Menunggu ‘Umpan Lambung’ Politik

Keputusan nelayan melaporkan larangan penangkapan ikan menggunakan pukat tarik (seine nets) dan pukat hela (trawls) ke Ombudsman RI berpeluang menjadi masalah politik yang berimbas ke pemerintahan Presiden Joko Widodo. Apalagi jika permohonan nelayan agar dicabutnya PermenKP No.02/2015 itu dikabulkan.

“Ini persoalan perut. Untuk itu, dalam surat ke Ombudsman pada 2 Maret 2015, kami minta agar PermenKP No.02/2015 dicabut karena mal-administratif,” ujar Dr. Sadino, SH, MH, penasehat hukum sembilan nelayan Jawa Tengah, yang merasa dirugikan dengan larangan penggunaan alat tangkap cantrang.

Menurut Sadino, jika pemerintah tetap ngotot mau menerapkan aturan tersebut, maka aturan itu harus bertahap. “Berikan tenggang waktu buat nelayan agar bisa beralih kegiatan atau menggunakan alat tangkap lain. Selain itu, pemerintah memberi kompensasi tidak? Jangan hanya melarang orang mau makan tapi tidak diberi kompensasi,” paparnya.

Yang perlu diperhatikan pemerintah, larangan total itu selain mematikan ribuan nelayan juga berpotensi besar memicu konflik. Di Jawa Tengah saja, saat ini ada 10.400 kapal yang menggunakan cantrang. Jika satu kapal memiliki 15-20 anak buah kapal (ABK), berarti puluhan ribu tenaga kerja langsung yang tumbang. Belum ditambah tenaga kerja tak langsung.

“Ini yang saya prihatin. Apakah pemerintah tahu bahwa banyak nelayan yang patungan untuk memiliki kapal dan mereka pinjam kredit ke bank? Jika kapal itu tak bisa melaut dan mereka tak bisa bayar kredit, apakah Menteri Susi berani bertanggung jawab?”

Saat ini saja, Sadino mengaku kerap harus mengawal emosi nelayan. “Mereka sebetulnya sudah emosi, karena banyak kredit yang dijaminkan dengan rumah mereka. Anda bisa bayangkan jika dalam aksi demo kemarin sampai berakhir ricuh karena nelayan memblokir jalur pantura Jawa Tengah,” ujarnya mengingatkan.

Yang membuat kecewa nelayan, pemerintah tidak mau menjawab ketika ditanya data terjadinya penurunan ikan. Hal itu dikemukakan salah seorang nelayan pemilik kapal, Bambang Wicaksana. “Dalam pertimbangannya, KemenKP No.02/2015 mengatakan sumberdaya ikan habis, tapi tidak ada risetnya. Juga dikatakan penurunan sumberdaya ikan, ini kan juga perlu pembuktian, sehingga alat tangkap tidak ramah lingkungan dilarang,” paparnya.

Dia mengatakan, pemerintah seperti tertekan ketika terus didesak dan menyatakan alat tangkap cantrang masih dibolehkan selama transisi sampai September 2015. Yang jadi soal, kata Bambang, hal itu hanya lisan. “Ketika saat kami mengurus izinnya di daerah, yakni surat layak operasi (SLO) dan surat izin berlayar (SIB), petugas tidak mau karena tidak ada surat tertulis,” ungkapnya.

Menurut Bambang, inti masalah PermenKP No.02/2015 adalah tak adanya patokan maupun penjelasan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. “Kedua, ini soal kemanusiaan. Apa solusi yang diberikan pemerintah untuk kami,” tandasnya.

Hal ini dibenarkan pengamat kelautan yang juga dosen Fakultas Perikanan IPB, Dr. Fredinand Yulianda. Pemerintah harus memberikan solusi, bukan sekadar melarang total cantrang. Secara fisik, cantrang berpotensi merusak jika dilakukan dengan sembarangan. Tapi, yang penting adalah bagaimana mengelola ini

Dia mengakui bahwa cantrang menangkap ikan ke dasar laut dan dengan mata jaring yang relatif kecil semua ikan terangkat. “Sebetulnya, nelayan bisa saja ikan yang kecil dilepas dan tidak ditangkap,” katanya.

Itu sebabnya, nelayan harus di bina, bukan dibinasakan. “Jadi menteri bukan cuma larang ini larang itu, tapi beri solusi. Pemecahannya pun harus terintegrasi, karena ini bukan semata soal alat tangkap, tapi ada masalah ruang, pasar, aspek sosial, pemerintah daerah dan sebagainya,” ujarnya.

Menurut Fredinand, yang diatur dalah fishing ground-nya. Pemerintah harus duduk bersama hingga bisa memetakan alat tangkap ramah. Solusinya harus terintegrasi. “Ini tidak bisa KP saja, tapi juga menteri dalam negeri, pemerintah daerah, koperasi dan UKM, perdagangan dan sebagainya.

“Tidak bisa saling ngotot, karena potensi konfliknya sangat besar. Ini perlu solusi yang menang-menang. Dengan kata lain, jangan sekadar larang ini larang itu, tapi tidak beri solusi,” tandasnya.

Politik

Terkait dengan surat ke Ombudsman, Sadino mengaku sudah siap jika dipanggil. Hanya saja, dari informasi yang diperolehnya, justru pihak KKP yang belum siap. Namun, kata Sadino, siap atau tidak KKP tidak jadi masalah. “Karena 14 hari sejak surat kami sampaikan, pihak Ombudsman pasti akan mengeluarkan rekomendasi.”

Rekomendasi ini yang menarik karena Ombudsman akan memberikan jawaban atas apa yang dimohon pemohon kepada termohon (pemerintah) selaku pembuat regulasi. “Semua peraturan yang dikeluarkan Menteri Susi memang otoritas Ombudsman karena terkait dengan layanan publik. Kekuatannya memang bersifat moral saja,” jelasnya.

Namun, meski hanya berkekuatan moral, tapi rekomendasi itu ditembuskan ke Presiden dan DPR. Nah, disinilah pentingnya rekomendasi Ombudsman tersebut, terutama jika PermenKP dinilai mal-administratif. Dengan kata lain, meski hanya punya kekuatan moral, tapi bisa menjadi senjata politik mematikan di tangan DPR.

Apalagi, kata Sadino, keluarnya PermenKP tersebut tak lepas dari tekanan agar Susi bisa menaikkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), dari Rp250 miliar menjadi Rp1,5 triliun.

“Itu sebabnya, tujuh Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang ada akan dilelang kepada siapa saja yang berani bayar tinggi. Dengan begitu, PNBP bisa meningkat,” ungkapnya.

Jika ini benar-benar terjadi, kata Sadino, dia akan membawa masalah ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena tindakan itu sudah melanggar konstitusi. “Ini kan sama dengan mengkavling-kavling laut, persis seperti HPH dulu,” tegasnya. AI

Belum Ada Kajiannya?

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.02/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine Nets) Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia ditetapkan pada 8 Januari 2015. Aturan ini diundangkan sehari kemudian pada 9 Januari 2015.

Namun, hingga saat ini Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) mengaku masih sibuk melengkapi kajian Permen KP 02/2015 terkait dengan pertanyaan apakah alat tangkap itu mengakibatkan menurunnya sumberdaya ikan dan mengancam kelestarian lingkungan sumberdaya ikan.

“Tunggu ya, sedang dikumpulkan,” ujar Kepala Balitbang KP, Achmad Poernomo kepada Agro Indonesia (12/3).

Begitu pula, Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi (Pusdatin), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Lilly Aprilya Pregiwati ketika dimintai kajian rusaknya lingkungan akibat penggunaan cantrang.

Dalam dokumen Siaran Pers Pelarangan Alat Penangkapan Ikan Cantrang yang dikirim Lilly via surat elektronik kepada Agro Indonesia, penggunaan cantrang fokusnya di Provinsi Jawa Tengah, terutama di Rembang, Pati dan Batang.

Di mana, dalam perkembangannya jumlah kapal yang menggunakan alat penangkapan ikan cantrang di Jateng bertambah dari 3.209 pada 2004, menjadi 5.100 pada 2007 dengan ukuran kapal sebagaian besar diatas 30 gross tonnage (GT).

Permasalahan timbul karena banyak kapal cantrang di atas 5 GT yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah daerah dengan alat penangkapan ikan yang lain. Sehingga menimbulkan konflik dengan nelayan daerah lain.

Permasalahan lainnya, terjadi penurunan produksi sebesar 45% dari 281.267 ton pada 2002 menjadi 153.698 ton pada 2007. Situasi ini juga berdampak pada penurunan sumberdaya ikan demersal sebanyak 50%.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti pernah menegaskan bahwa “pembisiknya” adalah orang-orang baik dan bertanggung jawab, karena dari kalangan eselon I KKP. “ “Koordinasi kami baik,” kata Susi. Fenny