hadir atas undangan KLHK. Namun, pertemuan-pertemuan tersebut membahas tentang SK Menteri LHK No. 5322/2017. Sementara surat keberatan yang diajukan manajemen RAPP No. 101/2017 tak pernah dibahas. “Dalam setiap undangan yang disampaikan, jelas bukan soal keberatan RAPP, melainkan tindaklanjut SK Menteri LHK No. 5322/2017. Undangan pun bukan atas nama Menteri LHK,” katanya.
Hamdan melanjutkan, seharusnya KLHK menjawab surat keberatan yang diajukan sehingga ada kepastian hukum bagi RAPP. Sugiharto
RAPP Berharap Bisa Segera Selesai
Agung Laksamana, Direktur Hubungan Korporat APRIL Grup yang menaungi PT RAPP berharap, persoalan yang kini membelit RAPP bisa segera selesai. Menurut dia, berhentinya operasi akan merugikan RAPP dan hilangnya pekerjaan dan sumber pendapatan bagi lebih 35.000 pekerja.
“Kami sudah berinvestasi sekitar Rp85 triliun sejak tahun 1993 dan sedang melakukan hilirisasi industri kertas dan rayon, sehingga total investasi akan mencapai Rp100 triliun,” katanya, Jumat (8/12/2017).
RAPP mengantongi izin HTI berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 130 tahun 1993 yang telah diubah terakhir berdasarkan SK Menteri kehutanan No. 180 tahun 2013 seluas sekitar 338.538 hektare (ha) yang tersebar di enam kabupaten di Riau dengan jangka waktu 35 tahun.
Sementara luas areal yang dikelola untuk tanaman pokok berupa akasia adalah 208.000 ha. HTI ini memasok hampir 50% kebutuhan bahan baku kayu industri bubur kayu RAPP yang memiliki kapasitas 2,8 juta ton/tahun.
Hampir 60% konsesi RAPP terdiri lahan gambut. Sebagian besar lahan gambut itu belakangan ditetapkan sebagai Fungsi Lindung Ekosistem Gambut (FLEG) oleh KLHK yang tidak boleh dibudidayakan. Sugiharto
UU No 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Pasal 53
(1) Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
(3) Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.
(4) Pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Pengadilan wajib memutuskan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan.
(6) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan untuk melaksanakan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 5 (lima) hari kerja sejak putusan Pengadilan ditetapkan.
Pasal 77
(1) Keputusan dapat diajukan keberatan dalam waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak diumumkannya Keputusan tersebut oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan.
(3) Dalam hal keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan sesuai permohonan keberatan.
(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menyelesaikan keberatan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja.
(5) Dalam hal Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menyelesaikan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), keberatan dianggap dikabulkan.
(6) Keberatan yang dianggap dikabulkan, ditindaklanjuti dengan penetapan Keputusan sesuai dengan permohonan keberatan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
(7) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan sesuai dengan permohonan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Baca juga: