Untuk ketiga kalinya, pemerintah melakukan revisi target produksi padi. Revisi dilakukan mengingat target yang tinggi tidak diimbangi dengan anggaran dan dukungan dari pemangku kepentingan lain. Selain itu, prognosa Badan Pusat Statistik dan ramalan El Nino membuat pemerintah harus menurunkan target produksi padi dari 76,568 juta ton menjadi 70,24 juta ton.
Revisi ketiga sasaran produksi padi tahun 2014 disampaikan Plt. Dirjen Tanaman Pangan, Haryono. Menurut dia, revisi target produksi padi dari sasaran awal 76,57 juta ton menjadi 70,24 juta ton merupakan keputusan yang realistis mengingat adanya El Nino yang menyebabkan mundurnya musim tanam sehingga diprediksi bisa menurunkan produksi padi nasional.
“El Nino membuat musim tanam mundur di beberapa daerah sehingga berpengaruh pada produksi padi yang diprediksi turun,” katanya.
Selain masalah El Nino, Haryono mencatat penyebab penurunan produksi karena adanya kekeliruan data tentang jumlah konsumsi masyarakat yang menyebabkan target produksi tidak sesuai angka ramalan padi yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Menurutnya, laporan konsumsi beras mencapai 139,15 kg per kapita per tahun. Angka ini tidak berubah dari tahun ke tahun. Padahal, kenyataanya, angka perkapita tidak sampai sebesar itu. Data inilah yang disinyalir membuat target produksi meleset.
“Selama ini target produksi memang terlalu tinggi dan tidak dimbangi dengan hitungan akurat berapa banyak konsumsi,” katanya.
Haryono mengatakan, pada awal tahun, penetapan target produksi padi terlalu tinggi demi mendapatkan surplus padi yang besar. Padahal, luas lahan tanam tidak bertambah. Bahkan, berdasarkan data angka ramalan (Aram) I tahun 2014, luas panen mengalami penurunan sebesar 1,9% atau 265.310 hektare (ha) dari 13,835 juta ha menjadi 13,570 juta ha.
Selain itu, target produksi padi 76 juta ton bisa dicapai jika semua pemangku kepentingan — mulai dari Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kehutanan hingga BPN dan pemerintah daerah — bekerja sama. Namun, ternyata setelah rakor di Bukittinggi, dukungan tak juga berpihak pada Kementerian Pertanian, sehingga target produksi padi direvisi beberapa kali menjadi 73,16 juta ton, 72,021 juta ton dan terakhir 70,24 juta ton gabah kering giling (GKG).
Data BPS menyebutkan, Aram I produksi padi turun 1,98% menjadi 69,87 juta ton. Penurunan produksi padi tahun 2014 diperkirakan terjadi di Pulau Jawa seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten dan Sumatra Selatan sebesar 1,85 juta ton. Sedangkan produksi padi di luar Pulau Jawa seperti di Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur dan Jawa Timur diprediksi akan mengalami kenaikan sebesar 0,44 juta ton.
Masih wajar
Terkait revisi, Haryono menilai jika hal ini masih wajar. Apalagi jika melihat rasional grafik produksi padi, di mana setelah 10 tahun selalu mengalami surplus, maka wajar saja jika tahun ini produksi padi mengalami penurunan.
“Saya jelaskan, nggak ada grafik naik terus tanpa ada dinamika. Bisa berhenti sebentar, nanti kejar lagi. Itu sangat mungkin. Angka ramalan BPS, produksi padi hanya 69,87 juta ton. Dengan target 70,24 juta ton GKG kemungkinan tercapai karena berdasarkan Aram BPS memang sudah mendekati,” tegasnya.
Lebih lanjut Haryono mengungkapkan, meskipun ada ancaman El Nino, namun selama tiga bulan terakhir sebagian wilayah di Indonesia masih hujan, sehingga produksi padi masih bisa bertambah. Caranya? Dengan memaksimalkan dampak El Nino pada tiga bulan ke depan. Berdasarkan ramalan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), fenomena El Nino menunjukkan level 0 ke lemah dari sebelumnya dari lemah ke moderat. Jika El Nino melemah, musim panen diperkirakan mundur 1-2 dasarian (1-20 hari) di wilayah-wilayah tertentu. Jika El Nino menguat lagi, musim panen berpotensi mundur 4 dasarian (40 hari).
“Dari entry point itu, meski ada El Nino, tapi ada daerah yang masih hujan. Karena itu, kami akan jaga agar tidak kehilangan produksi pada tiga bulan ke depan. Dari kondisi itu, kami yakin produksi tahun ini mencapai 70,24 juta ton,” katanya.
Haryono mengatakan, pada revisi ketiga ini, pemerintah bekerja keras untuk menjaga produktivitas dengan melakukan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT), distribusi pupuk, losses, dan menyiagakan pompa air untuk mengantisipasi dampak El Nino. “Kehilangan hasil ini kita perkecil dengan optimalisasi penggunaan teknologi untuk penanganan produksi padi pasca panen,” ujarnya.
Gunakan satelit
Selain itu, pemerintah juga melakukan beberapa upaya fundamental untuk tingkatkan produksi. Antara lain penyediaan lahan baru, pembangunan dan perbaikan infrastruktur baik yang langsung maupun tidak terkait produksi. Sehingga, jika upaya ini dilakukan, maka diyakini mampu meningkatkan produksi. Peningkatan ini pada gilirannya menarik bagi investor bidang pertanian. “Kami juga merangkul TNI untuk mempercepat panen, olah tanah dan tanam terutama di daerah irigasi teknis,” ujarya.
Saat ini pemerintah telah bekerja sama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) untuk memetakan luas areal pertanaman (standing crops) melalui satelit. Pemetaan ini dilakukan pada delapan sentra produsen padi, di antaranya Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Selatan.
Haryono optimis jika pencitraan satelit tersebut mampu menjangkau pertanaman hingga per kabupaten. Satelit ini bergerak untuk melihat pertumbuhan padi sejak periode Mei-September 2014. “Luas tanam padi yang terekam periode Mei-Juli tercatat sebesar 2,4 juta ha. Ini terus bergerak ,” katanya.
Menurutnya, pengawalan data standing crops akan lebih memudahkan interaksi antara Kementan dengan dinas pertanian daerah. Selain itu, verifikasi dengan citra satelit bergerak akan mengefisienkan program kerja Kementan. Misalnya, respon kebijakaan yang akan diambil berkenaan penyiapan sarana dan prasarana dan pembagian alokasi pupuk sekaligus pengairannya, begitu juga upaya pompanisasi apabila terjadi El Nino.
Ditambahkan Haryono, selain upaya teknis yang dilakukan pemerintah, perhatian kepala daerah di setiap provinsi juga harus dilakukan. Pasalnya, masing-masing gubernur bertanggungjawab atas keberhasilan maupun kegagalan produksi pertanian termasuk padi di wilayahnya. Dia menilai, Gubernur serta jajaran ke bawah harus mempunyai perhatian besar terhadap hasil produksi pertanian karena tanpa hal itu mustahil produksi pertanian akan sesuai harapan apalagi swasembada pangan.
“Pemerintah daerah harus aware terhadap target yang harus dicapai. Kemarin sudah siapkan surat kepada setiap Gubernur. Gubernur punya tanggung jawab sasaran mengenai aksi Bukittinggi,” tegasnya. E.Y. Wijianti
Ini Alasan Produksi Direvisi Lagi
Pada kesempatan terpisah, Menteri Pertanian Suswono mengatakan banyak faktor yang menyebabkan target produksi pangan akhirnya direvisi. Salah satunya adalah minimnya respon yang diberikan Kementerian/Lembaga lain terhadap Rencana Aksi Bukittinggi yang dicanangkan Presiden. Padahal, dalam rencana aksi tersebut telah terjadi komitmen bahwa setiap pemangku kepentingan akan mendukung pencapaian produksi pangan hingga bisa swasembada.
“Rencana aksi Bukti Tinggi sudah ada komitmen, tetapi fakta yang terjadi hampir tidak ada yang merespon komitmen yang ditandatangani. Tentu ini sangat sulit untuk diwujudkan. Tapi kita harus berani mengoreksi hasil dari rencana awal,” katanya.
Suswono mengatakan, beberapa Kementerian dan Lembaga yang siap menyokong program swasembada pangan tersebut antara lain Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional hingga para pemimpin daerah.
Namun, komitmen tersebut tak terwujud. Misalnya saja, masalah anggaran di mana untuk mencapai Rencana Aksi Bukittinggi Kementan memerlukan tambahan anggaran sekitar Rp6 triliun. Tetapi, anggaran Kementan malah dipangkas sekitar Rp1,3 triliun dari Rp16,42 triliun pada 2013 menjadi Rp15,47 triliun di 2014.
“Dana tambahan sebesar Rp6 triliun hingga sekarang belum turun dari Kementerian Keuangan. Malah anggaran yang sudah ada diminta untuk direalokasi,” keluh Suswono.
Dia menegaskan, selain kurangnya komitmen dari beberapa pemangku kepentigan, revisi target produksi juga disebabkan oleh pengaruh banjir di awal tahun dan serangan penyakit tanaman OPT.
“Selain itu juga masih ada persoalan klasik lainnya yang kerap terjadi. Mulai dari keterlambatan tanam pada beberapa daerah, keterlambatan dalam antisipasi serangan penyakit tanam OPT, belum optimalnya upaya penanganan bencana alam yang berdampak pada pertanian dan serapan anggaran belum mencapai target,” tukas Suswono.
Ditambahkan pria asal Tegal ini, masalah lain yang menjadikan pihaknya harus merevisi target produksi adalah masalah kesenjangan pemahaman antar pemerintah daerah (pemda). Di mana daerah yang menjadi sentra pangan, baik padi maupun jagung, kurang optimal memberikan perhatian terhadap potensi daeranya
“Ada sentra pangan yang menganggarkan pertanian hanya Rp5 miliar, padahal kita tahu daerah tersebut mendapatkan APBD hingga Rp2 triliun. Ini kan menyedihkan,” ungkapnya.
Berdasarkan Inpres No. 4 Tahun 2014, Kementerian Pertanian harus melakukan penghematan anggaran sekitar 30% pusat dan daerah. Untuk itu Mentan menghimbau agar dapat menyikapinya supaya target produksi pertanian tidak terganggu. “Kita harus berkerja keras dan kerja cerdas dalam melaksanakan program kegiatan pembangunan pertanian secara efektif dan efisien,” pesan Mentan. E.Y. Wijianti