Postur kabinet pemerintahan Jokowi-JK mengalami perubahan jika dibandingkan dengan postur kabinet pemerintahan SBY-Boediono. Perubahan itu tercermin dengan adanya pengabungan dan pemisahan sejumlah kementerian.
Salah satu kebijakan penggabungan itu dilakukan Jokwi dengan menggabungkan kementerian kehutanan dengan kementerian lingkungan lingkungan hidup. Setelah digabungkan namanya berubah menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan .
Penggabungan dua kementerian itu tentunya dilakukan dengan sejumlah pertimbangan. Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi demisioner Eko Prasojo, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup memang direkomendasikan untuk digabungkan karena ada beberapa tugas dan kewenangan yang tumpang tindih.
Penggabungan kementerian ini dinilai penting karena melihat kondisi hutan di Indonesia yang sudah semakin memprihatinkan. Dengan demikian hutan tidak lagi sekadar lahan bisnis semata. Kehutanan bisa dijadikan faktor produksi alam, tapi pemerintah juga harus mengambil posisi politik bahwa hutan dalam kondisi kritis. Hutan harus dijaga kelestariannya, dan tidak boleh jadi faktor produksi. Sehingga Kementerian Kehutanan digabung dengan Lingkungan Hidup.
Namun, penolakan terhadap penggabungan kedua kementerian itu juga bermunculan. Misalnya Walhi menyebutkan kalau potensi penumpukan wewenang pada satu kementerian yang menggabungkan eksploitasi dan konservasi atau perlindungan, tidak menjamin keseimbangan dalam pengambilan keputusan yang ada di tengah kuatnya paradigma eksploitasi di negara kita ini.
Paradigma ini dipengaruhi oleh kuatnya pandangan bahwa konservasi atau perlindungan sebagai biaya, sedangkan eksploitasi sebagai penerimaan keuangan negara. Selain itu, penggabungan ini sesungguhnya menghilangkan KLH, bila dikaitkan perangkat hukumnya seperti penerbitan Peraturan Pemerintah No. 71 tentang Kewenangan KLH menentukan kawasan budidaya pada kawasan gambut serupa dengan Kemenhut dengan UU Nomor 41.
Selain itu, memberikan nomenklatur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mempersempit cara pandang dan tindak kita bahwa lingkungan hidup di Indonesia–hal berkaitan dengan lingkungan hidup dibatasi pada hal-hal yang berkaitan dengan kehutanan semata.
Pihak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga merekomendasikan agar kedua kementerian tersebut tidak digabung, mengingat fungsi dan tugas kedua kementerian itu sangat penting sehingga diperlukan penanganan secara khusus.
Penggabungan kedua kementerian itu boleh saja diprotes dan di luar perkiraan para relawan di kalangan rimbawan yang sebelumnya berharap Kementerian Kehutanan akan mendapatkan perhatian lebih besar dari pemerintah mengingat Presiden Joko Widodo adalah lulusan Fakultas Kehutanan dari sebuah universitas negeri yang terkenal sebagai penghasil ahli dan wirausahawan bidang kehutanan . Namun, Presiden juga memiliki hak prerogratif untuk menentukan kementerian-kementerian apa saja yang perlu dibentuk. Dengan latar belakang pendidikan kehutanan, Presiden Jokowi mungkin memiliki pandangan lain dalam memajukan sektor kehutanan.
Kini, sebagai rakyat, kita hanya berharap agar apa yang diputuskan oleh pemerintah itu merupakan keputusan terbaik dan dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi peningkatan kemakmuran semua rakyat di negeri ini.