Jumat (3/7/2015) pagi Auditorium Sudjarwo dan ruang-ruang resepsi lainnya di Gedung Manggala Wanabhakti penuh sesak. Maklum, saat itu digelar pelantikan pejabat eselon III dan IV Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan secara maraton.
Pejabat eselon III dilantik lebih awal, langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sitri Nurbaya. Setelah itu, Sekjen, Irjen, para Dirjen, dan para Kepala Badan melantik pejabat eselon IV yang menjadi bawahannya.
Suasana riuh tak pelak terjadi. Pasalnya, ada seribuan orang yang hadir dan ikut dilantik pada saat itu. Rinciannya, 316 orang dilantik sebagai pejabat eselon III dan 769 dilantik sebagai pejabat eselon IV. Situasi makin ramai karena juga dihadiri oleh undangan lain.
Inilah rangkaian pelantikan pejabat yang tak putus sejak Mei 2015 di kementerian yang merupakan fusi dari Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan. Menteri Siti saat menyampaikan pidato arahannya pada pelantikan tersebut mengajak jajarannya untuk bersyukur karena telah melewati masa-masa sulit penyatuan dan penataan personel yang tidak mudah. “Dengan pelantikan ini, maka keseluruhan konfigurasi Kementerian LHK sudah lengkap,” katanya.
Belum ada UPT
Betulkah sudah lengkap? Untuk urusan Pusat, pernyataan Menteri Siti memang benar. Persoalannya, kementerian ini juga punya organ atau unit pelaksana teknis (UPT) di daerah. Nah, justru UPT ini malah tertinggal dari penataan organisasi Kementerian LHK yang entah mengapa seperti dibiarkan dalam status quo. Hingga saat ini, nomenklatur kelembagaan, serta tugas pokok dan fungsi dari UPT eks Kementerian Kehutanan masih belum dibenahi.
Padahal, penataan organisasi UPT sesungguhnya sangat penting. UPT adalah ujung tombak di lapangan untuk pelaksanaan program dan kegiatan pengelolaan LHK. Dari sisi alokasi anggaran, UPT-UPT di Kementerian LHK juga mendapat alokasi terbesar. Sekitar 60%-70% dari total anggaran kementerian LHK yang tahun ini sekitar Rp6,2 triliun.
Nah, yang gawat, UPT-UPT tersebut ternyata tak tercantum sama sekali dalam Peraturan Menterian LHK No.P.18/MenLHK-II/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian LHK. Dalam ketentuan tersebut, bagaimana tugas dan fungsi UPT sama sekali tidak ditemukan.
Eksistensi UPT-UPT eks Kemenhut juga seolah langsung divonis mati karena tak ada ketentuan peralihan dalam Peraturan Menterian LHK No.P.18/MenLHK-II/2015. Padahal, seperti pada umumnya sebuah ketentuan hukum, ketentuan peralihan akan memberi ruang untuk hal-hal yang belum diatur.
Kesimpulan ini yang terbaca dalam telaahan status UPT di lingkup Kementerian LHK yang dibuat oleh Inspektorat Jenderal (Itjen) LHK.
Implikasinya tentu berat. Lenyapnya UPT eks Kemenhut tidak hanya berdampak pada eksistensinya di lapangan. Namun juga terkait penggunaan anggaran. Bisa disimpulkan, seluruh penggunaan anggaran untuk kegiatan dan program yang dijalankan UPT tidak memiliki dasar hukum alias ilegal.
Sekadar catatan, sebelum melebur ada 189 UPT Kementerian Kehutanan dengan jumlah pejabat eselon II, II, dan IV mencapai 1.008 jabatan. UPT tersebut di antaranya adalah Balai Pemantauan Kawasan Hutan (BPKH), Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Balai Taman Nasional, Balai Diklat, dan Balai Penelitian (lihat tabel).
Berbahaya
Kondisi ini dinilai pakar hukum Dr Sadino sangat berbahaya dan bisa menimbulkan masalah hukum serius buat para kepala UPT di lapangan. Jika sampai kegiatan dan program UPT yang dibiayai APBN 2015 berhasil dicairkan, sementara secara kelembagaan UPT tersebut tidak memiliki dasar hukum, maka bisa jadi temuan saat dilakukan post-audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Jika keberadaan UPT tidak ada aturannya tapi bisa mencairkan anggaran, berarti akan ada temuan dari BPK. Temuan ini jika ditelusuri ternyata ada perbuatan melawan hukum, misalnya dengan modus memalsukan dokumen, seperti membuat kop surat atau stempel baru yang tak ada dasar hukumnya, untuk bisa mencairkan anggaran, maka bisa dibidik dengan pasal korupsi karena ini melibatkan uang negara,” ujar Sadino.
Yang patut diwaspadai, kata Sadino, jika perbuatan melawan hukum itu benar-benar terjadi, maka yang bertanggung jawab adalah para kepala UPT sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Alasannya, mereka bisa mencairkan dana dengan melakukan perubahan tanpa ada perintah dari atasan di kantor Pusat. “Jadi, mereka sudah melakukan perbuatan melawan hukum jika bisa mencairkan anggaran, sementara nomenklatur mereka tidak ada landasan hukumnya,” jelas Sadino.
Masalah ini yang membuat prihatin ahli hukum yang kerap mengadvokasi masalah-masalah kehutanan tersebut. Pasalnya, perubahan nomenklatur Kementerian LHK seharusnya sudah jauh-jauh hari dipersiapkan oleh menteri dan jajarannya.
”Perubahan nomenklatur Kementerian LHK ini sejak awal saya katakan bakal makan waktu panjang dan pejabatnya harus ahli. Sejak awal, yang namanya Sekjen dan jajarannya harus sudah menyiapkan kelembagan dan organisasi baru,” tegasnya.
Blunder
Sebetulnya masalah kelembagaan UPT ini juga coba dibereskan. Menteri Siti Nurbaya sudah menerbitkan sejumlah surat keputusan yang menunjuk unit induk dan pembina teknis UPT. Ada delapan surat keputusan mulai dari SK No.169/MenLHK-II/2015 sampai dengan No.176/MenLHK-II/2015 yang diterbitkan secara berurutan pada 15 Juni 2015.
Namun, penerbitan SK tersebut tetap tak menyelesaikan persoalan. Pasalnya, SK-SK tersebut terbit tanpa memiliki dasar hukum. Pasalnya, dalam Peraturan Menteri LHK NO.P.18/MenLHK-II/2015 dinyatakan penetapan susuanan organisasi dan tata kerja UPT ditetapkan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Saat SK-SK tersebut diterbitkan, persetujuan tertulis dari Menpan-RB belum ada.
Blunder yang parah adalah SK-SK tersebut masih menjadikan ketentuan yang sesungguhnya sudah dihapus sebagai dasar hukum pertimbangannya. Dua ketentuan yang dijadikan dasar hukum pertimbangan adalah Peraturan Menteri kehutanan No.P.40/Menhut-II/2010 jo No.P.33/Menhut-II/2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan dan Peraturan Menteri Negara LH No.16 tahun 2010 jo. No.18 tahun 2012 yang sudah dinyatakan tidak berlaku begitu Peraturan menteri LHK No. P.18/MenLHK-II/2015 terbit pada 14 April 2015.
Sadino mengakui, telaahan yang dilakukan pihak Irjen memang sudah tepat. Dia justru mempertanyakan mengapa Menteri Siti Nurbaya membiarkan masalah ini tidak diselesaikan jauh hari. Alasan penggunaan Perpres sebagai landasan hukum juga tidak tepat. “Jika berdalih dengan Perpres (Perpres No. 16 Tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Red.) tidak benar. Perpres itu tidak bisa mengatur penggunaan uang,” paparnya.
Bahkan, Sadino lebih jauh menilai bahwa tata kelola yang dijalani di Kementerian LHK sudah salah karena tata kelola yang digunakan menyimpang dari undang-undang keuangan negara dan UU APBN. “Seharusnya sejak nomenklatur dibentuk, menteri dan jajarannya sudah menyiapkan peraturan-peraturan yang baru, bukan malah menginduk pada peraturan yang lama,” tandasnya.
Apalagi, pembentukan UPT yang mengikuti nomenklatur baru juga tidak sulit mengingat hal ini urusan Pusat dan tak ada kaitan langsung dengan kewenangan daerah. UPT-UPT itu kepanjangan tangan Pusat di daerah.
“Masa menteri tidak paham masalah ini. Kan sebelum menjadi menteri dia pernah menjadi sekjen dan sekda,” ujar Sadino.
Menurutnya, jika nomenklatur belum berubah, pasti pihak kementerian keuangan — dalam hal ini kantor pelayanan perbendaharaan negara (KPPN) — tidak akan mencairkan dana kegiatan dan program UPT. “Anggaran kegiatan dan program itu berbeda dengan gaji, mengingat gaji punya alokasi sendiri. Nah, kalau bisa cair, ini yang jadi pertanyaan dan saat diaudit BPK pasti jadi temuan,” tegasnya. Sugiharto